Kehidupan para bangsawan sejak dahulu memang amat menarik. Tak sedikit yang menjadikan mereka sebagai role model karena pengaruh kuat yang dipunyai darah biru. Kemilau istana, intan, dan takhta adalah hal-hal yang oleh jelata dipandang sebagai sandingan harian para bendara. Namun, dari segala yang kita bayangkan tentang keriuhan di balik dinding istana, terdapat sisi lain. Tuntutan sebagai panutan publik sering kali dijadikan alasan untuk membelenggu ruang gerak. Begitulah kira-kira gambaran situasi yang mendera pasangan pesohor Meghan Markle dan Pangeran Harry. Pada awal 2020 mereka mengumumkan pengunduran diri dari gelar kebangsawanan Kerajaan Inggris untuk kemudian hidup mandiri secara finansial.
Media Inggris kerap melontarkan serangan berbau rasisme terhadap Meghan Markle dan hubungan kurang baik aktris tersebut dengan anggota keluarga kerajaan. Termasuk hubungan dengan iparnya sendiri, Pangeran William dan Kate Middleton yang ditengarai menjadi pemantik utama. Pangeran Harry yang merupakan putra kedua dari Pangeran Charles mengungkapkan bahwa tujuannya dan Meghan Markle mengambil langkah mundur dari tugas kerajaan adalah semata untuk mencapai ketenangan batin setelah terus menerus digempur oleh media.
Dikutip dari BBC, pria kelahiran London tersebut mengatakan bahwa dirinya dan Meghan Markle tidak mau menjadi korban dari sebuah kekuatan besar (media) yang mampu merenggut nyawa ibunya, Putri Diana. Putri Diana mangkat 23 tahun silam akibat kecelakaan mobil yang diduga hilang kendali karena menghindari kejaran paparazzi.
Di usia yang masih belum genap 13 tahun, sang Pangeran Muda harus merelakan kepergian ibundanya. Kemungkinan besar, trauma mendalam tersebut yang menyebabkan Pangeran Harry sangat protektif kepada Meghan Markle terkait dengan serangan psikis yang dilontarkan oleh media Inggris. Terlebih, dikutip dari Vanity Fair, pihak Kerajaan Inggris tidak melakukan proteksi apapun terhadap Meghan Markle. Bahkan tidak memperbolehkan anggota kerajaan untuk menyerang balik pers karena dianggap akan memperburuk situasi yang memang sudah keruh.
Meghan Markle pun semakin tidak punya ruang gerak untuk bebas dari sorotan media. Namun, rasa cinta sang Pangeran kepada istrinya lebih besar dari ketergantungannya terhadap segala privilese sebagai bangsawan Kerajaan Inggirs. Ia memilih meninggalkan singgasananya yang empuk untuk menyenangkan istrinya dan mungkin turut menyelamatkan hidup sang putri dari segala kemungkinan terburuk.
Sebuah narasi puitik ketika seorang bangsawan bersedia meninggalkan kemewahaan demi orang yang dia sayangi sudah menjadi roman abadi sejak ribuan tahun silam. Tepatnya dalam epos Ramayana. Wiracarita Ramayana sejatinya bukan hanya dongeng pengantar tidur. Jika ditelisik lebih dalam, Ramayana tidak hanya mengisahkan cinta, namun juga pengorbanan, pengabdian, dan kesetiaan.
Berbeda dengan di India tempat versi asli Ramayana dituturkan secara turun-temurun, di Jawa, epos Ramayana sering kali disebut dengan “kisah Rama-Sinta”. Hal ini seolah memosisikan tokoh Rama dan Sinta beserta kisah cinta mereka sebagai episentrum cerita. Keduanya seringi dilambangkan sebagai keserasian dan penyatuan antara langit dengan bumi karena Rama merupakan awatara Dewa Wisnu yang merepresentasikan kahyangan, sedangkan Sinta merupakan putri dari Dewi Bumi.
