Perlahan tapi pasti, ‘new normal’ atau kelaziman baru semakin menemukan bentuknya. Sejak idenya digulirkan pada pertengahan bulan lalu, efeknya mulai terasa. Jalanan mulai dipadati, kantor-kantor dibuka, pasar kian ramai, tempat wisata diserbu dsb. Lalu, bagaimana dengan kehidupan pesantren yang berbasis komunitas dan cenderung komunal, apakah juga akan mengikuti new normal yang condong menghendaki tata kehidupan yang individualistik itu?
Sebut saja Sugik, teman saya satu ini ketar-ketir seandainya pesantren kami mengikuti (anjuran) tren new normal. Artinya, dia sudah tidak bisa lagi bertukar atau minjam barang milik temannya. Bagaimana tidak, nantinya pasti banyak protokol-protokol kesehatan segala, peraturan pondok saja sudah banyak, eh, ini malah mau ditambahin protokol yang bikin ribet itu, katanya.
Puncak kenikmatan ngobrol via whatsapp dengan teman yang nggak lama ketemu memang mengghibah, sambat, dan sebangsanya. Tiba pada satu titik (ghibahan), si Sugik mencoba ngungkit-ngungkit kelakuan si Arman (nama samaran) yang kelewat batas kalau pinjam itu. Saya nggak yakin Arman akan taat protokol new normal andai kata pesantren jadi masuk. Boro-boro bawa peralatan makan pribadi, vitamin C, madu, nutrisi, masker, hand sanitizer, sajadah (meski tipis) dsb. Haaa wong seumpama semua barang yang ia pinjam diminta oleh sang empu saja sudah barang tentu ia bakalan telanjang!
Saya membaca pesan Sugik sambil cekikan seraya bibir ini tergerak sendiri kemudian berujar: Ooo cah kucluk!
Hampir seluruh anak komplek Mawar sudah mafhum bahwa sekujur tubuh Arman selalu dibalut dengan barang pinjaman, mulai ujung kepala sampai pucuk kaki. Peci, koko, kaos, sarung, bahkan sempak pun kadang ia rela joinan, lur. Yang jelas, ini bukan sekedar anggapan, melainkan fakta. Buktinya, pakaian anak se komplek yang jumlahnya sekitar 250an sudah khatam ia gilir selama tiga tahun belakangan ini. Semua pernah jadi korban. Itu baru soal pakaian. Kabar baiknya, santri modelan Arman begini nggak hanya satu tapi turah-turah.
Mungkin, yang dimaksud Gus Nadir jangan mau sekadar latah ikut-ikutan protokol new normal yang dibuat oleh “mereka yang bahkan tidak paham” dunia pesantren seperti apa via unggahan Instagramnya. Mereka yang tidak paham (((dunia perjoinan sempak))), Gus. Sebagai orang yang lahir dari tradisi pesantren tulen, Gus Nadhir musti khawatir dengan bahaya laten kelakuan santri macam Arman bila protokol new normal diterapkan bagi pesantren.
Sudah jelas pula alasan pemulangan santri yang mendadak itu sejalan dengan kaidah fiqh: dar’ al-Mafasid Muqoddam ‘ala Jalb al-Mashalih (menghindari kemudaratan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat) semata untuk menghindari bahaya Covid-19, kok. Kenapa Kemenag sejak awal nggak mengimbau saja untuk menginisiasi lockdown secara mandiri di dalam pesantren alih-alih memulangkan para santri. Lah sekarang, sudah aman di rumah, eh, malah disuruh kembali sesuai dengan protokol new normal. Ramashoook. Apa nggak takut pesantren menjelma jadi episentrum dan bom waktu penularan Covid-19?
Logika new normal ini jelas tidak cocok dengan kehidupan pesantren. Lebih cocok untuk pasar dan mall. Ngapain juga ada protokol new normal di pesantren kalau emang sudah steril dari Covid-19. Lagipula, meski protokol Covid-19 diterapkan, juga nggak bakal tuh menjamin menahan penyebaran kalau di dalam pesantren saja sudah ada yang positif.
Coba di angan-angan, logika new normal ala jaga jarak yang individualistik itu kelak terpatahkan oleh kelakuan para santri sendiri.
Sepengalam saya selama 9 tahunan jadi santri, perkara tidur nggak pernah saya pusingkan, asal ada tempat datar di situlah tempat tidur. Saya terbiasa tidur berdesakan tanpa alas alih-alih mencari kehangatan. Bahkan, saking berdesakannya, tahu-tahu pas bangun salah satu tangan saya masuk ke dalam sarung teman, jempolan badek kaki mendarat persis di hidung saya, dan yang menggelikan, kadang, ada juga posisi tidur yang menyerupai orang saat bercinta. Berhadap-hadapan. Mirip-mirip sedang cip*kan, lah. Hus saru.
Untuk urusan makan, saya nggak pernah ambil pusing. Asalkan ada talam, makan berdelapan melingkar pun jadi.
Soal mandi, agar mempersingkat waktu, mandi bareng-bareng dalam sepetak kamar mandi jadi solusi utama biar nggak telat mengikuti kegiatan. Sehari bisa mandi 2 kali saja itu sudah sangat paripurna mengatasi kelembaban selangkangan di dalam sarung ini. Belum lagi peralatan mandi seperti sabun, sikat, handuk seringkali kami pakai bergantian.
Haisss, tenan, protokol kopet cuman diguyu karo santri, lur. Hahaha. Itu baru soal keseharian belum infrastruktur.
Jangan ditanya bagaimana kesiapan klinik pesantren. Sekali waktu saya pernah periksa sakit demam menunggu sampai 2 jam gara-gara antrian membludak. Obat yang diberikan pun tidak main-main: Amoxilin. Mau sakit gudik, gatal, panu, demam dsb obatnya tetap amoxilin, lur!
Kendati gedung-gedung pesantren beserta sekolahnya menjulang tinggi dan banyak, tetap saja untuk menampung santri yang jumlahnya ribuan akan tetap berdesakan. Pesantren nggak seperti di rumah, yang sepetak kamar bisa kita gunakan salto-salto sendiri. Kelas sekolahan acapkali diterapkan sistem shift karena kurangnya ruang.
Kalaupun masih ngotot new normal harus diterapkan di pesantren. Apakah Kemenag siap membiayai pembangunan ataupun pelebaran pesantren? Biar bisa social distancing, gitu. Ups. Jika sanggup, masih ada pertanyaan lain menunggu, membangun pesantren bukan hanya soal kesanggunpan materi (uang) tapi dibutuhkan laku tirakat pak Kyai. Apa bapak Menag mampu? Ah sudahlah jangan kebanyakan tanya, bisa berabe nanti kalau yang menjawabnya pak Isilove.
Pendek kata, pesantren adalah lembaga yang berdiri di atas semua golongan! Jangan seenaknya ngatur pesantren pakai prorokol kelaziman baru, bisa kualat tuan dan puan nanti! Apalagi pakek logika pasar dan mall. Duh, double-double kualat e!?
BACA JUGA Nggak Usah Tersinggung kalau Pesantren Diasumsikan sebagai Bengkel Moral atau tulisan Rusda Khoiruz Zaman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.