Hidangan Istimewa Kampung yang biasa kita kenal dengan akronim HIK atau Wedangan, bukan sekadar warung belaka. Bagi kami warga Kota Sukoharjo, Surakarta, dan Solo pada umumnya punya kesan mendalam terhadap ketika mengunjungi HIK atau yang juga populer disebut angkringan Solo.
Di sekitar Sukoharjo dan Surakarta pada umumnya, warung HIK atau angkringan Solo memang bertebaran. Bahkan, setiap radius satu kilometer di sepanjang jalan kota pasti dapat kita jumpai satu atau lebih HIK. Meski jumlahnya banyak, dengan berbagai lauk dan hidangan, ada satu rasa yang sama. Bagi saya, warga Kota Sukoharjo dan Surakarta, rasa yang terasa adalah kehangatan dari HIK atau angkringan Solo ini.
Rasa hangat ini milik semua kalangan. Harga makanan dan minuman di HIK atau angkringan Solo memang murah. Satu aspek yang dulu membuatnya dianggap sebagai jujugan warga menengah ke bawah. Namun, nyatanya, tidak sedikit pejabat, orang kaya, para terpandang yang menikmati hangatnya hubungan manusia di dalam tenda-tenda sederhana.
Di Kota Sukoharjo dan Surakarta pada umumnya, mereka tidak gengsi untuk duduk bersama tukang becak, buruh pabrik, karyawan kantoran, sampai mahasiswa. Mereka bisa selonjoran, mengobrol dengan hangat, meskipun tidak saling kenal.
Mereka menjadi satu kesatuan. Disatukan oleh menu-menu sederhana yang terbungkus kertas koran dan daun pisang. Ada juga yang dialasi piring seng sederhana yang di beberapa bagian sudah terdapat tambalan. Beragam sundukan, sate-satean, gorengan, menjadi pelengkap yang selalu dicari di HIK atau angkringan Solo.
Untuk minuman, tentu yang paling diminati adalah the multiverse of teh tubruk. Satu nama menu, bisa menjadi banyak varian. Seperti orang-orang di Kota Sukoharjo yang beragam, tapi bisa menjadi satu kesatuan di dalam tenda HIK atau angkringan solo.
Satu teh, bisa menjadi variasi menu es teh kampul (es teh dengan potongan jeruk peras), es teh mondo (es teh dengan sedikit gula), nasgitel (teh yang disajikan dalam kondisi panas, manis, dan kental), dan lain sebagainya. Menu-menu ini tidak saling bersaing, tapi melengkapi.
Seperti layaknya manusia, HIK atau angkringan Solo di segala penjuru Kota Sukoharjo dan Surakarta punya ciri khas masing-masing. Ada yang sangat menonjol kenikmatan sajian tehnya, ada yang nasi kucingnya paling juara, ada yang gorengannya sulit ditandingi HIK lainnya, ada yang menyajikan olahan bacem dengan rasa paling pamungkas.
Oleh sebab itu, pelanggan bisa memilih sendiri HIK atau angkringan Solo sesuai selera sendiri. Jarang sekali saya menemukan satu HIK di Kota Sukoharjo dan sekitar Surakarta bisa menyapu bersih semua keunggulan di atas. Namun, satu hal yang pasti, rata-rata, HIK di Kota Sukoharjo, sekitar Surakarta, dan Solo punya es teh yang nikmat dibandingkan daerah lainnya.
Salah satu HIK atau angkringan Solo favorit saya di Kota Sukoharjo adalah HIK Dodok (penyebutan o seperti pada kata “odol”). HIK ini berlokasi tepat di samping Masjid Agung Sukoharjo.
Mas Dodok biasa menjajakan dagangannya dari selepas isya hingga subuh. Menu favorit saya dan kawan-kawan ketika mampir di sini adalah nasi sambal terinya. Perpaduan nasi hangat dan sambal teri racikan Mas Dodok bisa dengan mudah menaikkan mood. Hanya dengan lima ribu rupiah saja kami sudah bisa mendapatkan sepiring nasi yang bikin kenyang.
