Banjar Patroman, Kota Kecil di Perbatasan Jawa Barat yang Kurang Mendapat Perhatian

Banjar Patroman, Kota Kecil di Perbatasan Jawa Barat yang Kurang Mendapat Perhatian

Banjar Patroman, Kota Kecil di Perbatasan Jawa Barat yang Kurang Mendapat Perhatian (Unsplash.com)

Saya sudah menceritakan perjalanan saat melewati kemacetan panjang di pertigaan Ajibarang di sini. Ini adalah catatan lanjutan dari perjalanan tersebut. Senin itu, meski mendung masih mengintai, setidaknya saya sedikit lega karena kota tujuan saya dan kawan sudah ada di depan mata. Ya, Senin lalu saya dan seorang kawan nekat pergi ke Kota Banjar, sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Sebelum masuk Kota Banjar, saya sempat mengabadikan momen di perbatasan dengan hape. Setelah puas berselfie ria, saya dan kawan lanjut ke pusat kota. Saya sempat bertanya pada kawan saya yang masih membuka Google Maps sebagai penunjuk arah, “Berapa menit lagi kita sampai di pusat kota?” Teman saya bilang sebentar lagi.

Jujur saja saya agak curiga dengan jawaban tersebut. Saya sampai bertanya pertanyaan sama dua kali. Bukannya apa-apa, kalau pusat kota tinggal sebentar lagi, kenapa sepanjang jalan yang kami lalui masih didominasi oleh bukit yang menjulang? Apa mungkin pusat kota Banjar berada di atas bukit?

Begitu tiba di Taman Simpang Banjar Atas, saya berbelok ke arah kiri menuju pusat kota. Kami melintasi Jalan Perintis Kemerdekaan dengan perasaan lega. Alun-Alun Banjar sudah dekat. Tak lama, sampailah kami di alun-alun kota yang terletak di bagian timur Provinsi Jawa Barat ini. Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 1,5 jam mengitari alun-alun, ada beberapa hal yang membuat saya berkesimpulan jika Kota Banjar kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Kondisi trotoar di pusat kota Banjar nggak ramah pejalan kaki

Setelah menunaikan salat magrib di Masjid Agung Banjar, saya dan kawan memutuskan berkeliling sembari menikmati suasana kota. Perut kami mulai keroncongan sehingga kami putuskan untuk mencari makan terlebih dulu.

Saat hendak keluar dari area masjid, saya mendapati trotoar yang berada persis di sisi selatan masjid rusak parah. Kondisi trotoar yang harusnya rata malah retak dan berlubang di berbagai sisi. Saya dan kawan harus lihai mengamati kondisi jalan sembari memilih trotoar yang layak untuk kami injak. Niat hati ingin menikmati suasana kota, eh, malah jadi fokus melihat trotoar yang rusak.

PKL berjualan di trotoar dan mengganggu pejalan kaki

Setelah beberapa langkah melewati trotoar yang rusak, saya melihat beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di trotor. Para PKL meletakkan gerobak mereka di tepi jalan, sedangkan lapak untuk para pembeli yang makan di tempat berada di trotoar. Saya yang hendak lewat jadi merasa terganggu.

Kalau mau lewat jalan raya, saya bisa kena omel pengendara motor atau mobil. Tapi jika lewat trotoar pun, saya akan sungkan karena ada beberapa orang yang sedang makan di trotoar. Akhirnya, saya putuskan untuk lewat trotoar saja. Saya pendam rasa sungkan itu dalam-dalam.

Apakah tidak ada rasa bersalah di benak para pedagang yang menggunakan fasilitas publik sebagai tempat pribadi? Seharusnya para PKL bisa mencari lokasi lain untuk berjualan. Selain mengganggu pengguna jalan, keberadaan PKL di trotoar bisa merusak keindahan kota.

Alun-Alun Kota Banjar sangat sempit

Setelah berkeliling alun-alun sebanyak dua kali, saya tak kunjung menemukan makan malam yang pas. Tapi karena sudah kadung lapar, akhirnya saya dan kawan memutuskan makan makanan paling aman, yakni bakso.

Sembari makan bakso, saya menyaksikan para pengunjung Alun-Alun Kota Banjar. Ada yang sedang sibuk menyantap kuliner, ada pula yang sedang sibuk bermain gawai. Beberapa anak berlarian di area alun-alun yang memiliki lebar tak seberapa itu. Bukan maksud hati merendahkan, alun-alun di pusat kota yang terkenal dengan kuliner Rangicoknya ini sangat sempit. Bahkan kalau mau dibandingkan dengan luas lapangan bola di desa saya, Alun-Alun Kota Banjar masih kalah.

Saya berandai-andai, jika alun-alunnya lebih luas, saya rasa tidak ada pedagang kaki lima yang membuka lapak di trotoar. Pemerintah setempat bisa menyediakan tempat bagi para PKL untuk berjualan di sekitar alun-alun, tentunya bukan di atas trotoar.

Itulah kesan saya saat berkunjung ke kota kecil yang menjadi pintu gerbang Jawa Barat. Lokasi Kota Banjar yang jauh dari ibu kota Provinsi Jawa Barat harusnya tak jadi alasan kota ini tak dapat perhatian. Justru sebaliknya, pihak pemprov dan pemkot bekerja sama membuat Banjar Patroman menjadi lebih baik. Jika kita berkunjung ke rumah seseorang, bukankah gerbang rumah menjadi salah satu aspek penting yang bisa memikat mata pengunjung? Kalau gerbangnya saja tidak diperhatikan, bagaimana kondisi rumahnya, betul, kan?

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mengenal Kota Banjar Jawa Barat yang Sering Disalahpahami sebagai Kota Banjarmasin, padahal Beda Pulau dan Provinsi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version