Kisah Juragan Angkot yang Pengin Jadi Pegawai Kantoran

Hal yang Paling Bikin Nggak Enak saat Naik Angkot Kisah Juragan Angkot yang Pengin Jadi Pegawai Kantoran

Suatu siang sebelum adanya sosial distancing, saya pergi ke Samsat guna membayar pajak perpanjangan kendaraan bermotor. Kebetulan saya datang pas jam istirahat, sehingga saya harus menunggu sekitar satu jam-an sebelum konter dibuka kembali. Di sela-sela waktu menunggu ini, saya kemudian berinisiatif mengajak mengobrol bapak-bapak yang duduk sendirian di sebelah saya.

Panggil saja bapak ini Pak Ujang. Seorang lelaki paruh baya yang saya tafsir usianya sekitar 55-60 tahun. Setelah mengobrol basa-basi, saya baru tahu ternyata Pak Ujang ini hendak mengurus pajak angkot-angkotnya. Beliau bercerita pada saya bahwa dirinya ini memiliki beberapa angkot yang disewakan pada orang lain. Dengan polosnya bahkan beliau memberitahu saya berapa biaya pajak per angkotnya itu sambil menunjukan surat-surat yang dibawanya.

Selain sebagai juragan angkot, Pak Ujang ini ternyata juga punya usaha sampingan di rumahnya. Beliau ini memiliki sebuah toko grosir yang menjual peralatan untuk membuat ikan pindang.

“Di kampung saya itu sentra pembuatan pindang, Neng,” ucapnya.

Rumah Pak Ujang ini memang berada dekat pesisir Pantai Utara, mungkin sekitar 1,5-2 jam ke pusat kota. Di daerah tempat Pak Ujang tinggal ini memang kondang sekali dengan produksi ikan pindangnya. Bahkan ikan pindang yang sering dipasarkan di tempat saya itu “diekspor” dari kampung si bapak ini. Di tokonya ini Pak Ujang juga punya beberapa karyawan yang membantunya.

Tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba Pak Ujang berkata pada saya, “Wah, enak yah, Neng, kerja kantoran gini.”

Saya mengerutkan kening sambil melihat ke mana arah mata Pak Ujang ini memandang. Ternyata oh ternyata, ia sedang memandangi bapak-bapak pegawai yang tengah beristirahat. Mereka duduk-duduk santai sambil mengobrol dan makan cemilan.

“Lah, emangnya kenapa, Pak?” tanya saya penasaran.

“Lihat saja itu, mereka kerjanya santai, bajunya rapi-rapi, kerja di tempat ber-AC, dan pasti gajinya juga banyak.”

“Iya sih, Pak. Tapi kalau Bapak ngobrol sama bapak-bapak itu, bisa jadi mereka malah ngiri sama Bapak.”

“Loh, kok bisa, Neng?”

Saya ketawa melihat wajah polos bapak ini. Saya yakin-seyakinnya bahwa selama hidup Pak Ujang ini pasti belum pernah ngerasain jadi pegawai kantoran. Andai saja si bapak ini tahu, andai rasaku ini rasamu, pasti beliau juga bakal mikir ulang buat jadi pegawai kantoran.

“Lah, kan Bapak kerjanya lebih enak. Tinggal ongkang-ongkang di rumah, eh disetorin duit sama orang lain. Nggak perlu berangkat pagi dan pulang sore, tapi tetap punya duit. Pakai baju singlet sama sarung doang juga nggak masalah. Nggak ada yang nyuruh-nyuruh, eh malah bisa nyuruh karyawannya.”

Pak Ujang mendengarkan saya dengan saksama dan manggut-manggut.

“Coba bapak bayangin deh, bapak mau pajak angkot di sini kan nggak perlu izin atau laporan sama orang lain, kan? Pergi tinggal pergi aja, kan, ya? Coba kalau bapak-bapak itu, mau ambil rapor anaknya di sekolah aja harus izin atau cuti dulu.”

“Bener juga ya.”

“Emangnya bapak mau? Pagi-pagi harus mandi pagi dan harus berpakaian rapi. Lalu pulang nanti sore lagi. Ngerjain tumpukan tugas yang nggak ada habisnya. Kalau sakit harus minta surat izin dokter. Kalau mau ada acara harus lapor atasan. Kalau salah kerjanya harus siap dimarahin. Emang bapak mau?”

“Wah ternyata nggak enak juga yah jadi pegawai kantoran.”

“Nah, itu! Bapak kan malah jadi bosnya, bisa gaji orang lain malahan nggak digaji orang.”

“Kalau kata pepatah itu mending jadi kepala semut daripada ekor gajah ya, Neng.”

“Wih, Bapak mah canggih bener kalau bikin perumpamaan.”

Lalu si bapak ketawa cekikikan. “Ah, eneng aya aya wae. Gini-gini teh bapak dulu pernah sekolah atuh, Neng.”

“Bapak mah udah keren pisan, kok.”

“Besok kapan-kapan mainlah ke rumah bapak, Neng, bapak kasih lihat produksi pindang di sana.”

Pada kenyataannya urip iki mung sawang sinawang. Yang A melihat kehidupan B rasanya bahagia sekali. Padahal Si B ini selalu menganggap bahwa kehidupan si C itu lebih bahagia dari dirinya. Si A ingin menjadi si B dan si B ingin menjadi si C, sedangkan si C ingin menjadi si D. Begitu terus.

Kadang kita sampai lupa melihat pada diri sendiri. Apa pun pekerjaannya yang pasti kita harus paham bahwa semua ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Setiap pekerjaan pasti ada yang namanya susah senengnya.

Jadi pengusaha seperti si Pak Ujang ini pun tentu tak mudah. Bagaimana dia mulai merintis usahanya. Bagaimana dia jatuh bangun dari kebangkrutan. Bagaimana dia mengelola uang untuk menggaji karyawan-karyawannya. Orang mungkin hanya memandang pas dia sukses saja, kan, ya. Padahal ada perjuangan panjang di belakangnya. Begitu juga dengan pegawai kantoran, mereka harus kuliah bertahun-tahun, jadi karyawan magang yang suka disuruh-suruh seniornya, setiap hari dihadapi tumpukan tugas yang tiada hentinya, dan belum lagi kalau dimarahi atasan.

Ikan akan hebat di dalam air, burung akan piawai saat terbang, kancil akan kencang saat berlari, dan seterusnya. Sehingga kita harus paham akan passion dan kemampuan masing-masing yang kita miliki.

BACA JUGA Apa Salahnya Punya Cita-Cita Sebagai Peternak Ikan? atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version