Beranjak dari perbincangan perut, kita masuk kedalam peran HIK atau angkringan Solo yang lebih krusial. Di sekitar Kota Sukoharjo dan Surakarta, HIK lambat laun kini sudah menjadi gaya hidup seperti yang saya singgung di atas.
Tidak memandang perbedaan, HIK sangat diminati oleh berbagai kalangan. Sedikit banyak menjadi bukti bahwa HIK sudah turut andil dalam memupuk integrasi sosial masyarakat di sekitar Kota Sukoharjo dan Surakarta.
Dimulai dari hubungan sosial antara penjual dan pembeli, yang semula orang asing hanya datang sendiri, memesan makan dan minum, setelah itu pergi. Pembeli yang merasakan kenyamanan terhadap suasana hangat maupun hidangan pasti akan kembali, bahkan mungkin mengajak temannya untuk bergabung. Lambat laun di pertemuan selanjutnya mulai menyapa dan bertanya kabar, atau dalam hubungan yang lebih intens biasanya bertukar nomor WhatsApp.
Sebagai contohnya adalah ayah saya sendiri yang kini sudah jadi member grup Whatsapp “HIK Mas Ardha”. HIK Mas Ardha berlokasi di sebelah selatan SD Banmati 03. Bila ingin lebih mudah berkunjung, HIK Mas Ardha kini sudah terdapat di Google Maps.
Ayah saya merupakan pelanggan tetap di HIK Mas Ardha. Beliau bercerita bahwa dulu bisa dekat dengan pemilik HIK karena hanya sebatas saling menyeletuk guyonan satu sama lain dan akhirnya berkawan hingga sekarang. Menurut ayah saya, adalah suatu kebanggan ketika dapat menjadi member di HIK tersebut.
Pasalnya, bapak-bapak hitz di dusun saya pasti sering berjumpa di HIK Mas Ardha ini. Entah ayah saya kepincut dengan teh jahe buatan Mas Ardha atau memang dasarnya insting bapak-bapak menemukan guyonan yang pas (walau terkadang kurang lucu, tapi saya sayang dengan beliau). Kembali lagi, terkadang interaksi sosial timbul hanya semudah menyapa dan bertanya kabar.
Layaknya oasis di tengah gurun pasir, ketika keberadaan kafe yang terus menjamur di daerah Kota Sukoharjo, HIK akan terus bertahan demi kehidupan rakyat kecil. Hal tersebut membuktikan bahwa HIK atau angkringan Solo sudah bermetamorfosa menjadi wadah untuk menjalin integrasi sosial.
Terkadang, obrolan ngalor-ngidul di HIK antara saya dan kawan-kawan menjadikan kami lebih dekat. Di situ kami tidak memandang latar belakang kehidupan masing-masing. Mboh, kamu anaknya pejabat atau anaknya menteri apabila sudah masuk ke dalam lindungan HIK atau angkringan Solo, kami menganggap sesama adalah “sama”.
Setelah saya amati, yang istimewa dari Hidangan Istimewa Kampung adalah bukan perihal hidangannya, namun mengenai kehangatan yang muncul dari hubungan antara penjual dan para pembeli. Riuh suara orang memesan dibalas dengan jawaban khas dari pedagang HIK.
Ketika pelanggan berjejalan tidak peduli suku, ras, dan agama, namun hanya mendambakan segelas es teh untuk melepas dahaga. Gelak tawa muda-mudi yang sedang bergurau. Di situ muncul suasana yang tak terlupakan dan tidak dapat digantikan. Jika Pak Joko Pinurbo punya “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan, bagi saya, Kota Sukoharjo terbuat dari kenangan nasi sambal Mas Dodok dan teh jahe Mas Ardha.
Penulis: Dhiazwara Yusuf Dirga A
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kota Solo, Sebaik-baiknya Kota untuk Menetap.