Pada dekade ’90-an, kalau ada pabrikan sepeda motor Jepang yang mampu membuat Yamaha merasa ketar-ketir, sudah pasti itu adalah Suzuki. Keduanya terlibat persaingan panas sejak dekade sebelumnya dengan saling menelurkan produk-produk ciamik di segmen pasar yang sama. Ketika Yamaha merilis Alfa, Suzuki membalasnya dengan Crystal; ketika Yamaha mengeluarkan Force-1, Suzuki membalasnya dengan Tornado, dst.
Honda, yang dibekingi Astra, memang seolah berada di dimensi lain, tetapi persaingan untuk memperebutkan posisi kedua jauh lebih menarik. Suzuki baru betul-betul membenamkan Yamaha ketika ia meniru langkah Honda dengan mempensiunkan mesin 2-tak andalannya. Dirilislah sepeda motor bermesin empat langkah yang dinamai Shogun, yang CDI-nya masih menjadi legenda hingga hari ini. Tak puas dengan kesuksesan Shogun, Suzuki kembali merilis Smash yang semakin meminggirkan Yamaha dari persaingan.
Namun, direksi Yamaha ternyata diisi oleh orang-orang sabar yang meyakini bahwa tak ada badai yang tak berlalu. Sembari menunggu angin surut, mereka meracik ulang strategi di pelbagai aspek, seperti menyasar segmen pasar yang sebelumnya dianak-tirikan, mengembangkan produk yang sesuai dengan segmen pasar tersebut, dan membuka jaringan dealer baru di pelbagai pelosok negeri. Baru pada 2003 Yamaha memungkasi nasib buruknya dengan merilis Mio, motor CVT yang bukan hanya berhasil mengubah selera pasar otomotif tanah air, melainkan juga mendongkel Suzuki dari peta persaingan.
Itulah awal mula mendung kelabu yang menggelayuti Suzuki di Indonesia. Penjualan Suzuki semakin merosot dari waktu ke waktu. Seri hyper underbone memang masih dikuasai, tetapi Satria adalah rem yang benar-benar buruk dalam menahan laju kemerosotan Suzuki. Cerita selanjutnya, kita sama-sama tahu, merupakan tragi-komedi bagi Suzuki: sebelum berguguran, banyak dealer resminya yang menjual perabot rumah tangga dan bahkan sepeda motor pabrikan lain demi sekadar bertahan, dan orang-orang dengan gembira memberi julukan pada dealer-dealer semacam itu sebagai toserba.
Namun, apakah kehadiran Yamaha Mio menjadi satu-satunya penyebab kejatuhan Suzuki di Indonesia? Jika kita menjadikan dekade pertama tahun 2000 sebagai acuan, jawabannya tentu adalah iya. Akan tetapi, Suzuki masih saja memble sampai sekarang, dan karenanya kita perlu mencari penyebab lain.
Sebagai mantan pegawai dealer sekaligus bengkel resmi Suzuki, saya punya perspektif sendiri mengenai penyebab kejatuhan Suzuki dan penghalang upaya pabrikan ini untuk bangkit. Maka, izinkanlah saya membabarkan perspektif tersebut di sini.
#1 Telat merespons keinginan pasar
Butuh tiga tahun bagi Suzuki untuk menyadari bahwa mayoritas konsumen menginginkan skuter matic. Pada bulan Agustus 2006, persis satu pekan setelah Honda merilis Vario, Suzuki meluncurkan pesaing Mio yang diberi nama Spin.
Saat itu penjualan Suzuki belum sepayah saat ini, sehingga atensi konsumen terhadap peluncuran Spin terbilang cukup besar. Apa sih yang ditonjolkan oleh Spin? Pertama, tentu saja mesinnya. Spin memboyong mesin 125cc, paling besar di kelas skuter matic saat itu. Dan ingat, mesinnya ini dibikin sama Suzuki, rajanya durabilitas mesin.
Maka, tak salah kalau Suzuki menggadang-gadang Spin sebagai pengenyah nasib buruk yang merundungnya selama itu. Namun, catatan penjualan Suzuki Spin ternyata tak seberkilau antusiasme konsumen kala peluncurannya. Desain Spin yang terlalu mirip Mio disebut-sebut sebagai penyebab kegagalannya, dan konsumen juga mencemaskan konsumsi BBM-nya yang dituding boros—Mio yang bermesin 110cc saja sudah seboros itu, apalagi Spin.
Apa pun penyebabnya, Spin gagal total. Seri itu dihentikan 5 tahun kemudian untuk digantikan oleh Nex.
Kegagalan Suzuki dalam merespons keinginan konsumen kembali ditunjukkan ketika segmen motor sport fairing 250cc sedang naik daun. Sinetron Anak Jalanan, yang dianggap banyak orang sebagai penanda puncak animo konsumen terhadap motor sport fairing, dirilis pada tahun 2015. Lantas, kapan Suzuki memasuki ceruk pasar panas ini? Betul, baru tahun kemarin ia mendatangkan jagoannya di kelas 250cc. Telat 6 tahun! Sudah gitu mesinnya silinder tunggal pula!
