Dahulu sewaktu menjomblo, perkara punya pacar, saya sering kali di-cengin banyak temen. Dicengin banyak orang. Bahkan untuk seorang yang baru saya kenal sekalipun langsung berani menerobos batas pribadi yang saya nggak suka ini dengan pertanyaan: udah punya pacar?
Pertanyaan yang nggak perlu saya jawab ini seolah menginterpretasikan bahwa sosok pacar adalah sesuatu yang krusial. Waktu itu, usia saya 24 tahun. Orang bilang itu adalah masa-masa krusial ketika seseorang terus menjomblo—kayaknya harus dikhawatirkan.
Padahal saya saja tidak khawatir dengan diri saya sendiri. Tidak khawatir dengan status jomblo itu. Saya menjomblo pun masih bisa menikmati hidup dengan segala hobi atau kesukaan saya pada banyak hal. Ya, pada intinya kehidupan saya sewaktu menjomblo nggak suram-suram banget.
Dalam perjalanan hidup selama menjomblo dengan penuh kesabaran, akhirnya di usia 25 tahun saya menemukan wanita yang mau menjadi pacar saya. Lebih dari itu ia pun bersedia menjadi istri saya. Tentu saja saya sudah punya rencana untuk segera menikah dengannya.
Tapi rencana menikah itu tidak saya umbar begitu saja. Saya simpan rapih rencana itu. Serapih saya menabung dan mengatur keuangan untuk menikah. Tapi kenyataanya ketika orang-orang tahu bahwa saya sudah memiliki pacar, saya segera menghadapi pertanyaan level selanjutnya: kapan kawin?
Jawaban saya mudah saja, menyebut bulan pernikahan saya. Beres.Tetapi ironisnya orang-orang yang sudah melontarkan pertanyaan ‘udah punya pacar?’ dan ‘kapan kawin?’, tidak mememberi sumbangsih apa-apa ketika saya menikah. Bahkan ngasih kado pun enggak. Jadi, buat apa kan mereka nanya-nanya?
Setelah pertanyaan kapan punya pacar?; dan kapan kawin?; kini saya menghadapi pertanyaan level selanjutnya; kapan punya anak?
Cie…. Naik level, cie…
Yaelahh… Perlu banget nggak, sih, pertanyaan kapan punya anak itu muncul. Persoalan dari pertanyaanya itu kan kapan. Lah, biar bagaimanpun saya nggak akan mampu menjawab kapannya itu kapan. Misalnya saya jawab gini: nanti saya punya anak bulan depan atau Desember, Oktober, Agustus, Mei, gitu? Kan enggak tentu.
Kehadiran janin kan tidak bisa direncanakan. Kita tidak tahu kapan akan hadir. Kita tidak tahu kapan anugerah Tuhan yang paling indah itu diberikan. Kok ya, bisa-bisanya situ mempertanyakan kapan punya anak itu ke manusia. Seolah-olah itu adalah kehendak manusia. Boleh nggak saya gentian nanya kapan situ mati?
Tapi kan, Mas, ini cuma basa-basi biar lebih akrab?
Ya ampun, kalau tujuannya cuma mau basa-basi, sudahlah, pertanyaan itu udah bener-bener so old banget. Banyak pertanyaan basa-basi yang lebih berfaedah untuk dilontarkan. Banyak cara pula untuk bercanda. Dan banyak kata yang bisa kita pilih untuk memulai sebuah obrolan.
Hal yang paling menyebalkan bagi saya adalah batas privasi ini terus dilanggar. Mereka nggak segan-segan untuk ngecengin perkara ranjang. Kurang jago lah, kurang banyak gaya lah, kurang ini, kurang itu. Mereka lebih suka men-judge bahwa orang lain kurang usaha alih-alih mendoakan untuk segera diberi momongan oleh Allah SWT.
Memangnya sebarapa menariknya sih melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu? Atau ketika pertanyaan itu sudah terlontar dan jawabannya ternyata “belum”, itu membahagiakan kalian? Lalu menjurus pada mengecilkan atau merendahkan orang lain?
Memang benar adanya, perkara pribadi di kehidupan sosial kita menjadi sasaran empuk. Semua orang ikut mengurusi. Tapi ketika teman, kerabat, kolega, bahkan keluarga yang sudah menikah mengalami KDRT, urusan itu malah menjadi urusan masing-masing. Katanya sih, jangan ikut campur rumah tangga orang lain.
Loh, tunggu-tunggu. Rumah tangga orang adalah ranah pribadi. Menjomblo, menikah, dan punya anak juga ranah pribadi. Bukannya situ udah biasa ngurusin hidup orang lain lengkap dengan segala nasihatnya. Kenapa begitu terjadi KDRT situ malah nggak berani ngurusin. Ealah, dasar kipas angin kesurupan.
Saya merasa diri saya sudah menjadi manusia yang kehidupan pribadinya sedang diurusi orang lain. Mungkin orang lain peduli dengan saya atau bisa juga dia cuma kepo. Meskipun bedanya peduli dan kepo itu setipis kulit ari. Tinggal rasa sensitifitas kita saja yang bisa membedakan.
Hadeuhh, ogut berasa capek. Di saat susah ngurusin KTP, ngurusin negara, ngurusin pilihan politik, ternyata ada yang lebih gampang dari semua itu; ngurusin hidup orang lain alih-alih ngurusin hidup sendiri.
Semenjak mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan—apalagi istri saya juga ikut mengalami hal yang memuakkan ini—saya jadi sangat menghindari pertanyaan-pertanyaan itu agar tidak saya lontarkan. Lebih baik saya diam daripada menyinggung perasaan orang lain.
Kemudian ketika ada seorang teman yang belum menikah, lebih baik saya bertanya ‘kapan turun hujan?’ daripada bertanya ‘kapan kawin?’. (*)
BACA JUGA Alih-Alih Body Positivity, Sebenarnya Alasan Untuk Melanggengkan Rasa Malas atau tulisan Allan Maulana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.