Mungkin karena sejaka kecil simbah sudah menjejali saya dengan beragam jenis cerita rakyat—khususnya yang berlatar belakang Jawa—jadinya saya selalu punya perhatian khusus terhadap dunia folklor. Bahkan saya berencana untuk mengambil folklore-sejarah sebagai bahan baku skripsi saya nantinya (semoga tembus).
Pas ide tersebut saya kemukakan ke salah seorang kawan jurusan, terang-terangan dia bilang kalau kajian tersebut pasti bakal ditolak. Kok bisa? Katanya, folklor itu hampir 85% unsurnya adalah mitos. Dan sebagaimana yang umum dipahami, bahwa mitos itu tidak empiris, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pun ketika saya konsultasikan kepada salah satu dosen yang deket sama saya, beliaupun sama halnya meragukan. Bahkan sebelum membaca dan mendengar rancangan yang saya buat.
Ini kenyataan yang membikin saya dongkol dan uring-uringan sendiri di kamar mandi. Kok bisa-bisanya, folklor yang bahkan diajarkan (meskipun cuma 2 SKS), dan dalam banyak kesempatan di mata kuliah metode penelitian sejarah sering disebut sebagai bagian dari oral history malah tidak mendapat panggung untuk jadi bahan skripsi. Lucu sekali jurusan saya ini.
Maka atas dasar kegelisahan itulah saya kemudian bersikeras untuk menunjukkan bahwa tidak selamanya folklor itu hanya soal mitos. Pasti ada penjelasan logis dari setiap fenomena yang terjadi di balik cerita-cerita tutur yang berkembang di masyarakat. Dan uji coba pertama saya waktu itu saya lakukan pada cerita “Jaka Tarub dan 7 Bidadari”. Karena kebetulan saja adik saya waktu itu iseng bertanya, “Mas, apa iya Jaka Tarub itu nikah sama bidadari?”
Ini menarik. Karena cerita ini sudah masyhur di mana-mana dan mengandung daya pikat tersendiri. Kalau bisa saya pecahkan, barangkali rancangan skripsi saya bisa dilirik dan dipertimbangkan oleh pihak jurusan.
Dan setelah saya selidiki—terutama berkat referensi buku-buku karya Mas Damar Shashangka—ketemu fakta bahwa ternyata Jaka Tarub itu tidak menikahi bidadari dari kahyangan sebagaimana cerita yang beredar.
Sebelum ke sana, awalnya saya mencoba othak-athik teori positivisme August Comte yang menyebut, sejarah umat manusia itu melalui tiga fase. Yakni, fase teologis, metafisis, dan positivis (saintis). Yang intinya adalah, sebelum masuk ke era positivis seperti sekarang ini—dimana gejala apapun selalu coba dijelaskan lewat sains—manusia mendasari argumennya pada mitos-mitos.
Contohnya, jauh sebelum mengenal adanya siklus hidrologi, manusia mendasari kepercayaannya bahwa hujan diturunkan oleh Dewa/Dewi Kesuburan.
Saya kira, hal tersebut juga berlaku bagi masyarakat kita. Dan dalam konteks sejarah, agar sebuah peristiwa di masa lalu tidak hilang, cara paling efektif untuk menjaganya adalah dengan membungkusnya dalam bentuk cerita. Agar cerita tersebut mudah diingat turun-temurun; dari generasi ke generasi.
Termasuk dalam cerita “Jaka Tarub dan 7 Bidadari” sejatinya merekam jejak pergolakan Majapahit-Pajajaran, sekaligus menarik benang merah berdirinya Kerajaan Mataram.
Bagaimana bisa? Lantas apakah benar Jaka Tarub menikahi seorang bidadari?
Temen-temen mungkin sudah hafal luar kepala cerita tentang Jaka Tarub. Pemuda desa yang memergoki 7 bidadari sedang mandi di tengah hutan. Jaka Tarub kemudian mencuri selendang dari salah satu bidadari tersebut. Akibatnya, si bidadari yang kita kenal dengan nama Nawangwulan itu tidak bisa kembai ke kahyangan bersama 6 bidadari lainnya.
Singkat cerita, mereka berdua menikah. Ada yang ajaib dalam rumah tangga mereka. Nawangwulan—dengan kesaktiannya—selalu bisa menyulap pari sak wuli (beberapa butir padi setangkai) jadi sebakul nasi. Dari pernikahan itu pula mereka dikaruniai anak perempuan bernama Nawangsih.
Nawangwulan membuat pantangan, agar jangan sekali-kali ia berani mengintip caranya menanak nasi yang ajaib itu. Kalau dia melanggar, maka kesaktian Nawangwulan akan hilang. Begitulah hingga akhirnya Jaka Tarub termakan dengan rasa penasaran yang membuatnya melanggar pantangan.
Berturut-turut setelah kesaktian Nawangwulan hilang, dia kemudian tahu bahwa ternyata selama ini Jaka Tarub lah yang mencuri selendangnya. Maka setelah mengambil kembali selendangnya, dia pun terbang kembali ke Surayala.