#2 Desain motornya sulit diterima banyak orang
Kualitas mesin motor Suzuki mungkin adalah yang terbaik di antara rival Jepangnya, begitu pula dengan kualitas material body dan catnya. Namun, kalau ngomongin desain, Suzuki berada di level ekstrem; sulit untuk setengah-setengah dalam menyukai atau membenci desainnya. Pokoknya harus total!
Menurut pengamatan saya, perubahan pakem desain motor Suzuki dimulai sejak Shogun generasi ketiga, yang menanggalkan mesin 110cc untuk digantikan mesin berkubikasi 15cc lebih banyak. Tak cuma berganti mesin, Shogun 125 R juga menyodorkan pakem estetika baru yang serba asimetris. Lihatlah bentuk kap lampunya yang tampak kebesaran bila dibandingkan dengan ukuran batok kepalanya, atau perhatikanlah kemiringan knalpotnya yang tidak simetris dengan kemiringan garis body-nya. Aneh pokoknya.
Meski angka penjualannya bisa dianggap sebagai bentuk kritik konsumen atas pilihan desain Suzuki, ternyata Shogun 125 R hanyalah awal bagi kemunculan produk-produk berdesain janggal lainnya. Hampir semua desain motor matic Suzuki sulit diterima oleh mayoritas orang, dan desain motor bebek 115cc miliknya benar-benar menjengkelkan. Cuma seri Satria yang relatif aman dari hujatan orang, sedangkan seri GSX 150cc malah mengabaikan fungsi demi mengejar estetika.
Oh, tidak, saya tidak mengatakan bahwa desain motor Suzuki jelek. Bagaimanapun, selera tiap orang berbeda-beda. Tapi, saya percaya bahwa ada semacam kesepakatan mengenai estetika tertentu pada suatu komunitas, dan kebetulan saja estetika yang ditawarkan tak sesuai dengan selera umum komunitas yang disasarnya.
Selera estetika memang tak bisa dipersalahkan, tetapi kenapa pabrikan semoncer Suzuki gagal mengetahui selera estetika pasarnya sendiri? Mereka punya cukup sumber daya untuk menjaring informasi mengenai tren yang sedang digandrungi oleh calon konsumennya, dan mereka juga punya semua sarana untuk mewujudkan produk yang sesuai dengan tren tersebut.
Dalam bahasa yang lebih sederhana: kenapa sih Suzuki sering gagal ngertiin kita? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada di poin selanjutnya, yaitu:
#3 Terlalu fokus pada pasar India
Di Indonesia, Suzuki memang tampak seperti pasien kurang darah. Akan tetapi, di negeri Bollywood Suzuki benar-benar menguasai pasar otomotif, baik roda dua maupun roda empat. Mirip-mirip lah sama Astra di sini.
Penguasaan pasar otomotif India tentu saja lebih berarti ketimbang penguasaan pasar di Indonesia. India punya penduduk terbanyak kedua di dunia dan pertumbuhan ekonominya mengesankan. Maka tak heran kalau Suzuki menganak-emaskan pasar India ketimbang negara lain. Bahkan basis riset dan pengembangan produk pun dipindahkan ke sana.
Di sisi lain, PT Suzuki Indomobil Motor selaku Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Suzuki di Indonesia tak punya wewenang sebesar dulu. SIM tak bisa mengembangkan produk yang sesuai dengan tren pasar Indonesia, urusan mereka cuma menjual produk, titik.
Oleh karena itulah pasar otomotif Indonesia dibanjiri produk-produk Suzuki yang laris di India, tapi tampak konyol di Indonesia. Pada segmen kendaraan roda dua, SIM memboyong Inazuma dan Gixxer SF 250 yang berhasil menjadi bulan-bulanan netizen. Sedangkan di segmen kendaraan roda empat, ada Celerio dan Splash yang bernasib sama.
Produk-produk di atas tentu bukan produk yang sepenuhnya buruk. Hanya saja, mereka gagal memenuhi keinginan konsumen di Indonesia yang tentu berbeda dengan keinginan konsumen di pasar utama Suzuki sana. Di pasar yang kapitalistik, bagaimanapun konsumen selalu benar.
Itulah tiga penyebab kejatuhan sekaligus penghalang upaya Suzuki untuk merebut kembali posisi terhormat di pasar otomotif tanah air. Tentu ada variabel-variabel lain yang mempengaruhi kondisi penjualan Suzuki di Indonesia hari ini, tetapi saya pikir percuma saja menuangkan semuanya di sini. Toh probabilitas direksi Suzuki membaca artikel ini jauh lebih kecil ketimbang kemungkinan Rusia menyerang Amerika besok pagi.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Intan Ekapratiwi