Dosen saya selalu bilang kalau kuliah di kelas itu nggak pernah bisa bikin mahasiswa paham betul sama materi yang diajarkan. Untuk memahami materi secara komprehensif, mahasiswa harus mencarinya di luar kelas, contohnya adalah dengan baca buku dan diskusi. Kuliah di kelas cuma memantik aja, katanya.
Saya sepakat, makanya perlu untuk dibuka ruang-ruang diskusi di kampus itu. Bahkan, kalau bisa perpustakaan juga buka saja selama 24 jam. Jadi, mahasiswa bisa jelajahi lebih luas materi yang diajarkan di kelas.
Lha, kenyataannya, kampus-kampus sekarang tuh malah kayak nggak mau lihat mahasiswa lama-lama di kampus. Di mana-mana pasti ada aja jam malamnya. Diskusi agak malam dikit, langsung diusir. Baru duduk bentar di perpustakaan, eh udah mau tutup aja. Padahal, uang yang dibayarkan mahasiswa itu kan harusnya termasuk dengan full akses fasilitas yang ada di kampus. Kalau dibatasi, ya, wajar aja kalau pengetahuannya juga jadi terbatas.
Jadinya, banyak mahasiswa yang lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi. Cuma beli satu kopi—makan bahkan bisa ke tempat lain dulu, terus bisa duduk di situ seharian, bebas akses wifi lagi.
Hingga akhirnya beres kuliah, saya merasa warung kopi lebih besar jasanya dibanding kampus bagi saya. Bukan apa-apa, saya dan teman-teman seperguruan memang lebih banyak cari ilmu dan kembangkan kemampuan di warung kopi daripada di kampus.
Ya, karena akses di kampus emang terbatas. Percuma banget gedungnya gede dan tanahnya luas. Toh, gerbangnya ditutup kalau malam. Padahal, waktu yang bisa digunakan mahasiswa buat cari ilmu di luar kelas itu, ya bisanya waktu malam. Pagi-sorenya, kan dipakai cari ilmu di kelas itu.
Miris banget nggak, sih? Bayarnya ke kampus, tapi yang memberi fasilitas malah warung kopi. Itu, kan sama kayak kita kasih duit sumbangan ke orang yang ternyata malah lebih kaya dari kita. Aih, nggak masuk, Bos!
Oke, perkara perpustakaan buka 24 jam, itu masih bisa diperdebatkan. Kampus harus cari pegawai untuk jaga perpus saat malam. Perpus tutup malam, itu jelas masuk akal. Tapi, kalau mahasiswa nggak diperbolehkan di kampus saat malam, itu yang agak nganu. Mahasiswa nggak butuh ruang kelasnya kok. Tapi, cukup diperbolehkan di kampus dan diberi akses internet (super) cepat dan gratis.
Saya selalu iri kalau diceritakan sama mahasiswa-mahasiswa jadul yang suka lama-lama di kampus. Bagi mereka, kampus itu sudah layaknya rumah kedua. Bebas berekspresi, cari jati diri, dan bahkan tempat melepas lelah.
Ya, kampus sekarang juga sama, sih, kayak rumah. Tapi, rumah yang nggak nyaman.
Gimana mau betah di kampus kalau bentar-bentar diam di sekretariat, eh satpam nongol di depan pintu dan bilang, “Mas, bentar lagi mau tutup, nih.” Nggak usah di sekretariat deh, kadang di tempat-tempat umum macam bangku dan meja yang disediakan kampus aja tetep diminta pulang kok.
Rasanya malah aneh ketika warung kopi memberi hal yang lebih konkret. Bayar kopi, kadang voucher internet juga, tapi memberi kemudahan bagi mahasiswa untuk diskusi dan mengakses ilmu. Kadang, ada juga yang menyediakan perpustakaan.
Apakah ini artinya kampus harus bubar terus pindah ke warkop? Nggak gitu juga kaleee. Maksud saya, kampus harusnya sadar, ketika mahasiswanya disuruh bayar mahal, ya mereka harus ngasih feedback yang sama. Kalau kampus adalah tempat menuntut ilmu, ya beri kebebasan dan akses menuju ilmunya dong.
Banyak yang kuliah berharap nasibnya berubah karena ilmu-ilmu yang bisa didapat di kampus. Rasanya aneh ketika kampus justru tidak memberi esensi kuliah yang sebenarnya: menuntut ilmu dengan kaffah.
Masak kampus yang bayarannya berjuta-juta kalah berjasa sama warung kopi? Ra mashok nek iki.
Penulis: Tazkia Royyan Hikmatiar
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.