Tadinya di awal Lorong Waktu episode 13, Haji Husin sempat ngambek. Tidak mau lagi ikut bertualang atau jalan-jalan bersama Zidan memasuki lorong waktu. Alasannya, Haji Husin merasa Ustad Addin sering nggak bener memilih tempat pendaratan. Kalau bukan tempatnya yang berbahaya, pasti posisinya yang nggak nyaman.
Tidak mau bertualang sendirian, Zidan pun berusaha membujuk Pak Haji. Ustad Addin juga tidak tinggal diam, dia berusaha meyakinkan Pak Haji bahwa perjalanan kali ini pendaratannya dijamin aman dan nyaman. Setelah berpikir sejenak, Pak Haji pun akhirnya setuju. Beliau kembali bertualang bersama Zidan.
Tempat yang mereka kunjungi kali ini adalah sebuah rumah yang penghuninya cuma ada dua. Ibu Heri dan anak gadisnya bernama Erna. Suaminya Bu Heri alias Pak Heri diceritakan lagi kerja di tempat jauh. Di pelosok gitu lah ceritanya. Selain tidak ada kabar, Pak Heri ini juga sudah dua bulan tidak mengirim uang. Itulah sebabnya Bu Heri merasa takut kalau-kalau ada penagih utang yang datang.
Nah, karena ketakutan itulah Bu Heri sengaja membuat suasana rumahnya seolah-olah sedang kosong alias tidak berpenghuni. Si Erna anaknya, bahkan untuk sekadar membuka gorden pun dilarang.
Dalam keadaan merasa ketakutan, tiba-tiba datang seorang bapak-bapak bertubuh gendut, bertampang galak, dan bersuara besar. Kelak diketahui bahwa nama bapak-bapak itu adalah Ucok. Oleh Bu Heri dan Erna, Pak Ucok ini sempat disangka sebagai penagih utang. Berkali-kali Pak Ucok memberi salam dan menggoyang-goyangkan gembok pagar rumah, tetapi tidak direspons Erna dan mamanya.
Belum hilang ketakutan mereka atas kedatangan Pak Ucok yang masih terus memanggil dari luar, tiba-tiba dari arah kamar Erna terdengar suara orang asing yang disangka sebagai rampok. Suaranya Haji Husin dan Zidan, tentu saja. Perlahan, dengan membawa sebatang sapu, Erna dan mamanya berjalan mendekat ke arah sumber suara. Lalu, tepat ketika Haji Husin dan Zidan keluar dari kamar tersebut, Erna langsung mukulin Haji Husin pakai sapu—berkali-kali. Meski sudah dijelaskan oleh Zidan bahwa mereka bukan rampok, Erna dan mamanya tetap tidak percaya. Alhasil, mereka dikunci di dalam kamarnya Erna.
Sementara itu, karena merasa tidak ada respons, Pak Ucok memutuskan manjat pagar dan mengetuk pintu sambil memberi salam dengan suara besar. Pak Ucok yakin betul bahwa di dalam rumah tersebut memang ada penghuninya. Mengetahui Pak Ucok sudah semakin dekat, Erna dan mamanya merasa semakin ketakutan. Tidak tahu harus minta tolong kepada siapa, Erna dan mamanya akhirnya memilih minta tolong kepada Haji Husin.
Haji Husin pun akhirnya keluar dari kamarnya Erna lalu bersiap membuka pintu rumah. Sementara Haji Husin siap membuka pintu, di luar, Pak Ucok juga sudah siap untuk mendobrak pintu. Tepat ketika Haji Husin membuka pintu, dari arah luar, dengan kekuatan penuh, Pak Ucok yang siap mendobrak pintu, terlempar masuk ke dalam rumah. Kepalanya membentur pegangan kursi yang terbuat dari kayu. Akibatnya, kening Pak Ucok jadi terluka.
“Maafkan kami, Pak. Kami sangat ketakutan,” kata Bu Heri kepada Pak Ucok yang keningnya sudah diperban oleh Pak Haji.
“Soalnya kami pikir, Bapak adalah perampok. Hehehe. Soalnya…,” sambung Erna.
“… soalnya Om kasar sih pakai gedor-gedor pintu segala,” potong Zidan.
“Ah, itu sudah pembawaan saya. Mungkin karena saya kerja di hutan,” Pak Ucok menjelaskan.
“Ooo.” Erna dan mamanya manggut-manggut.
