Jimat atau yang lebih sering disebut rajah umumnya dipercaya masyarakat untuk memagari atau memberi perlindungan. Rajah berisi simbol-simbol tertentu berupa huruf Arab, angka Arab, lafaz Arab, dan juga gambar pola tertentu yang disinyalir mengandung daya magis. Bahkan beberapa rajah juga menyitir beberapa ayat dari Al-Qur’an.
Fungsi rajah yakni untuk membuat pagar (perlindungan) terhadap diri secara personal dan juga untuk rumah tangga. Orang yang menggunakan atau menyimpan rajah percaya betul kalau lantaran kekuatan metafisis dari rajah tersebutlah dia akan senantiasa terhindar dari mara bahaya, selalu mendapat rejeki yang berlimpah, dan terhindar dari prahara rumah tangga.
Model pembuatan rajah pun bermacam-macam. Biasanya si pembuat rajah (sebut saja dukun) akan menuliskan beberapa lafaz dan simbol magis dalam kertas biasa. Kemudian kertas tersebut dilipat rapi, dibungkus kain mori (kafan), diberi minyak misk sambil dibacakan mantra-mantra yang hanya si dukun yang tahu, dan terakhir akan dibungkus dengan lakban hitam berlapis-lapis. Kalau untuk diri sendiri, biasanya akan digunakan sebagai kalung oleh si pengguna. Sedang untuk pagar rumah dan keluarga, biasanya buntelan rajah tersebut akan dipaku di sudut-sudut tertentu dalam rumah.
Selain itu, ada juga model rajah yang bentuknya seperti kaligrafi dan dipigura besar. Dulu pada awal 2000-an, rajah semacam ini akan dijajakan oleh tukang penjual hiasan dinding keliling yang masuk sampai ke desa-desa. Salah satu yang tren pada saat itu adalah rajah Qithmir.
Sekilas nggak ada yang aneh dengan model rajah ini karena emang bentuknya yang menarik dan estetis: seperti bentuk ekor merak. Tapi kalau diteliti lagi, ada satu yang ganjil, yap, kata “Qithmir” yang terukir besar di antara deretan Asmaul Husna.
Semoga saya nggak salah, Qithmir adalah nama anjing yang menjaga tujuh pemuda Ashabul Kahfi yang tertidur di gua selama kurang lebih 309 tahun (ada yang nyebut 350 tahun). Kisahnya bisa disimak dalam Q.S. Al-Kahfi: 9-26. Dari sini saja sudah bikin saya agak riskan. Maksudnya, bagaimana bisa nama-nama suci Allah (Asmaul Husna) disandingkan dengan nama seekor anjing?
Saya pernah bertanya kepada beberapa tetangga yang kebetulan memasang rajah Qithmir, “Kok dulu tertarik beli?” Rata-rata pasti menjawab, “Modele bagus, Mas. Lagian, kasian juga penjualnya jalan jauh.” Dari sini saya ngambil kesimpulan, salah satu motif kenapa si penjual berkeliling ke desa-desa, ya karena orang desa kan modelnya nggak tegaan dan nggak banyak tanya. Ditambah lagi itu rajah modelnya kaligrafi Arab dan ada embel-embelnya; memudahkan rejeki dan menolak balak, pastilah bakal kebeli. Jadi selama ini, orang-orang yang memasang kaligrafi rajah Qithmir tersebut mayoritas pada luput dengan kata Qithmir di sana.
Karena pengetahuan saya soal dunia perajahan dan supranatural serba nanggung, akhirnya saya menggali informasi dari beberapa orang yang saya anggap cukup kompatibel buat ngejawab simpang-siur soal rajah Qithmir. Dari hasil obrolan kami, ada dua argumen yang akan saya paparkan.
Argumen pertama
Kalau dibedah dari atas, rajah Qithmir ini sebenarnya maksudnya baik karena dibuka dengan kalimat: Nasaluka ya man huwa Allah al-ladzi la ilaha illa huwa (Wahai manusia mintalah pertolongan kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia). Namun, penyandingan Asmaul Husna dengan nama Qithmir (anjing) jelas-jelas perbuatan yang fatal, nggak layak sama sekali (untuk menghindari istilah “menistakan”).
Informan pertama saya menyebut, satu-satunya nama yang berhak dan sangat pantas buat bersanding dengan nama Allah adalah nama Nabi Muhammad. Selain itu tidak ada.