Itu versi folklornya. Ada pun versi yang agak masuk akal—dengan menggunakan pendekatan semiotis—adalah, bahwa Nawangwulan sebenarnya bukan seorang bidadari. Dia dan 6 kawannya hanyalah anak 3 orang Brahmana dari Parahyangan (bumi Sunda) yang sedang berdarmawisata ke Dukuh Tarub (masuk wilayah Pajang). Nawangwulan adalah anak dari Brahmana bernama Ragasuci. Nama aslinya adalah Rara Purwaci.
Adapun Nawangwulan merupakan nama pemberian dari Jaka Tarub yang artinya “bak memandang rembulan” saking cantiknya gadis tersebut. Dan untuk menggambarkan kecantikannya, masyarakat Dukuh Tarub hanya menduga-duga saja kalau dia itu bidadari yang turun dari kahyangan.
Jaka Tarub berlagak seolah dugaan tersebut benar. Lantaran dia juga berjanji menyembunyikan identitas Nawangwulan sebagai anak Brahmana. Karena bagaimana pun, pandangan masyarakat akan sangat berbeda jika mengetahui Jaka Tarub yang dari golongan Kesatria beristrikan seorang perempuan dari kasta yang lebih tinggi darinya. Dia kemudian membumbui cerita versinya, bahwa Nawangwulan adalah bidadari yang selendangnya dia curi dan dia sembunyikan. Mencuri dan menyembunyikan selendang ini maksudnya adalah, menyembunyikan identitas asli dari Rara Purwaci alias Dewi Nawangwulan.
Lalu tentang pari sak wuli yang bisa disulap jadi sebakul nasi, pada dasarnya itu hanya frasa untuk menggambarkan kecerdasan Nawangwulan sebagai anak Brahmana. Di tangan Nawangwulan, satu kalimat saja dalam lontar Jawa kuna, bisa ditafsirkan jadi sebakul pemahaman. Ibarat hanya dengan pari sak wuli, tapi bisa diubah jadi sebakul nasi.
Terakhir, mengenai Jaka Tarub yang membuka tanakan nasi Nawangwulan, ini merujuk pada momen ketika Jaka Tarub selip lidah; keceplosan membongkar identitas asli Nawangwulan sebagai keturunan Brahmana.
Mengetahui jati dirinya terbongkar dan tentu berpengaruh buruk bagi kelangsungan hidupnya di dukuh, maka Nawangwulan pun kehilangan kesaktiannya, alias kehilangan moodnya. Dengan begitu, Jaka Tarub kemudian menyerahkan kembali selendang (identitas Nawangwulan sebagai putri Brahmana) yang telah dia sembunyikan bertahun-tahun. Lantas membiarkannya pergi meninggalkannya dan putri semata wayangnya; Rara Nawangsih.
Kesimpulannya, Jaka Tarub menikahi bidadari hanyalah simbol semata. Bukan untuk mengaburkan fakta sejarah, tapi justru membawa kita memasuki labirin-labirin lain tentang sejarah Jawa.
Karena kemudian ketemu rentetan fakta yang saling berjejalan. Bahwa putri Jaka Tarub bernama Nawangsih, kelak akan dinikahi oleh Raden Bondan Kejawan; putra mahkota Prabu Kerthabumi (Brawijaya V) dari istri selirnya bernama Bondit Cemara (Dewi Wandhan Kuning) dari Sulawesi.
Dari pernikahan keduanya melahirkan Ki Ageng Getas Pandawa. Ki Ageng Getas menurunkan Ki Ageng Sela yang menurunkan Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis menurunkan Ki Ageng Pemanahan yang menurunkan Panembahan Senapati, sebagai cikal bakal Kerajaan Mataram.
Sementara jejak Jaka Tarub menuntun kita pada tragedi Perang Bubat (antara Pajajaran dengan Majapahit). Karena Jaka Tarub adalah anak angkat dari Arya Penanggungan (bangsawan Pajajaran) yang mengasingkan diri ke Dukuh Tarub lantaran tidak nyaman dengan gejolak Perang Bubat yang masih berlarut. Di Tarub dia menikahi Nyi Gedhe Kasihan dan diangkat sebagai akuwu (lurah) di sana.
Lalu anak siapa sebenernya Jaka Tarub ini? Dia adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dengan Retna Ayu Dumilah (putri Arya Adikara, Adipati Tuban sebelum Wilwatikta). Setelah keduanya dipaksa berpisah, Jaka Tarub (nama kecilnya Kidang Telangkas) dititipkan kepada Nyi Gedhe Kasihan. Sementara Retna Ayu Dumilah kemudian menikah lagi dengan Pangeran Santibadra (kelak menjabat adipati Tuban bergelar Adipati Wilwatikta) dari Lasem dan merupakan kakak dari Adiptari Wirabraja, adipati pertama Lasem).
Keduanya dikarunai dua orang anak. Satunya bernama Santipuspa, satunya lagi bernama Santikusuma yang kelak bergelar Sunan Kalijaga.
Nah, loh, bahkan dari folkor saja bisa kita uraikan data-data sejarah senjelimet ini sekaligu membantah anggapan bahwa folklor itu hanya kumpulan mitos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.