Sebelum membahas kasus Coki Pardede yang baru saja tertangkap karena narkoba, mari kita sepakati bersama terlebih dahulu. Terlepas pro kontra komedi atau pembawaan artis-artis ini, terjerumus narkoba adalah hal yang salah, tapi tentu saja tetap harus bin wajib mendapatkan proses hukum yang adil.
Kasus narkoboy yang menjerat artis, aktor, aktris, komedian, musisi atau profesi apa pun yang berhubungan dengan dunia entertainment memang bukan sekali ini saja. Apabila kamu ingin meramal, ramalan yang paling mudah adalah pasti setiap tahun ada saja artis yang terjerat kasus narkoba. Ya memang seperti itu keadaannya, hampir setiap tahun ada saja kasus penangkapan artis karena penyalahgunaan narkoba. Seakan sudah menjadi barang pasti, mengerikan sebenarnya.
Baru-baru ini ada satu komedian yang terjerat narkoba, saya yakin kamu sudah tahu betul atau setidaknya dengar berita ini. Sebab, berita ini saja hampir menggeser isu yang tak kalah cukup penting yakni kasus pelecehan seksual di KPI. Tapi, setelah melihat perkembangan kasus beliau saya merasa ada yang aneh dalam penanganannya. Aneh ya, bukan berarti salah atau ilegal. Nanti saya kenapa-napa lagi. Tolong.
Coki Pardede saat ini setidaknya masih dijerat Pasal 114 ayat (1) subsider Pasal 112 jo Pasal 132 Undang-Undang Narkotika. Namun, dalam Kasus Nia Ramadhani setahu saya dijerat dengan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika. Berbeda bukan? Tidak hanya berbeda angkanya saja, tapi isi dan dampak pasalnya tentu sangat berbeda.
Begini, Bos. Pasal 127 Undang-Undang Narkotika benar-benar menempatkan sang pelaku atau tersangka sebagai korban penyalahgunaan narkoba (re: pecandu) yang dapat dilakukan rehabilitasi meskipun ada ancaman hukuman pidana penjara. Namun, tidak terlalu berat seperti pada Pasal 114 atau 112 Undang-Undang Narkotika. Mengapa? Karena kedua pasal ini menempatkan tersangka tidak hanya sekadar sebagai pengguna. Tapi lebih dari itu, tersangka diduga terlibat dalam peredaran narkoba tersebut seperti menjadi penjual, pembeli, kurir, orang yang menyimpan atau sekadar hanya sebagai orang yang dititipi saja.
Dampak ancaman Pasal 112 dan 114 Undang-Undang Narkotika tidak sembarangan, Bos. Pasal 114 saja paling singkat dipenjara 5 tahun dan maksimal 20 tahun. Belum kalau ternyata barang bukti narkobanya lebih dari lima gram, waduh, bisa ditambah lagi itu, bahkan pun pidana mati statusnya menjadi “available” untuk dikenakan. Sedangkan, Pasal 112 meskipun lebih ringan sedikit tapi juga tidak lebih baik juga. Ancamannya paling singkat dipenjara empat tahun dengan maksimal hukuman penjara 12 tahun. Perlu diingat juga itu masih hukuman pidana penjara saja, belum yang pidana denda. Kasus Coki Pardede juga dikenakan Pasal 132 Undang-Undang Narkotika, yang intinya Coki Pardede ini bisa dikenakan pemberatan kalau terbukti ngelakuinnya secara terorganisir.
Sebenarnya secara prinsip, andaikata memang benar pelaku narkoboy hanyalah pengguna atau pecandu, tetap harus diproses hukum sampai ada putusan hakim yang memerintahkan untuk direhabilitasi. Apakah selama proses persidangan dari sejak penyidikan oleh Pak Polisi sampai sidang dengan Pak Hakim bisa dilakukan rehabilitasi? Bisa-bisa saja, syaratnya itu yang agak rumit dan harus ada rekomendasi asesmen dari Tim Asesmen Terpadu.
Anggap saja Coki Pardede dan Nia Ramadhani dapet rehabilitasi selama kasusnya diproses. Apabila pasal yang didakwakan tetap sama, ujung dari kasus kedua public figure ini bisa berbeda lho. Kasusnya Nia Ramadhani karena menggunakan Pasal 127, menurut saya 90 persen akan mendapatkan hukuman untuk melakukan rehabilitasi. Lalu bagaimana dengan Kasus Coki Pardede? Pasal 112, 114, 132 tidak mewajibkan Hakim untuk memberi atau setidaknya mempertimbangkan untuk dilakukan rehabilitasi. Ini kalau membaca secara regulasi undang-undangnya ya.
Pertanyaan besar selanjutnya pasti akan muncul, kok bisa jenis kasus narkoba yang sama yakni pecandu atau pengguna tapi outputnya bisa berbeda? Apakah ini waktu yang tepat untuk mengeluarkan jurus jitu kata-kata “katanya semua warga Indonesia sama kedudukannya di depan hukum?”
Kalau mencermati proses Bapak Hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi, terdapat aturan SEMA No. 4 Tahun 2010 jo SEMA No. 3 Tahun 2011 yang dijadikan acuan. Salah satu syarat yang harus terpenuhi adalah tidak terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Sedangkan kalau dari perspektif Bapak Jaksa, mengutip dari hukumonline.com selain syarat tadi ada syarat lain yakni jumlah barang bukti yang ditemukan tidak melebihi jumlah tertentu.
Masalah jumlah barang bukti, kasusnya Coki Pardede beratnya lebih sedikit daripada barang bukti pada kasus Nia Ramadhani. Maka tinggal urusan apakah pelaku terlibat peredaran narkoboy atau tidak nih. Menurut pendapat saya pribadi yang awam ini, pada dasarnya kedua kasus ini hampir sama persis, letak perbedaannya hanya pada fakta-fakta yang tidak terungkap ke publik. Keduanya jelas pengguna atau pemakai, tentu keduanya pasti dapat barang haram dari pihak kedua atau penjual atau kurir atau kita asumsikan mereka beli. Tidak mungkin kan ujug-ujug nongol kayak uang hasil ngepet. Nah loh, berarti kedua artis ini pembeli narkoboy dong? Bisa kena Pasal 114 juga kan? Keduanya kan? Mengapa hanya kasus Coki Pardede yang terjerat Pasal 114?
Sekarang mari kita pikirkan kembali, fakta awal kasus keduanya sama bukan? Mengapa pasal yang didakwakan berbeda? Apakah ada yang bisa bantu jawab saya? Bingung bin pusing betul saya di sini.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.