Saya pikir, persoalan Korean wave, serta wave-wave budaya lainnya tidaklah sesederhana yang kita lihat. Gelombang-gelombang tersebut membawa dan menyentuh banyak sekali aspek. Ada kesan tersendiri yang bisa kita lihat antara masyarakat kita dengan datangnya tren dari luar lewat hiburan. Ya, hiburan yang tujuannya menghibur, ternyata malah menyentuh dinamika gender di Indonesia.
Well, itulah culture shock. Pertanyaannya, siapa yang shock dengan datangnya wave-wave dari negara luar ke Indonesia lewat hiburan—musik, film, selebritas? Izinkan saya memberi alternatif jawaban spekulatif—pria. Ya, pria. Tentu saja anda bisa menambahkan jawaban wanita di sebelahnya. Tidak masalah, tapi saya ingin fokus pada pria. Kenapa?
Datangnya gelombang-gelombang ini patut kita lihat asal muasalnya. Sependek pengetahuan saya, ada 3 gelombang besar yang datang ke sini. Yang tentunya mengefek pada dinamika gender kita.
Pertama, gelombang anak rock dan teman-temannya. Yah, kita tentu tahu model-model seperti ini cukup ngetren di era 90-an, mungkin sampai saat ini juga, karena kadang saya melihat beberapa om-om yang penampilannya masih seperti personil band God Bless. Kedua, gelombang hip hop yang kaosnya kegedean dan celananya kebesaran. Yang di kemudian hari, gaya ini dipakai bocah-bocah belum matang untuk berfoto di akun Fmereka lengkap dengan caption asmara yang kampungan namun lucu. Lalu yang ketiga, gelombang dari—apa ya bilangnya—daerah Tiongkok dan sekitarnya, China Taiwan-Korea. Ya ini jelas, sebut saja Jet Li, Meteor Garden, serta BTS dan teman-temannya.
Tapi, yang menarik, justru stigma negatif yang disematkan pada negara terakhir yang saya sebutkan di atas. Stigma aneh-aneh dilekatkan pada mereka, entah itu gay, banci, ngondek, dan lain-lainnya. Meskipun ada beberapa (pria) yang menanggapinya dengan positif, bahkan mengikuti tren tersebut. Namun saya rasa itu tidak banyak. Sisanya menghujat, menghujat, dan menghujat. Bagian yang paling asyik dari ini semua adalah bertanya. Seperti Socrates yang cukup menyebalkan dengan hobinya mendebat orang di kota yang tidak salah apa-apa. Mungkin kita bertanya kenapa, bagaimana, apa, siapa, apakah kamu sayang padaku, dan sebagainya.
Begini, ada suatu teori yang isinya bilang manusia punya tendensi untuk melihat sesuatu sebagai suatu kesatuan. Terintegrasi, seperti alur TransJakarta. Kalau kita kaitkan, maka yang paling nampak adalah hubungan idola-fans. Idola dengan fans, merupakan suatu kaitan yang terintegrasi.
Bisa jadi, salah satu alasan mengapa terjadi perundungan pada citra pria-pria dari Korea Selatan ini justru karena militansi fans mereka. Saya sih, tidak ingin naïf dengan mengatakan fans KPop itu tidak masif dan militan, sebab kenyataannya memang begitu. Karena setahu saya idola mereka memang digilai dengan segala talenta mereka, bahkan sampai mendunia ke mana-mana. Wajar kalau mereka punya fans yang militan yang kadang ya…menyebalkan.
Jeleknya adalah, beberapa dari kita yang mungkin benci dengan fans mereka, malah jadi ikutan membenci idola mereka. Ya, ibarat Pilpres kemarin begitu, kita nggak suka sama Jokowi atau Prabowo, tapi jadi ikut-ikutan nggak suka sama tetangga kita karena berbeda pilihan politik tersebut.
Namun, kita belum menyentuh aspek pria di sini. Penjabaran di atas anggaplah sebagai jawaban umum mengapa kita merundung oppa-oppa itu. Sebetulnya nih, kita harus salut dan berterimakasih dengan masuknya gelombang Korea ini. Kenapa? Sebab mereka sebetulnya berhasil mendobrak definisi pria ideal di kebanyakan kepala pria di negara berflower ini.
Mengapa bisa? Opini saya begini—percaya atau tidak, definisi pria ideal di kepala tiap pria akan bergantung pada definisi pria ideal yang ada di kepala wanita. Ya, anda sudah menjadi bucin—budak cinta—sejak dalam pikiran. Bagaimana dengan wanita? Entahlah, saya tidak berani berspekulasi karena saya sendiri bukan wanita.
Sekarang jika ternyata oppa-oppa ini begitu disukai wanita—gebetan anda—maka bisa jadi di kepala anda harus ada revisi mengenai definisi pria ideal itu. Sialnya, di kepala anda sudah terpatri bahwa pria ideal itu adalah yang begini-begitu-pokoknya-tidak-seperti-orang-korea-itu. Sialnya lagi, setelan orang Korea itu susah kita ikuti. Coba lihat kulit mulus mereka, kulit halus mereka, bandingkan dengan kita yang hidup di negara tropis yang suhunya cukup panas. Belum lagi umumnya kulit orang-orang di sini sawo matang. Itu baru dari aspek fisik, belum yang lain-lainnya. Seperti dance misalnya—di sini dance masih identik dengan kegiatan yang wanita banget, sehingga pria-pria mungkin hanya bisa melepaskan hasrat berjoget ini di hadapan biduan dangdut saat acara 17 Agustus di wilayah setempat saja.
Jadi, bagaimana sekarang, pria tampan? Tidak perlu bingung. Karena kita ini negara religius, maka tidak perlu takut soal-soal duniawi macam begitu. Ingatlah kalau dia memang jodoh anda, niscaya seperti pasir di laut bertemu dengan senja di langit, maka ia akan selalu menuju kepada anda.