Kulon Progo itu daerah yang unik. Ada pegunungan Menoreh yang adem, kopi yang nikmat, sampai bandara internasional yang megah—YIA. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang baru-baru ini bikin heboh: pergantian ikon daerah. Dari yang dulu Geblek Renteng, sekarang berubah jadi Binangun Kertaraharja.
Katanya sih biar punya identitas baru, biar semangat pembangunan makin terasa. Tapi jujur aja, di tengah jalan yang bolong, harga bahan pokok yang naik, dan lapangan kerja yang nggak tambah luas, kabar pergantian ikon ini terasa kayak ngasih lipstik ke tembok retak: bagus sih, tapi tetap aja temboknya bocor.
Geblek Renteng: simbol yang dekat di lidah dan di hati
Kalau kamu orang Kulon Progo, pasti tahu geblek, makanan khas dari singkong yang bentuknya kayak angka delapan. Rasanya gurih, teksturnya kenyal, dan aromanya khas banget. Dari makanan sederhana itu lahirlah motif batik Geblek Renteng, yang sejak 2012 resmi jadi ikon Kulon Progo.
Motif ini bukan cuma kain. Ia simbol kebersamaan, kesederhanaan, dan keuletan orang-orang Kulon Progo. Saking populernya, hampir semua instansi pemerintah dulu wajib pakai batik ini tiap Kamis. Anak sekolah, guru, bahkan tukang parkir pun hafal bentuknya.
Tapi sekarang, Geblek Renteng pelan-pelan digeser. Katanya, waktunya move on ke ikon baru: Binangun Kertaraharja. Filosofinya sih bagus—binangun berarti membangun, kertarajasa berarti makmur dan sejahtera. Masalahnya, warga yang lewat jalan berlubang tiap hari mungkin agak susah membayangkan makmur kalau motornya sering mogok karena kejeblos aspal yang mengelupas.
Kulon Progo: simbol baru, masalah lama
Pemkab Kulon Progo baru aja meluncurkan motif Binangun Kertaraharja pada Juni 2025. Bersamaan dengan itu, muncul juga motif Songsong Agung Ngambararum. Keduanya digadang-gadang sebagai simbol baru yang lebih “mengakar” pada budaya dan semangat pembangunan.
Tapi di sisi lain, masyarakat banyak yang garuk-garuk kepala. “Buat apa ganti ikon kalau ekonomi aja belum bangkit?” begitu kira-kira isi obrolan anak muda sekarang yang suka bahas isu-isu terbaru.
Karena memang, fakta di lapangan belum seindah filosofi batik. Walau punya bandara besar sekelas YIA, ekonomi lokal di sekitar bandara belum ikut terbang. Pedagang kecil di sekitaran Glagah masih mengeluh sepi pembeli, wisatawan yang datang ke Kulon Progo pun seringnya cuma lewat, bukan mampir.
Dan yang paling lucu, waktu kami lewat depan rumah dinas bupati yang plengkingannya baru direnovasi, temanku nyeletuk,
“Kalian lihat nggak apa yang berbeda dari plengkingan ini? Gebleknya udah ilang. Bisa jadi artefak ini.”
Kami semua ketawa, walau getir juga. Karena betul, lambang Geblek yang dulu terpampang di sana udah diganti.
Teman satunya lagi nyahut,
“Paling juga cuma bertahan setahun.”
Kalimat sederhana itu, jujur, lebih nyentil daripada pidato pejabat mana pun. Karena di balik candanya, ada rasa kehilangan. Simbol lama yang lahir dari warga sendiri kini tergeser oleh hal baru yang belum tentu mengakar.
Baca halaman selanjutnya




















