Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Lamalera dan Rindu yang Tak Kunjung Selesai

Milla Lolong oleh Milla Lolong
14 Juli 2019
A A
lamalera

lamalera

Share on FacebookShare on Twitter

Rindu adalah sesuatu yang tak akan selesai diuraikan. Rindu akan terpenuhi apabila kita merasakannya sendiri. Rindu itu tak akan selesai-selesai. Bagaikan rusa merindukan air dalam lagu rohani Katolik. Bagaikan pungguk merindukan bulan dalam peribahasa, begitu pula saya merindukan Lamalera.

Bagaimana tidak Lamalera adalah sebuah kampung letaknya di selatan Kota Lembata, Provinsi NTT. Kampung yang terkenal dan dikagumi dengan tradisi perburuan Paus secara tradisional dengan menggunakan peledang dan tempuling, kampung yang terkenal dengan Misa Leva setiap awal bulan Mei di setiap tahun yang sudah terkenal di NTT, Indonesia bahkan di luar negeri.

Saya adalah salah satu pengagum kampung Lamalera dan orang-orang Lamalera yang saya jumpai di mana saja, yang pada umumnya adalah penulis, wartawan dan dosen mereka orang-orang Lamalera yang saya kagumi. Kekaguman saya terus bertambah dan terus bertambah ketika bertemu dan sekedar bincang-bincang lepas dengan orang Lamalera yang tinggal di Kota, saya berbagi cerita, bertanya-tanya tentang kampung mereka.

Bincang-bincang lepas tetap kami lakukan, tentunya saya harus berkunjung ke rumah mereka yang mungkin membuat mereka jengkel pada saat itu. Mereka lalu mengajak saya untuk berkunjung ke Lamalera, selain diajak saya sudah lebih dahulu menawarkan diri meminta untuk membersamai saya (karena mereka tuan tanah) untuk berkunjung ke Lamalera sekedar jalan-jalan dan meleburkan rindu yang terus membara kala itu.

Setelah itu saya meminta persetujuan orang tua saya, tetapi karena ada beberapa hal maka rencana untuk pergi ke Lamalera dibatalkan. Bisa dibayangkan saja betapa rindu saya yang menderu bagai ombak yang hendak pecah di bibir pantai musnah begitu saja, begitu juga dengan orang Lamalera yang hendak membersamai saya sekaligus mengunjungi keluarganya di sana—eh terbalik, mereka yang hendak mengunjungi keluarga mereka sekaligus bersama saya. Akhirnya mereka lalu pergi sendiri, saya hanya melihat postingan-postingan mereka di Facebook saja.

Kami lalu membuat janji untuk berkunjung kesana di lain waktu. Apalah daya, kepatuhan terhadap perintah orangtua adalah jalan dan cara untuk masuk kerajaanNya dan bertahan mengingat biaya registrasi—walaupun itu kewajiban orangtua tetapi sebagai anak saya juga mesti patuh.

Waktu terus berlalu, musim patah berganti. Aktivitas kuliah terus mengalir begitu saja, tugas-tugas penuh di laptop dengan segala tetek bengeknya, tetapi kerinduan terhadap Lamalera terus membuncah dan tidak selesai-selesai. Libur semester pun telah tiba. Bagi saya anak kos—saya akan cepat-cepat pulang, rindu akan rumah, masakan mama, kemarahan orang tua, kampung yang teduh. Walaupun lagi dan lagi Lamalera, terus memanggilku untuk pulang. Seperti kata penyair Joko Pinurbo—bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung.

Setibanya di Lembata, setelah beberapa hari bersama orangtua dan keluarga di rumah, saya pun langsung berkunjung ke rumah orang Lamalera yang ada di kota untuk menagih janji saya. Kesepakatan kami buat, lalu berangkat ke Lamalera. Waktu itu hari Senin tanggal 4/2/2019, kami pun berangkat.

Baca Juga:

Alor, Destinasi Wisata yang Tak Bising dan Bikin Pusing, Cocok untuk Menghabiskan Akhir Tahun Kalian dengan Tenang

5 Pekerjaan yang Bertebaran di Indonesia, tapi Sulit Ditemukan di Turki

Duduk santai, jalan panjang, berliku, jalan yang aduhai, kerikil-kerikil lepas, bus karunia, lagu-lagu nostalgia sepanjang jalan, bersama para penumpang asli kampung Lamalera dengan dialek khasnya membuat saya terlena dan semua itu tiba-tiba mengharuskan saya untuk menulis sebuah puisi. Perjalanan menempuh waktu 5 jam menuju Lamalera. Tibalah kami di pintu masuk seperti yang diceritakan di mana-mana ternyata benar, aroma daging dan minyak ikan paus bercampur aroma laut selatan seakan menyambut kedatangan kami. Itu tradisi Kampung Lamalera, tulang-tulang ikan Paus yang sudah kering, tersusun rapi membentuk pagar di setiap halaman rumah, dialek kampung dan teriakan anak-anak mulai terdengar. Bayangkan betapa bahagianya saya.

Sesampainya di rumah yang kami tuju, rumah yang berseberangan dengan Pantai Leva. Angin laut yang syahdu, bunyi gelombang yang pecah di hamparan karang membuat saya semakin penasaran. Setelah bersalaman dengan tuan rumah, istirahat sejenak, minum teh panas yang disuguhkan tuan rumah, saya tidak sabar lagi untuk berlari ke pantai menghirup aroma laut Lamalera yang khas bercampur bau daging dan minyak ikan paus.