Saya sempat meraba-raba maksud dari pemilihan nama Qithmir yang dilingkari dengan nama-nama Ashabul Kahfi dalam rajah tersebut. Dan saya menemukan sebuah analogi yang kurang lebih begini: Qithmir ini kan anjing yang sangat setia menjaga Ashabul Kahfi. Selama 300 tahun lebih, loh, bayangin. Mungkin dimaksudkan si dukun sebagai perantara agar rumah yang dipasangi rajah tersebut juga terjaga sebagaimana Qithmir menjaga Ashabul Kahfi.
Meski tetap haram dan najis, beberapa riwayat mencatat anjing Qithmir adalah satu-satunya anjing yang dijamin masuk surga oleh Allah. Ada juga riwayat ketika seorang pelacur terampuni dosanya setelah memberi minum anjing kehausan. Namun demikian, informan saya berpandangan, dua anjing tersebut hanyalah pengecualian 2 banding sekian banyak fakta bahwa anjing adalah hewan yang di-nash haram, najis, dan hina. Oleh karena itu, penggunaan nama Qithmir dicampur dengan nama-nama Allah dalam rajah adalah kekeliruan yang nggak bisa dibenerin dengan dalih apa pun.
Selain itu, ada persegi berisi kode-kode angka arab yang di kanan kirinya terdapat nama malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Untuk angka dan kode-kode lain saya kurang begitu menangkap maksudnya. Tapi, saya menduga bagian ini berfungsi untuk melancarkan rejeki dan tolak bala. Simbol rejeki dinisbatkan pada Malaikat Jibril (kurir Tuhan) dan Mikail (pembagi rejeki), sementara tolak bala dinisbatkan kepada Malaikat Israfil (peniup sengkakala akhir zaman) dan Izrail (pencabut nyawa).
Argumen pertama pada intinya, jangan memasang rajah qithmir di rumah dan jangan gampang tertipu. Karena nggak semua yang mengandung unsur Arab itu baik. Harus dicari tahu dulu maknanya.
Argumen kedua
Informan kedua saya lebih memilih nggak ambil pusing. Dia di posisi nggak membenarkan tapi juga nggak menyalahkan.
Kalau memang rajah Qithmir dirasa kurang pantas, ya sudah cukup dilepas atau kalau mau dibuang ya silakan. Yang penting jangan menuding syirik orang lain karena syirik atau nggak, hati seseorang hanya Allah yang tahu. Anggap ketidakpantasan tersebut hanya lantaran nama Allah yang nyanding dengan nama anjing, sebatas itu. Bukan karena si pemilik atau si pembuat benar-benar punya tujuan untuk menghinakan Allah. Apalagi kebanyakan yang beli kan mengaku nggak begitu memperhatikan detail susunan rajahnya, sebab nggak semua paham bahasa Arab. Lebih-lebih juga sifatnya kan analogis, bukan tersurat betul pemujaan terhadap anjing. Qithmir hanya simbol penjagaan.
Informan kedua saya ini juga menuturkan, ada juga, loh, rumah yang di atas pintunya dipajang nama Umar bin Khattab. Dimaksudkan agar jin dan segala kejahatan nggak bisa masuk rumah. Analogi ini disandarkan pada banyak riwayat yang menyebut jin dan orang-orang jahat pada gentar kalau harus berhadap-hadapan dengan Umar. Hanya analogi, bukan pemujaan terhadap Umar.
Terus yang paling penting, Allah itu udah zat yang Maha Sempurna. Jadi walaupun disandingkan dengan nama makhluk hina—sengaja atau nggak—nggak bakal bikin Allah jadi hina juga alias nggak ngaruh. Kemahabesaran Allah nggak bertambah lantaran dipuji, juga nggak berkurang karena dihinakan. Allah ajeg dalam kesempurnaan-Nya.
Saya jadi inget kalimat magis yang sering dikampanyekan Sujiwo Tejo, “Menghina Tuhan itu bukan ketika kau injak-injak nama Tuhan, kau bakar kitab suci, atau saat kau mempermainkan nama Muhammad. Itu permukaan, hanya diperdebatkan oleh orang-orang IQ rendah. Besok kau khawatir nggak bisa makan, itu sudah menghina Tuhan.”
Saya nggak bisa memuaskan Anda hanya dengan dua argumen di atas. Untuk itu, saya persilakan untuk menambahi di kolom komentar sesuai keyakinan dan pandangan masing-masing.
BACA JUGA Tarawih Sepanjang Waktu, Puasa Sepanjang Usia dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.