Halo maba—mahasiswa basi. Bagaimana kabar kalian? Semoga tetap baik dan dilimpahi kesehatan. Karena saya tahu, perjalanan menuju yudisium dan wisuda bagaikan perjalanan seorang musafir di padang pasir—butuh tenaga ekstra. Jangan ada lagi keresahan tentang ‘di tahun berapa aku lulus?’ karena itu hanya akan menambah beban kalian saat berusaha menuntaskan tugas suci nan mulia yaitu ‘skripsi’.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca postingan foto di Twitter yang berisi tentang cuitan seorang dosen tentang mahasiswa yang lulus 3.5 tahun namun minim pengalaman. Kata beliau, S1 lulus 3.5 tahun bangga? Padahal apa gunanya sih lulus terlalu cepat kalau tidak dibekali dengan pengalaman international exposure, exchange program, TOEFL 550, summer camp, conference di luar negeri, dan double degree.
Dan kemarin, saya membaca sebuah artikel di terminal mojok yang berjudul tentang “Tidak Perlu Menjatuhkan Mimpi Para Mahasiswa Pejuang 3.5 Tahun”. Dalam artikel tersebut berisi tentang pendapat si penulis yang merupakan pejuang salah satu bucket list-nya yaitu lulus kuliah S1 3.5 tahun. Menurutnya, sah-sah saja bila seorang mahasiswa lulus satu semester lebih cepat, dengan pengalaman yang didapat sesuai passion nya maka akan cukup berdampak baik.
Ya bagus, jika kalian yang telah mencantumkan lulus 3.5 tahun jadi salah satu bucket list. Itu berarti kalian adalah tipikal mahasiswa yang optimis dengan semangat berproses yang membara. Atau jika kalian lulus dalam waktu 4 tahun? Itu berarti kalian adalah tipikal orang yang taat aturan, kalem berjalan sesuai proses, tapi masih mengikuti alur zona aman. Dan bagi kalian yang berniat lulus 7 tahun? Kalian adalah survivor sejati, Sob!
Namun persoalan lulus kuliah 3.5 tahun, 4 tahun, 4.5 tahun, atau bahkan 7 tahun—menghabiskan seluruh kesempatan dan jatah molor semester, itu hak setiap individu. Pasalnya setiap orang memiliki jalan dan perjuangannya masing-masing, termasuk ketika berhadapan dengan mata kuliah dengan beban SKS terberat—SKRIPSI. Mata kuliah ini bisa jadi mata kuliah pendidikan karakter bagi mahasiswa. Karena kita akan dituntut sabar, telaten, dan optimis.
Siapa yang tidak langsung termenung dan mendadak migrain jika sudah melihat mata kuliah skripsi terpampang nyata di dalam list mata kuliah yang harus ditempuh dalam KRS. Skripsi yang terdiri dari 6 huruf ini seketika jadi horor dan mistis luar biasa karena perjalanan untuk menempuhnya memang seringkali diselingi kemistisan-kemistisan ala mahasiswa tingkat akhir. Salah satunya adalah persoalan dosen—dosen pembimbing.
Saya seribu kali yakin, salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh para mahasiswa akhir saat menempuh mata kuliah skripsi adalah dosen pembimbing. Kita sangat tahu, jika bermiliar-miliar manusia diciptakan dengan sifat, kelakuan, dan karakter yang berbeda. Namun khususon dosen pembimbing, biasanya memiliki kebiasaan yang seringkali ditemui—adalah mengabaikan pesan WhatsApp mahasiswa bimbingannya.
Meski tidak semua dosen suka mengabaikan pesan mahasiswanya, namun tidak jarang juga saya mendengar mahasiswa yang mengeluhkan tentang hal itu. Maka untuk para sohibul senasib dan seperjuangan saya, berikut adalah kiat berbahagia karena pesan WhatsApp hanya dibaca oleh dosen meskipun sedang online atau offline. Karena saya tahu, betapa galaunya diabaikan oleh dosen melebihi galau karena diabaikan oleh gebetan atau pacar.
1.Kembali rebahan sambil scroll-scroll time line Instagram, Facebook atau berkunjung ke lapak Mbah Google
Tenang, kalian hanya pesan kalian yang diabaikan. Agar kalian tetap berbahagia, maka buatlah keputusan untuk segera rebahan sambil scroll-scroll timeline Instagram atau Facebook. Kalian boleh juga stalking akun mantan atau gebetan kalian. Atau kalau kalian sedang semangat, coba mampir ke lapak Mbah Google, sembari menunggu balasan dosen pembimbing kalian, carilah bahan seputar skripsi di lapak Mbah Google.
Karena siapa tahu ketika kalian bimbingan, dosen pembimbing menanyakan tentang isi skripsi yang sama sekali tidak kalian duga. Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi ketika kita bimbingan dan berhadapan langsung dengan dosen pembimbing.