Dikisahkan setelah menikah dengan Rama, Sinta diboyong ke Ayodya, negeri asal Rama. Sebagai putra tertua dari Raja Dasarata, Rama mendapatkan hak untuk melenggang ke atas tahta Ayodya menggantikan sang Ayah. Namun, selang beberapa hari sebelum penobatan Rama sebagai raja baru, Kaikeyi, ibu tiri Rama untuk meminta Dasarata untuk membatalkan pelantikan Rama dan membuangnya ke hutan selama 13 tahun lamanya supaya tahta Ayodya jatuh ke tangan putra Kaikeyi, Barata.
Dikisahkan, Raja Dasarata dahulu pernah berjanji untuk mengabulkan apa pun permintaan Kaikeyi yang merupakan permaisuri kesayangannya. Dasarata tidak punya pilihan, sebagai seorang raja besar, ia tak ingin mengingkari janji. Dengan amat berat hati, Dasarata mengusir Rama ke hutan Dandaka. Namun, dengan segala kebesaran hati, Rama menerima keputusan ayahnya.
Rama kemudian meminta Sinta untuk tetap berada di istana Ayodya. Rama menganggap istrinya tidak pantas untuk ikut menanggung derita hidup di hutan sedangkan Sinta sendiri tak terlibat dengan segala ontran-ontran politik yang terjadi. Namun, Sinta kemudian menegaskan pada Rama bahwa dirinya harus bisa melayani dan menemani suaminya apa pun kondisinya karena sudah menjadi kodratnya wanita untuk senantiasa mendampingi suami. Rama akhirnya mengizinkan Sinta untuk ikut disertai pula oleh Lesmana, yang menjadi saudara terdekat Rama.
Selama hidup di hutan, Sinta tetap setia mengurus segala kebutuhan suaminya walaupun harus meninggalkan segala kenyamanannya sebagai putri raja dan turut menjalani hukuman yang bahkan ia sendiri tidak melakukan dosa apa pun. Hanya demi menjalankan dharma bakti bagi suaminya. Bahkan ia sampai harus “rela” diculik oleh Rahwana ke negeri Alengka dan ditawan selama berbulan-bulan lamanya.
Ramayana memang jauh lebih sakral dari sekadar cinta-cintaan. Namun, kalau bukan karena cinta, mana bisa Rama bersusah payah menjalankan tugas inkarnasinya untuk menumpas angkara murka dengan menumpas Rahwana apabila ia tidak cinta pada Sinta? Mana mau Sinta bersusah payah tidur beralaskan dedaunan di hutan selama 13 tahun demi menjalankan baktinya pada Rama?
Pada akhirnya, cinta, perasaan, dan titik lemah untuk seseorang sering kali membuat kita kehilangan naluri untuk bersikap logis. Seperti halnya Pangeran Harry dan Dewi Sinta yang dengan sadar telah berkorban menggadaikan segala kenyamanan yang dipunya demi orang yang mereka sayangi.
Namun, apabila dipandang dalam perspektif yang jauh lebih luas, terdapat value yang bergeser. Jika dahulu perempuan dalam kosmologi kuno, setinggi apapun status sosialnya tetap musti takluk pada stigma harus selalu berkorban untuk menjalankan peran sebagai “kanca wingking” atau pendamping bagi sang suami, kini lelaki berpengaruh dan penuh privilese seperti Pangeran Harry juga bisa melakukan pengorbanan serupa.
Pangeran Harry tidak mau menjadikan Meghan Markle sebagai sasaran empuk media Inggris hanya untuk mempertahankan kedudukannya sebagai lelaki bangsawan. Dalam kasus ini, memang benar adanya bahwa wanita bukanlah sekadar perhiasan sangkar madu. Sejatinya pengorbanan bukan hanya milik satu pihak saja, karena cinta telah menjanjikan keduanya berdiri setara.
BACA JUGA Marc Marquez Kayaknya Lagi Disindir waktu Honda Unggah Meme Messi Berseragam Balap dan tulisan Damar Senoaji lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.