Les piano. Menyebut kegiatannya saja, kita sudah paham bahwa ini bukan kegiatan yang murah. Selain itu, kegiatan ini juga bukan kegiatan yang mampu dilakukan banyak orang. Pasalnya, dari namanya saja, hanya orang-orang tertentu yang bisa dan mampu melakukannya. Tidak semua orang mampu melakukan kegiatan “les”, juga tidak semua orang mampu dan berkenan untuk memiliki piano.
Kegiatan les ini sering kita dengar ketika kita masih kecil. Kebanyakan pasti dari film-film, sinetron, atau beberapa teman kita langsung. Beberapa di antara teman kita pasti ada yang pernah atau sedang dalam program les alat musik tersebut.
Biasanya, mereka ini disuruh oleh orang tuanya untuk ikut les alat musik tersebut. Sudah pasti, mereka-mereka yang ikut les ini adalah anak dari orang kaya, atau setidaknya kelas menengah ke atas. Les alat musik ini bukan sebuah kegiatan yang murah. Kalau anak orang biasa, daripada les alat musik ini mending main layangan saja, tidak terlalu banyak biayanya.
Saya bingung, kenapa dalam konteks belajar alat musik, les ini terdengar eksklusif. Mendengar kata “les piano” ini rasanya, kok, mewah gitu, ya. Ini berbeda dengan kalau kita mendengar alat musik lain. Rasanya, mendengar les gitar, les drum, les terompet, atau alat musik daerah seperti kecapi, rebab, gendang, ataupun seruling yang dari segi kesulitan bisa jadi lebih rumit, tampaknya biasa saja. Nggak ada kesan mewah-mewahnya.
Keheranan saya akhirnya terjawab dengan jawaban yang cukup masuk akal. Piano ataupun alat musik turunannya (keyboard, dsb) adalah alat musik yang bisa mengiringi musik genre apa pun, tanpa bantuan alat musik lain. Mau dipakai mengiringi musik pop bisa, rock juga bisa, bahkan musik dangdut atau campursari juga bisa (contohnya, electone). Kalau alat musik semacam gitar, drum, pasti ia butuh alat musik lain sebagai penyelaras. Jadi, wajar kalau les ini jadi terasa lebih unggul dari les alat musik lain.
Sejak saat itu, keinginan saya untuk les piano mulai muncul dan semakin besar. Saya mulai cari tahu di mana bisa les ini dan berapa biayanya. Setelah saya tahu, keinginan untuk les piano akhirnya luntur, sebab biaya untuk les ini terlalu mahal bagi orang tua saya. Saya pun akhirnya juga sadar bahwa masyarakat kelas menengah pas-pasan seperti keluarga saya jelas tidak mampu untuk membiayai les piano. Toh, les ini juga bukan kebutuhan yang primer, kan? Jangankan les piano, les mata pelajaran saja berhenti di tengah jalan.
Keinginan saya untuk bisa les piano saya pendam dengan legawa. Kecewa, tapi tidak apa-apa. Anggap saja itu mimpi yang tidak terwujud. Tidak apa-apa saat itu saya tidak bisa ikut les piano, tapi suatu saat saya harus bisa main piano. Saya mulai belajar-belajar sendiri, cari tahu sendiri, meskipun saya tidak punya piano atau keyboard. Dengan modal itu, walhasil saat ini saya setidaknya sudah bisa menekan tuts piano, walaupun hanya nada dasar saja, dan belum bisa kalau yang jarinya berjalan seperti para pemain piano profesional.
Berbekal kekecewaan itu, saya akhirnya punya satu mimpi. Selain saya harus bisa main piano suatu saat nanti, kalau saya punya anak pun, ia akan saja ajak untuk ikut les piano. Ini terdengar ambisius memang. Tapi, tidak ada salahnya, kan? Lha wong hanya les piano, kok.