Di Indonesia, di mana pun kita berada, ada perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Bahkan di beberapa mal dan gedung perkantoran, seorang tukang parkir atau petugas keamanan bisa membedakan antara mobil mahal dan mobil murah. Perlakuannya tentu juga berbeda lantaran si mobil bagus dan mahal biasanya akan memberi tip yang lumayan.
Sudah bukan cerita baru di berbagai komunitas orang akan dinilai dari apa yang dia kenakan atau dari kelas mana dia berada. Makanya memposting foto saat makan di resto mahal seolah jadi hal wajib. Bahkan prosedur-prosedur rumit bisa terlewati kalau kita kaya.
Begitu juga saat kita punya jabatan tinggi. Tentu saja kita akan mendapat perlakuan berbeda dari kaum jelata.
Lantas, bagaimana dengan para turis Eropa yang seakan nggak tertarik untuk berbelanja? Mengapa mereka nggak disibukkan dengan berbagai pose foto?
Buat mereka melakukan perjalanan adalah untuk penyegaran batin. Mereka ingin memuaskan rasa ingin tahu, ingin melihat suasana yang baru, dan ingin menikmati suasana yang nggak didapat di negerinya. Kepuasan yang dicari adalah kepuasan yang bersumber dari dalam diri sendiri.
Apakah mereka nggak menginginkan kepuasan yang bersumber dari luar? Nggak ingin dipandang kaya atau punya jabatan? Di masyarakat mereka itu nggak penting. Di kebanyakan negara Eropa, semuanya sudah sangat teratur. Nggak ada bedanya kita orang kaya atau miskin. Kita akan mendapat layanan yang sama; kesehatan, pendidikan, atau lainnya. Nggak peduli kita pejabat atau bukan, peraturan adalah peraturan yang harus dipatuhi.
Jadi, mereka nggak harus memakai barang bermerek atau HP canggih yang dipakai untuk sekadar bermedsos. Mereka menggunakan barang karena memang memerlukan fungsinya.
Maka nggak heran kan kenapa turis Indonesia begitu gemar belanja dan berfoto ria? Bahkan dari cerita seorang teman, ada lho turis kita yang sampai membawa winter coat dua buah hanya karena supaya saat difoto dia nggak pakai warna yang sama.
Penulis: Satiadi Juliarso
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Katanya Turis Indonesia Malu-maluin, Apa Benar Gitu?