Dengan cara ini kalian bisa menghemat waktu kalian, dari pada tegang mikir dosen kenapa hanya membaca pesan WhatsApp kalian, mendingan rebahan sambil online Instagram, Facebook, atau Googling. Manfaatkan waktu dan tenaga kalian dengan baik.
2. Mengirim pesan semangat kepada dosen pembimbing.
Ya, namanya juga dosen. Urusan sibuknya bukan cuma soal membimbing skripsi kalian yang nggak kelar-kelar, tapi juga mengampu mata kuliah lain bagi adik tingkat. Mungkin saja insiden pengabaian pesan WhatsApp itu terjadi karena beliau sedang sibuk mengajar. Maka, daripada bersusah hati memikirkan masalah itu, kembali berbahagialah dengan mengirimkan pesan semangat kepada dosen pembimbing kalian.
Siapa sih yang nggak terharu dikasih pesan semangat gitu? Jangan cuma gebetan aja yang disemangatin, dosen pembimbing juga dong. Mengirim pesan semangat yang diselingi doa juga bisa jadi energi positif bagi semangat diri kalian sendiri. Siapa tahu juga dengan kalian mengirimkan pesan semangat kepada beliau, beliau jadi berbelas hati dan akhirnya pesan kalian dibalas. “Temui saya pukul 11.00 hari ini” Yipiiiee! Jangan mikir buruk soal bakal di PHP yhaaa~
3. Tetap pegang HP, buka aplikasi game online kegemaran kalian (bagi para mahasiswa gamer)
Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya! Iya benar. Susah memang tidak ada gunanya. Ngapain sih mikirin ribet soal dosen yang hanya membaca pesan WhatsApp kalian. Semakin kalian stres, semakin mengurangi kepercayaan diri kalian. Lebih baik ambil langkah ini—tetap pegang hp kalian, lalu buka aplikasi game online. Selanjutnya apa? Ya main lah Bambang. Dari pada galau terus gara-gara dosen pembimbingmu.
Kalau kalian sedang beruntung, dosen kalian bisa jadi juga sedang memainkan game itu, dan kalian justru sedang mabar. Bisa jadi kan, pesan WhatsApp kalian hanya dibaca karena dianggap spam dan ganggu dosen kalian waktu mereka mabar? Ya siapa sih yang mau diganggu waktu mabar?
Kalau kalian pernah melihat postingan yang berisi pesan seorang dosen yang nyasar di kolom komentar Dota 2, bisa jadi hal itu juga terjadi pada kalian. Yang penting tetap optimis. Jangan terlalu berat dipikirkan.
4. Makan dan minum sepuasnya
Iya saya tahu, kalian sedang dilanda galau sekaligus emosi. Saya pun pernah merasakan. Jika sudah begitu, maka cara yang paling tepat untuk menyalurkan galau dan emosi adalah dengan makan dan minum sepuasnya. Silakan beli makanan dan minuman kesukaan kalian, bila perlu sebanyak-banyaknya. Bukan karena hedon ya gais, tapi dengan makan dan minum, hasrat emosi kita bisa tersalurkan pada tempatnya. Setelah itu kalian akan merasa lebih tenang.
Kalau sudah kenyang jadi ngantuk? Tidur saja. Tidak ada yang melarang kalian untuk tidur. Berbahagialah dengan tidur karena tidur melepaskan kepenatan kita, termasuk rasa galau yang menghampiri karena dosen pembimbing hanya membaca pesan WhatsApp kita.
5. Langsung datang dan tunggu dosen pembimbing di depan ruang prodi
Kalau kalian sudah terlanjur galau dan resah, ikuti kiat ini—langsung datang dan tunggu dosen pembimbing di depan ruang prodi. Dengan begitu kalian akan lebih mudah menemukan dosen pembimbing kalian. Dari pada bersuuzan mengapa beliau hanya membaca pesan WhatsApp kalian, lebih baik langsung datang saja.
Ketika kalian sudah melihat keberadaan beliau, coba hampiri, peluk, sembari bisikkan pada beliau, “semoga hari-hari njenengan bisa tenang dengan teror pesan WhatsApp saya.” Glekk!
Hari-hari dosen mana yang tidak jengah diganggu oleh pesan WhatsApp mabiba alias mahasiswa bimbingan basi? Supaya tidak merasa terteror terlalu lama, di hari selanjutnya saat kalian mengirimi pesan WhatsApp pasti akan dibalas oleh beliau.
Ndang lulus nduk, le, wes ra tahan aku, wes ra kuat aku!
Tak lupa, berbahagialah selalu wahai para pejuang skripsi! (*)
BACA JUGA Menyoal Kuliah: Mau Ambisius Apa Chill Aja Ya? atau tulisan Ade Vika Nanda Yuniwan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.