Selesai minum saya lalu meminta ijin untuk pergi ke pantai. Sungguh pemandangan yang indah, pantai yang bersih, anak-anak yang bersorak riang sambil mandi, kebahagiaan mana yang mesti kau sembunyikan lagi. Di sepanjang pantai terlihat paledang dan tali temali perlengkapan untuk menangkap ikan berjejer masing-masing di pondok tempat penyimpanan, masing-masing suku mempunyai itu. Dengan tiba-tiba saya menelungkupkan tubuh beberapa menit menghirup bau pasir, bercampur minyak, darah, dan peluh para lamafa, mencumbu untuk melepaskan rindu saya yang mabuk itu. Sungguh kelelahan telah terbayar habis, Betapa bahagianya saya di hadapan semesta dan ibu laut Lamalera.

Setelah membersamai rindu dan anak-anak pantai puas menikmati tenggelamnya matahari saya pun kembali ke rumah. Dari kejauhan terdengar alunan musik dengan lagu nostalgia dan lagu-lagu rohani, saya kaget ketika tiba di rumah saya temui bahwa suara alunan itu berasal dari rumah yang kami singgahi, betapa syahdunya alunan musik beserta deru gelombang dan sunyi. Dan rumah yang kami singgahi itu adalah rumah sang pelukis dan pemahat, seorang seniman, bagaimana tidak anak perempuanya juga seorang novelis dan jurnalis yang tak kalah seninya. Itulah orang-orang lamalera yang saya kagumi.

Keesokan harinya tepatnya hari selasa, 5/2/2019 saya tetap ke pantai melihat aktifitas para lamafa dan anak-anak yang bergurau di pantai, betapa kagetnya saya ketika tepat pukul 12.00 lonceng gereja dibunyikan pertanda doa Angelus, segala aktivitas dihentikan anak-anak berlari menemui orang tua mereka lalu bersama-sama merapalkan doa. Betapa kuat keyakinan orang Lamalera, di tengah persoalan hidup dan zaman yang semakin modern, demikianlah mereka bekerja, mengucapkan syukur sembari meminta berkat. Bagaimana tidak Tuhan terus mengirimkan knato kepada mereka lewat laut yang bagi orang Lamalera adalah ibu yang menghidupkan sebagai balasannya.

Setelah tiga hari di Lamalera kami lalu pulang ke kota bersama anak tanah Lamalera si Jurnalis itu. Lewat tulisan ini saya patut mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah yang menerima saya, kepada orang-orang Lamalera yang saya temui, dan khusus kepada anak asli Lamalera si Jurnalis yang membawa saya ke Lamalera. Sampai saat ini rindu saya tak kunjung selesai dan belum lengkap karena belum mengikuti Misa Leva. Tetapi lebih lengkapnya jika bersama dikau kekasih. Kemarilah!

 

Keterangan:

Peledang: sampan untuk berburu ikan paus.

Tempuling: tombak atau alat untuk menikam ikan paus.

Misa leva: misa pembukaan berburu bagi orang Lamalera. Pada awal bulan Mei.

Lamafa: Juru tikam atau orang yang dikhususkan untuk menikam ikan paus.

Pantai Leva: Pantai dimana, tempat misa leva diselenggarakan, peledang-peledang dilabuhkan

Knato: adalah oleh-oleh atau rejeki yang dikirimkan oleh Tuhan berupa ikan paus. Menurut keyakinan orang-orang Lamalera.

 

Terakhir diperbarui pada 19 Januari 2022 oleh

Tags: IndonesiaKearifan Lokallamaleranusa tenggara timurpariwisata indonesiaperburuan pausvisit indonesia
Milla Lolong

Milla Lolong

ArtikelTerkait

Membandingkan Riasan Pengantin di Indonesia dengan di Korea itu Wagu Terminal Mojok

Membandingkan Riasan Pengantin di Indonesia dengan Korea Itu Wagu!

24 Januari 2022
orang flores

Rasanya Jadi Orang Flores di Jakarta

29 Juni 2019
4 Faktor Internet Indonesia Begitu Lambat selain Salah Pemerintah

4 Faktor Internet Indonesia Begitu Lambat selain Salah Pemerintah

29 September 2022
SimpleMan

SimpleMan Cinematic Universe

4 September 2019
angka kemiskinan, orang miskin temennya orang miskin

Mencari Angka Kemiskinan Tidak Berbanding Lurus dengan Makan Gorengan

20 Agustus 2019
Sistem Pendidikan Finlandia; Belajar Cara Belajar. Menyadarkan Saya Betapa Bobrok dan Tertinggal Sistem Pendidikan Indonesia Mojok.co

Buku Sistem Pendidikan Finlandia; Belajar Cara Belajar, Menyadarkan Saya Betapa Bobrok dan Tertinggal Sistem Pendidikan Indonesia

1 Juli 2024
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

2 Desember 2025
Menambah Berat Badan Nyatanya Nggak Sesederhana Makan Banyak. Tantangannya Nggak Kalah Susah dengan Menurunkan Berat Badan

Menambah Berat Badan Nyatanya Nggak Sesederhana Makan Banyak. Tantangannya Nggak Kalah Susah dengan Menurunkan Berat Badan

29 November 2025
4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang Mojok.co

4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang

3 Desember 2025
Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang Mojok.co

Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang

3 Desember 2025
3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka Mojok.co

Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka

1 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.