Logat Tegal Bukan Produk Hiburan, Jadi Tolong Jangan Olok-Olok Kami ketika Lagi Ngobrolin Hal-Hal Serius!

Logat Tegal Bukan Produk Hiburan, Jadi Tolong Jangan Olok-Olok Kami ketika Lagi Ngobrolin Hal-Hal Serius!

Logat Tegal Bukan Produk Hiburan, Jadi Tolong Jangan Olok-Olok Kami ketika Lagi Ngobrolin Hal-Hal Serius! (Apan Upen via Unsplash)

Logat ngapak Tegal bukan bahan becandaan, tolong hormati kami para penuturnya dan jangan jadikan kami pusat guyonan

Saya berasal dari Tegal, dan sebagaimana pemuda Tegal pada umumnya, saya merantau ke luar kota untuk menimba ilmu. Selama satu tahun lebih merantau, saya seolah sedang menjalani kehidupan sebagai komika stand up komedi.

Padahal, saya nggak punya latar belakang sebagai orang yang jago membuat lelucon, tampang saya pun selalu serius, beda jauh dengan para komika ulung dalam acara lucu-lucuan di televisi. Namun masalah mulai datang ketika saya mulai berbicara. Orang-orang yang berada di dekat saya langsung meniru logat saya sambil tertawa. Bahkan tak jarang mereka meminta saya mengulangi kata-katanya.

Ini bukan soal saya orangnya baperan atau bagaimana. Tapi ini soal reduksi identitas. Ketika saya lagi pengin berbicara hal-hal serius, yang seharusnya ditanggapi dengan serius juga, kenyataan yang ada malah membuat saya merasa dirinya menjadi seorang komika dadakan yang melawak tanpa digaji.

Kalau boleh jujur, saya sudah lelah. Logat ngapak Tegal yang sudah menjadi DNA budaya dan warisan tanah yang sudah membesarkan saya, seolah-olah menjadi tombol play untuk memulai sesi komedi di tengah obrolan yang sedang serius-seriusnya.

Apa yang salah dengan intonasi A dalam logat ngapak Tegal?

Momen menyebalkan sering kali dialami saya ketika Ia sedang berdiskusi di warung kopi atau bahkan di lingkungan kampus. Ketika topik obrolan mulai menyentuh situasi paling serius, dan saya mulai berbicara dengan bahasa yang njelimet-njelimet, respons orang-orang di sekitarnya langsung cair, seolah-olah apa yang sedang saya bicarakan adalah sebuah topik komedi.

Pernah satu momen terjadi dalam kehidupan saya, semula situasi berada di dalam atmosfer serius, tapi ketika mulut saya mulai melontarkan kata-katanya, salah satu teman saya tiba-tiba menyela begini: “Iya kayak kue? Sing bener bae? Temenan apa ora?” (Iya seperti itu? Yang bener aja? Beneran apa nggak?).

Coba bayangkan, saya datang membawa obrolan serius. Tapi ketika saya berbicara, gagasan serius yang dibawa saya langsung tergantikan oleh fokus teman-temannya pada intonasi ‘A’ yang konon terlampau tebal dan menggelegar. Gelak tawa pecah, obrolan serius berubah menjadi panggung komedi yang kerap membuat saya terpaksa harus nyengir meski terluka.

Momen-momen menyebalkan yang sudah dilewati saya terkadang membawa satu pertanyaan yang menyangkut di kepala: mengapa logat ngapak Tegal sering disamakan dengan logat ngapak Banyumas, Purwokerto, dan Cilacap? Padahal, masing-masing daerah secara kultur linguistiknya kan berbeda?

Sama-sama Ngapak, tapi nggak semua Ngapak itu sama

Saya lambat laun menyadari, setiap kali teman-temannya meminta saya mengulangi kata-katanya dengan penekanan pada intonasi ‘A’, ada yang aneh dengan cara mereka meniru. Mereka meniru logat bicara atau istilahnya ‘ke-medhok-an’ yang biasa digunakan oleh daerah Banyumas, Purwokerto, dan Cilacap, bukan Tegal.

Ya, keanehan itu ujung-ujungnya memunculkan generalisasi teman-teman saya yang non-ngapak pada logat ngapak. Seolah-olah logat ngapak itu cuma punya satu aliran mazhab. Padahal, kenyataannya logat ngapak punya bermacam aliran.

Misalnya, ngapak Banyumasan, Cilacap, dan Purwokerto yang masing-masing punya kesamaan dalam penekanan intonasi ‘A’, namun tetap punya ciri khas uniknya sendiri-sendiri. Entah itu Tegal, Cilacap, Purwokerto, atau Banyumas, logat ngapak punya satu kemiripan, yakni kata ‘aku’ menjadi kata ‘nyong’.

Di kota asalnya, saya menyadari persamaan dan perbedaan itu. Meski ada kesamaan tunggal yang dalam pengucapan kata ‘aku’ yang menjadi ‘nyong’, toh  kenyataannya masing-masing daerah punya aliran mazhabnya sendiri-sendiri.

Aliran mazhab Ngapak yang harus diketahui

Setahu saya, yang membedakan antara Tegal dengan tiga daerah lainnya adalah cara orang Tegal ngomong nggak selalu menebalkan intonasi ‘A’ dan orang Tegal biasanya ngomong lebih cepat ketimbang tiga daerah lainnya.

Lalu kata lapar yang dalam pelafalan logat ngapak daerah Banyumas, Purwokerto, dan Cilacap, berbunyi ‘kencot’. Sedangkan di daerah Tegal kata lapar justru berbunyi ‘ngelih’.

Jadi, masing-masing daerah memang punya dialek yang sama, yakni ngapak. Meskipun begitu, bukan berarti dialek atau logat ngapak itu semuanya sama. Mereka punya aliran mazhabnya masing-masing.

Kami di Tegal bangga dengan aliran mazhab ngapak kami. Tapi tolong jangan buat kami muak saat harus terus menerus memberi tahu perbedaan ini hanya karena cara kalian mengolok-olok yang nggak pernah tepat.

Sudahi olok-olok pada logat ngapak Tegal, mari pahami ada waktunya untuk serius dan bercanda

Walaupun saya mengaku lelah, tetapi saya tahu kalau semua olokan itu hanya sekadar bahan candaan pencair suasana. Saya nggak baper. Serius. Tapi semua itu menjadi masalah ketika kalian nggak bisa membedakan antara waktu serius dan waktunya bercanda.

Semua orang, termasuk saya, pasti muak saat lagi berbicara serius tapi malah dianggap bercanda bukan? Apa lagi sampai ditiru dan disuruh mengulangi kata-kata yang sering banget membuat topik serius seketika menjadi topik lucu-lucuan yang nggak pernah digunakan pada momen yang tepat.

Akhir kata, saya menyatakan sepenuhnya ikhlas kalau teman-teman dan pembaca (yang non-ngapak) yang budiman menjadikan logat ngapak Tegal sebagai bahan candaan. Saya hanya meminta satu hal saja: tolong dengarkan kami ketika lagi ngobrolin hal-hal yang serius!

Penulis: Abdullah Azzam Al Mujahid
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Panduan Penggunaan Bahasa Tegal biar Ngapak Makin Kepenak

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version