Rindu adalah sesuatu yang tak akan selesai diuraikan. Rindu akan terpenuhi apabila kita merasakannya sendiri. Rindu itu tak akan selesai-selesai. Bagaikan rusa merindukan air dalam lagu rohani Katolik. Bagaikan pungguk merindukan bulan dalam peribahasa, begitu pula saya merindukan Lamalera.
Bagaimana tidak Lamalera adalah sebuah kampung letaknya di selatan Kota Lembata, Provinsi NTT. Kampung yang terkenal dan dikagumi dengan tradisi perburuan Paus secara tradisional dengan menggunakan peledang dan tempuling, kampung yang terkenal dengan Misa Leva setiap awal bulan Mei di setiap tahun yang sudah terkenal di NTT, Indonesia bahkan di luar negeri.
Saya adalah salah satu pengagum kampung Lamalera dan orang-orang Lamalera yang saya jumpai di mana saja, yang pada umumnya adalah penulis, wartawan dan dosen mereka orang-orang Lamalera yang saya kagumi. Kekaguman saya terus bertambah dan terus bertambah ketika bertemu dan sekedar bincang-bincang lepas dengan orang Lamalera yang tinggal di Kota, saya berbagi cerita, bertanya-tanya tentang kampung mereka.
Bincang-bincang lepas tetap kami lakukan, tentunya saya harus berkunjung ke rumah mereka yang mungkin membuat mereka jengkel pada saat itu. Mereka lalu mengajak saya untuk berkunjung ke Lamalera, selain diajak saya sudah lebih dahulu menawarkan diri meminta untuk membersamai saya (karena mereka tuan tanah) untuk berkunjung ke Lamalera sekedar jalan-jalan dan meleburkan rindu yang terus membara kala itu.
Setelah itu saya meminta persetujuan orang tua saya, tetapi karena ada beberapa hal maka rencana untuk pergi ke Lamalera dibatalkan. Bisa dibayangkan saja betapa rindu saya yang menderu bagai ombak yang hendak pecah di bibir pantai musnah begitu saja, begitu juga dengan orang Lamalera yang hendak membersamai saya sekaligus mengunjungi keluarganya di sana—eh terbalik, mereka yang hendak mengunjungi keluarga mereka sekaligus bersama saya. Akhirnya mereka lalu pergi sendiri, saya hanya melihat postingan-postingan mereka di Facebook saja.
Kami lalu membuat janji untuk berkunjung kesana di lain waktu. Apalah daya, kepatuhan terhadap perintah orangtua adalah jalan dan cara untuk masuk kerajaanNya dan bertahan mengingat biaya registrasi—walaupun itu kewajiban orangtua tetapi sebagai anak saya juga mesti patuh.
Waktu terus berlalu, musim patah berganti. Aktivitas kuliah terus mengalir begitu saja, tugas-tugas penuh di laptop dengan segala tetek bengeknya, tetapi kerinduan terhadap Lamalera terus membuncah dan tidak selesai-selesai. Libur semester pun telah tiba. Bagi saya anak kos—saya akan cepat-cepat pulang, rindu akan rumah, masakan mama, kemarahan orang tua, kampung yang teduh. Walaupun lagi dan lagi Lamalera, terus memanggilku untuk pulang. Seperti kata penyair Joko Pinurbo—bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung.
Setibanya di Lembata, setelah beberapa hari bersama orangtua dan keluarga di rumah, saya pun langsung berkunjung ke rumah orang Lamalera yang ada di kota untuk menagih janji saya. Kesepakatan kami buat, lalu berangkat ke Lamalera. Waktu itu hari Senin tanggal 4/2/2019, kami pun berangkat.
Duduk santai, jalan panjang, berliku, jalan yang aduhai, kerikil-kerikil lepas, bus karunia, lagu-lagu nostalgia sepanjang jalan, bersama para penumpang asli kampung Lamalera dengan dialek khasnya membuat saya terlena dan semua itu tiba-tiba mengharuskan saya untuk menulis sebuah puisi. Perjalanan menempuh waktu 5 jam menuju Lamalera. Tibalah kami di pintu masuk seperti yang diceritakan di mana-mana ternyata benar, aroma daging dan minyak ikan paus bercampur aroma laut selatan seakan menyambut kedatangan kami. Itu tradisi Kampung Lamalera, tulang-tulang ikan Paus yang sudah kering, tersusun rapi membentuk pagar di setiap halaman rumah, dialek kampung dan teriakan anak-anak mulai terdengar. Bayangkan betapa bahagianya saya.
