Kok bisa ada warga Jogja yang membela spot foto cringe ala Squid Game? Ra isin?
Sepertinya pelaku wisata Jogja adalah golongan manusia bebal. Bahkan setelah dihujat kiri kanan karena “Jogja rasa Ubud”, mereka masih saja bikin gebrakan ra mashok blas. Yah mungkin lagunya Tulus yang berjudul “Manusia Kuat” itu memang ditujukan kepada para pelaku wisata Jogja. Terbukti mereka kuat untuk dihujat bahkan dicaci maki warganet. Maklum ya, uang wisatawan itu memang menambah kekuatan.
Salah satu bukti kebebalan itu adalah munculnya spot wisata berbasis viral. Yaitu spot foto bertema Squid Game. Spot foto yang jelas berbayar ini viral di Tiktok lalu berlanjut ke media sosial lain. Tentu viralitas menjadi alasan yang menambah vitalitas mental eksploitatif pelaku wisata. Dan ketika akun-akun wisata Jogja mulai berebut mengiklankan spot foto ra cetho ini, tentu gunjingan menyambar.
Cukup banyak yang merasa kagum dan ingin mendatangi spot foto Squid Game tadi. Tidak sedikit pula yang menghujat spot foto yang saya enggan sebut di mana lokasinya ini. Ada yang bilang cringe. Ada juga yang merasa muak dengan viralnya Squid Game. Sisanya memandang spot foto ala serial Korea ini tidak menunjukkan pribadi dan budaya Jogja.
Tapi, suara kontra ini bertemu balasannya. Salah satu komentar negatif tentang spot foto ini dibalas dengan membabi buta. Ada yang menuntut penulis komentar untuk tidak ikut campur. Ada yang bilang ini demi mendongkrak pariwisata. Ada yang memuji Jogja penuh kreativitas. Bahkan ada yang balik menyerang si penulis komentar yang tidak berkontribusi bagi pariwisata Jogja.
Kalau menghadapi kebebalan pelaku wisata, saya sih sudah capek. Selama uang wisata menjadi sumber energi mereka, telinga pelaku wisata akan setebal tembok Beteng Kraton yang segera menggusur warga. Tapi, yang kini menarik perhatian saya adalah para warga Jogja sendiri.
Tentu yang saya tunjuk adalah mereka yang seperti pembela spot foto Squid Game. Mereka yang merasa apa pun di Jogja selalu baik. Bahkan lebih baik daripada daerah manapun meskipun UMR mereka lebih manusiawi. Pokoknya mereka yang selalu merasa diri istimewa karena warga daerah istimewa. Apalagi yang anggota grup aspal gronjal bimbingan Om Yanto itu.
Satu pertanyaan sederhana, “Nggak malu membela spot foto Squid Game?” Saya tidak habis pikir ketika ada warga Jogja yang mau membela eksploitasi ruang kreativitas itu. Kok bisa ada yang pede untuk bangga pada spot foto yang memalukan karena minim inovasi itu? Bahkan membanggakan sebagai jawaban dari krisis yang menelanjangi Jogja ini.
Saya pikir, perilaku membela berlebihan ini punya alasan kuat. Warga Jogja sangat malu untuk mengakui realitas negerinya. Mungkin ini beban moral label “keistimewaan” yang tersemat di dada mereka. Oleh karena sudah dilabel istimewa bahkan dapat dana keistimewaan, mereka harus bangga dengan Jogja. Meskipun bobrok dan tidak pernah mencicipi manfaat dana keistimewaan, harus bangga pada Jogja.
Maka saya mulai maklum ketika artikel saya dihujat karena mengkritik Jogja dan Kraton. Bukan karena mereka ingin menjaga harga diri penduduk, namun menjaga label keistimewaan yang terlanjur dipamer-pamerkan. Apa lacur, mau tidak mau mereka harus selalu membela Jogja.
Mungkin di belakang layar, warga Jogja Pride ini mengeluhkan gaji kecil. Mereka mungkin sesak dengan gelombang wisatawan. Mereka mungkin benci klitih. Tapi kalau ada orang lain yang menyuarakan itu, jiwa keistimewaan mereka berkobar. Apalagi yang komentar warga luar Jogja dan pakai “lu gua”. Sudah pasti disemprot pertanyaan “KTP mana bos?”
Tanpa sadar, warga Jogja yang model demikian hanyalah kelompok munafik. Kelompok yang mati-matian melindungi keistimewaan, namun membenci bagaimana daerah istimewa ini memperlakukan warganya. Bahkan jika tidak mau mengaku, segala keluh kesah warga Jogja Pride ini bermuara pada perkara yang sama. Tapi hebat juga lho. Sudah diperkosa birokrasi tumpang tindih, ditelanjangi pandemi, bahkan dihajar “perampasan” tanah kas desa oleh Kraton, ada jiwa istimewa yang harus dibela.
Ironis sih, warga Jogja yang cenderung ndlogok ini membela keistimewaan ini salah sasaran. Ketika keistimewaan jadi spirit, yang dibela adalah ide-ide hasil daur ulang dari bangsa lain. Ketika membela pariwisata dengan semangat keistimewaan, yang dibela adalah para investor yang tidak berniat melindungi budaya Jogja. Pekok sekali, bukan?
Sumber gambar: Pixabay