Kekerasan seksual itu memang sangat biadab, tak peduli siapa yang melakukannya. Dua kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi, pertama yang dilakukan oleh Mas Bechi di sebuah pesantren di Jombang, dan kedua yang dilakukan oleh Julianto Eka Putra di sebuah sekolah di Kota Batu, membuat saya geram bukan main.
Bukan apa-apa, dua kasus kekerasan seksual yang bikin muak itu terjadi di sebuah tempat di mana seharusnya kita merasa aman, yaitu institusi pendidikan. Yang satu terjadi di lingkungan pesantren, satunya di lingkungan sekolah. Khusus untuk kasus kedua ini membuat orang Kota Batu sangat malu! Julianto Eka Putra, seorang motivator, melakukan tindak kekerasan seksual.
Di tulisan ini, saya akan fokus membahas kasus kedua. Sebuah kasus yang terjadi di lingkungan sekolah dan tersangkanya adalah Julianto Eka Putra. Kabar baiknya, hari ini, Selasa (12/7), si motivator busuk itu sudah dijebloskan ke penjara.
Mengapa saya bahas yang kedua? Sebab kasus kekerasan seksual ini terjadi di lingkungan sekolah, tepatnya di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang mana sekolahnya berada satu kota dengan tempat saya tinggal, yaitu Kota Batu.
Seperti yang kita tahu, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Julianto Eka Putra kembali mencuat setelah adanya pengakuan korban di Podcast Deddy Corbuzier tempo hari. Padahal, kasus kekerasan seksual ini diduga sudah terjadi sejak 2009 silam dan baru dilaporkan pada Mei 2021. Julianto Eka Putra juga baru ditetapkan tersangka pada Agustus 2021.
Dari Agustus 2021 hingga Juli 2022, seakan-akan dia tidak tersentuh oleh hukum. Inilah salah satu alasan kami, orang Kota Batu jadi sangat malu. Bagaimana bisa, seorang motivator, kebal hukum? Ini baru motivator, lho. Bagaimana dengan orang lain dengan “kekuasaan” yang lebih besar? Membayangkan saja sudah bikin mual.
Berkali-kali kasus ini diangkat di berbagai media sosial. Namun, sayangnya, masih juga belum banyak mendapat perhatian seperti kasus kekerasan seksual lainnya. Entah karena sebab apa, tapi seharusnya kasus ini harus benar-benar dikawal.
Ditambah lagi, seperti yang saya tegaskan di atas, kasus ini jelas membuat malu warga Kota Batu, kota tempat kasus ini terjadi, kota di mana Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) berada, dan sekaligus kota tempat saya tinggal, kota yang sangat saya banggakan.
Pertama, saya mungkin akan meminta maaf karena sebagai orang Kota Batu, saya malah tidak tahu tentang kasus ini. Kalau saja Komnas PA dan Podcast Deddy Corbuzier tidak mengangkat kasus ini, saya mungkin tidak akan tahu.
Ini karena saya menganggap bahwa Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) adalah sekolah yang cukup bagus. Mereka bisa memberikan ruang bagi anak-anak yatim piatu dan kurang mampu untuk belajar dan bersekolah. Mereka yang bersekolah di SPI juga diajarkan untuk mandiri dengan bekal ilmu wirausaha yang diberikan. Maka dari itu, saya awalnya menganggap bahwa SPI juga menyediakan ruang yang aman bagi para siswa di sana.
Sayangnya, ruang yang seharusnya aman bagi siswa ini malah menjadi neraka bagi mereka. Julianto Eka Putra malah menjadi setan bagi para siswa, dengan melakukan kekerasan seksual sejak 2009. Bayangkan, 13 tahun praktik ini terjadi, dan saya sebagai orang Kota Batu tidak tahu sama sekali.
Padahal, Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) ini tidak terlalu jauh dari rumah saya. Kok bisa-bisanya saya tidak tahu. Mungkin karena mereka pintar menutupi kasus ini, atau saya dan banyak warga yang terlalu abai dengan kondisi sesama?
Sebagai orang Kota Batu, jujur saya kecewa dengan adanya kasus ini. Gimana nggak kecewa, kasus biadab seperti ini kok ya bisa-bisanya terjadi di Kota Batu, kota saya. Selama nyaris 25 tahun hidup di sini, saya sudah sangat malu ketika mantan walikota saya terjerat kasus korupsi beberapa tahun lalu. Eh, sekarang lha kok ditambah lagi dengan adanya kasus kekerasan seksual yang malah membuat saya semakin malu.
Kita tahu, kekerasan seksual ini termasuk sebuah kejahatan yang tinggi levelnya, bahkan termasuk pelanggaran HAM. Apalagi di kasus Julianto Eka Putra, di mana kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan, lingkungan yang seharusnya menciptakan ruang aman bagi siapa saja yang ada di dalamnya.
Makanya, saya sangat berharap bahwa kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Julianto Eka Putra ini ditindak seadil-adilnya, setegas-tegasnya. Saya juga berharap bahwa penegak hukum di Kota Batu harus tegas dalam menangani kasus ini, sehingga pelaku dihukum seberat-beratnya. Kalau sudah seperti ini, tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kekerasan Seksual di Pesantren Melukai Nilai Sam’an Wa Tho’atan dan Wujud Penistaan Agama.