“Ngomong-ngomong, Pak, ente maksudnya ngapain kemari?” tanya Haji Husin.
“Eh, nama saya Ucok, Pak. Saya teman baik Pak Heri. Pak Heri tidak bisa pulang ke sini karena dalam beberapa bulan ini kerjaan di perusahaan kami sangat berat. Kami sedang membangun sebuah desa kecil yang terkena bencana alam dan lokasinya kebetulan sangat jauh dari segala-galanya, Pak. Jadi, Pak Heri tidak bisa pulang dan dia memberikan kuasa kepada saya untuk mengambil uang gajinya.”
“Ooo,” ucap Bu Heri.
“Ah, ini kebetulan saya pulang ke kota ini dan ini titipan dari Pak Heri, Bu.” Pak Ucok pun memberikan sebuah amplop kepada Erna.
“Ibu? Saya ini anaknya. Emangnya tampang saya tua apa? Heh,” Erna protes dengan suara kesal.
“Oh, maaf. Eh, Bu, ini titipan dari Pak Heri,” kata Pak Ucok lalu menyerahkan amplop tersebut kepada Bu Heri.
“Eh, terima kasih, Pak. Eee, tapi… tapi sebentar, Pak. Saya mau bicara, sebentar aja, Pak.” Bu Heri pun mengajak Pak Ucok sedikit menjauh dari ruang tamu.
“Saya mau tanya, Pak, bagaimana kabarnya Pak Heri?”
“Oh, alhamdulillah, Bu, baik-baik saja.”
“Begini, Pak. Eee, eee, aduh.”
“Saya bantuin ye? Saya bantuin ye?” Haji Husin menawarkan.
“He-eh, he-eh. Iya ya,” ucap Bu Heri sambil ngangguk-ngangguk.
“Eh, begini, Cok. Maksudnye Ibu Heri ini, di sane kan Pak Heri udah lama… ah, ape Pak Heri di sono udeh…. Maksudnya, begini, Cok. Maksudnye ape di sane, Pak Heri di tempat kerjanye di sono kan jauh dari mane-mane. Di sane kan lama. Nah, ape dia udeh….”
“Udah punya bini muda belom!” potong Zidan.
Mendengar ucapan Zidan, Bu Heri merasa lega, “Nah, itu tuh, Pak.”
“Oh, kalau soal itu, Ibu tidak usah khawatir. Pak Heri tetap mencintai Ibu dan dia tidak pernah terpikat dengan wanita-wanita lain.”
“Syukurlah kalau begitu. Alhamdulillah. Saya telah berburuk sangka, Pak, terhadap suami saya.”
“Hah, tapi tadi Ibu pun berburuk sangka sama saya. masa saya disangka perampok?” protes Pak Ucok.
Erna yang tadinya duduk di sofa, berdiri lalu meminta maaf kepada Pak Ucok, “Bang Ucok, atas nama keluarga Pak Heri, kami minta maaf yah, Pak.”
“Iya.”
“Alhamdulillah. Jadi udah beres. Kite di sini semua terhindar dari yang namenye buruk sangka. Nih, asal tahu aje….”
“Asal tahu aja, buruk sangka itu sudah menuju ke fitnah,” Zidan memotong ucapan Haji Husin.
Merasa kesal omongannya dipotong, Haji Husin pun ngomel-ngomel ke Zidan. Sementara mereka berdebat, Ustad Addin memulangkan mereka. Sesampainya di ruangan Ustad Addin, perdebatan itu masih berlangsung. Ustad Addin yang tampaknya mau mengingatkan bahwa sebentar lagi waktunya buka puasa, tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Ustad addin akhirnya memilih meninggalkan ruangan lalu mengunci dari luar. Di dalam, Haji Husin dan Zidan berakting seolah-olah Zidan dipukulin Haji Husin. Namun, Ustad Addin tidak terkecoh sama sekali. Dia lebih memilih melakukan hal yang lebih penting, yaitu memukul beduk.
Sebagai penutup Lorong Waktu episode 13, ada pesan pada akhir tayangan yang bunyinya: “Mungkin engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Persis seperti yang dialami Bu Heri dan Errna yang sempat tidak menyukai kedatangan Pak Ucok, Haji Husin, dan Zidan. Padahal kedatangan mereka bermaksud baik.
Ikuti sinopsis Lorong Waktu musim 1 di sini serta tulisan Utamy Ningsih lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.