Sesampainya di rumah yang kami tuju, rumah yang berseberangan dengan Pantai Leva. Angin laut yang syahdu, bunyi gelombang yang pecah di hamparan karang membuat saya semakin penasaran. Setelah bersalaman dengan tuan rumah, istirahat sejenak, minum teh panas yang disuguhkan tuan rumah, saya tidak sabar lagi untuk berlari ke pantai menghirup aroma laut Lamalera yang khas bercampur bau daging dan minyak ikan paus.
Selesai minum saya lalu meminta ijin untuk pergi ke pantai. Sungguh pemandangan yang indah, pantai yang bersih, anak-anak yang bersorak riang sambil mandi, kebahagiaan mana yang mesti kau sembunyikan lagi. Di sepanjang pantai terlihat paledang dan tali temali perlengkapan untuk menangkap ikan berjejer masing-masing di pondok tempat penyimpanan, masing-masing suku mempunyai itu. Dengan tiba-tiba saya menelungkupkan tubuh beberapa menit menghirup bau pasir, bercampur minyak, darah, dan peluh para lamafa, mencumbu untuk melepaskan rindu saya yang mabuk itu. Sungguh kelelahan telah terbayar habis, Betapa bahagianya saya di hadapan semesta dan ibu laut Lamalera.
Setelah membersamai rindu dan anak-anak pantai puas menikmati tenggelamnya matahari saya pun kembali ke rumah. Dari kejauhan terdengar alunan musik dengan lagu nostalgia dan lagu-lagu rohani, saya kaget ketika tiba di rumah saya temui bahwa suara alunan itu berasal dari rumah yang kami singgahi, betapa syahdunya alunan musik beserta deru gelombang dan sunyi. Dan rumah yang kami singgahi itu adalah rumah sang pelukis dan pemahat, seorang seniman, bagaimana tidak anak perempuanya juga seorang novelis dan jurnalis yang tak kalah seninya. Itulah orang-orang lamalera yang saya kagumi.
Keesokan harinya tepatnya hari selasa, 5/2/2019 saya tetap ke pantai melihat aktifitas para lamafa dan anak-anak yang bergurau di pantai, betapa kagetnya saya ketika tepat pukul 12.00 lonceng gereja dibunyikan pertanda doa Angelus, segala aktivitas dihentikan anak-anak berlari menemui orang tua mereka lalu bersama-sama merapalkan doa. Betapa kuat keyakinan orang Lamalera, di tengah persoalan hidup dan zaman yang semakin modern, demikianlah mereka bekerja, mengucapkan syukur sembari meminta berkat. Bagaimana tidak Tuhan terus mengirimkan knato kepada mereka lewat laut yang bagi orang Lamalera adalah ibu yang menghidupkan sebagai balasannya.
Setelah tiga hari di Lamalera kami lalu pulang ke kota bersama anak tanah Lamalera si Jurnalis itu. Lewat tulisan ini saya patut mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah yang menerima saya, kepada orang-orang Lamalera yang saya temui, dan khusus kepada anak asli Lamalera si Jurnalis yang membawa saya ke Lamalera. Sampai saat ini rindu saya tak kunjung selesai dan belum lengkap karena belum mengikuti Misa Leva. Tetapi lebih lengkapnya jika bersama dikau kekasih. Kemarilah!
Keterangan:
Peledang: sampan untuk berburu ikan paus.
Tempuling: tombak atau alat untuk menikam ikan paus.
Misa leva: misa pembukaan berburu bagi orang Lamalera. Pada awal bulan Mei.
Lamafa: Juru tikam atau orang yang dikhususkan untuk menikam ikan paus.
Pantai Leva: Pantai dimana, tempat misa leva diselenggarakan, peledang-peledang dilabuhkan
Knato: adalah oleh-oleh atau rejeki yang dikirimkan oleh Tuhan berupa ikan paus. Menurut keyakinan orang-orang Lamalera.