Saya kenal macam-macam jenis kopi sejak mondok. Teman saya dari daerah pegunungan seperti di Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Lombok, sampai Lampung sering bawa kopi ke pondok. Nah dari sekian banyak jenis kopi yang saya minum itu hanya satu yang melekat di hati saya. Kopi arabika, kopi yang dibawa teman saya yang dari Situbondo, Sulawesi sama anak Bondowoso yang ketiganya sama-sama memiliki kebunnya.
Kopi arabika, menurut saya cukup unik rasanya, dengan rasa yang asam disertai flory dan fruity, Arabika cocok banget sama saya.
Saya menyeduh kopi tidak menggunakan alat macam-macam sampai pake alat V60, penyaring serbuk atau semacamnya. Cukup panasin air, langsung tuang ke gelas. Saya juga nggak tahu persis ukuran takarannya. Yang pasti setiap kali buat selalu pas buat saya.
Menurut saya, kopi arabika, adalah kopi terenak. Dan ini alasannya.
Rasanya tidak terlalu pahit hingga melekat di lidah
Pahitnya arabika itu lembut, tidak kasar seperti kopi robusta. Itu karena kadar kafeinnya memang lebih rendah dibanding robusta. Kalau katanya data dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, kandungan kafein arabika rata-rata cuma 0,8-1,4%, sedangkan robusta bisa 1,7-4%.
Nah yang paling bikin saya tambah suka itu, karena arabika bikin rokok jadi lebih enak. Rasa Arabika halus, tapi rasanya tetap tebal di lidah. Jadi dia netral, bagi saya yang gonta-ganti merek rokok.
Saya minum arabika, baik yang pake gula atau yang tidak sudah pernah. Dari yang kental sampai yang encer, pernah. Dan dari yang panas hingga sudah sampai 3 hari, saya sering juga minum. Efeknya tidak membuat saya merasa kecewa. Rasanya tetap masuk buat saya.
Pun ketika saya mencoba beans arabika yang lain, tetap cocok. Mau Gayo, Toraja, Kintamani, saya pernah coba semua, cocok semua.
Kopi arabika cocok dengan mereka rokok apa pun
Saya orang yang nggak punya satu merek rokok yang tetap. Nah, inilah yang bikin saya suka banget sama kopi arabika: rokok apa pun, tetap cocok dengan kopi jenis ini. Kombinasi arabika dengan Djarum Super, Gudang Garam Surya, Dji Sam Soe, Gajah Baru, Sampoerna, sampai rokok lintingan tembakau Madura, sudah pernah saya coba. Semua cocok.
Saya tidak ahli kafein, intinya arabika bisa mengimbangi rokok apa pun. Kalau robusta terlalu kuat bagi saya. Kadang melekat lama di tenggorokan. Hebatnya Arabika membuat bau asap rokok tambah aromatik.
Selain cocok dengan rokok apa saja, arabika amat fleksibel. Dia tidak harus diminum di kafe mahal. Tidak harus pakai alat canggih juga untuk bikin kopi yang enak.
Soal harga, masih masuk akal
Orang kadang mikir kopi arabika itu mahal. Padahal kalau tahu tempatnya, nggak juga. Di beberapa toko kopi lokal, satu kilo arabika lokal bisa didapat di kisaran Rp120–150 ribu. Kalau diseduh sendiri, satu gelas cuma butuh 10 gram. Artinya, satu kilo bisa jadi 100 gelas. Hitung sendiri, jatuhnya malah lebih murah dari beli kopi sachet tiap hari.
Selain itu, banyak petani lokal sekarang sudah mulai jual arabika hasil olahan sendiri. Kualitasnya bagus, dan kita ikut bantu ekonomi daerah. Arabika dari Bondowoso, misalnya, sudah masuk kategori specialty coffee di ajang internasional. Jadi, bukan cuma enak, tapi juga punya nilai ekonomi nyata. Teman saya kalau kiriman pasti tidak luput ada kopi arabikanya, yang disangar sendiri di rumahnya.
Jadi, itulah alasan kenapa saya pilih kopi arabika. Jawabannya sederhana karena kopi ini nyambung banget sama saya. Bahkan dengan rokok merek mana pun yang pernah saya coba, kopi arabika tetap cocok. Ya karena memang rasanya itu yang unik secara intrinsik bagi saya.
Penulis: Thoha Abil Qasim
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Membedah Alasan di Balik Kualitas Kopi Jawa Timur yang Begitu Fantastis
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.














