Sebagaimana pekerjaan lain pada umumnya, memasak juga seringkali menemukan titik jenuhnya. Kalau hal tersebut terjadi, tidak ada pilihan lain selain beli makanan di luar. Itulah yang saya alami beberapa hari yang lalu. Kehabisan ide menu masakan berpadu dengan rasa bosan karena terlalu sering berkutat dengan asap dapur membuat saya memutuskan untuk beli makanan siap santap untuk menu makan malam.
Nah, ketika melihat banyak gerobak penjual ponggol setan di sepanjang jalan, saya jadi tergerak untuk menemukan jawab: kenapa ada ponggol setan tapi tidak ada ponggol syar’i? Padahal kan biar seimbang harusnya kalau ada ponggol setan, juga ada ponggol syar’i, dong? Syar’i aja, deh. Biar lebih aman. Sebab, nggak mungkin juga kan kasih nama ponggol malaikat?
Buat yang belum tau, ponggol setan itu sebenarnya nasi bungkus biasa, Hyung. Hanya saja lauknya bercitarasakan pedas dan dijual hanya pada sore sampai malam hari. Tapi, seumur-umur tinggal di Tegal, belum pernah tuh saya lihat ada yang jualan ponggol syar’i! Sejauh mata memandang setan semua, eh, ponggol setan semua, kenapa, ya? Dan setelah dilakukan analisis mendalam, saya akhirnya menemukan alasan mengapa sampai detik ini tidak pernah ditemukan adanya ponggol syar’i.
Lebih fleksibel
Sebagai sebuah kata, “setan” memang lebih (((fleksibel))). Dijadikan sebagai umpatan? Oke. Untuk mendeskripsikan kelakuan manusia yang nggak ada akhlak pun oke. Termasuk kalau di-gathuk-ke ke makanan. Asal makanan itu pedas, merah membara seperti api—sumber penciptaan setan, cocok-cocok aja disambung dengan kata “setan”, seperti : Bakso setan, rawit setan, ponggol setan, dll.
Beda dengan syar’i. Okelah kalau syar’I itu dilekatkan dengan industri fashion. Baju-baju dengan ukuran besar dan panjang yang menutupi aurat, layak menyandang nama baju syar’i. Lha kalau makanan namanya ponggol syar’i, nanti penampakannya bagaimana? Apa iya semuanya dibuat jadi serba panjang? Orek tempenya dibikin panjang-panjang dan nasinya dibungkus daun dengan cara memanjang? Itu mah lontong!
Setan sudah biasa “dizalimi” manusia
Meskipun berat, tapi fakta ini sulit dibantah. Setan, sudah biasa “dizalimi” manusia. Ketika ada hal-hal buruk atau nyeleneh, setan dan kawan-kawannya seringkali jadi kambing hitam. Ada orang yang nggak kelihatan ngantor, tapi duitnya banyak, dikira piara tuyul. Ada bocah rewel, dianggap ketempelan genderuwo sampai-sampai si bocah harus ditenggelamkan di bak. Bahkan termasuk untuk urusan penamaan makanan. Cabai rawit yang merah pedas, sama kang sayur dan ibu-ibu disebut sebagai rawit setan. Ada nasi ponggol bercitarasa pedas yang dijual malam hari, dikasih nama ponggol setan. Duh. Nggak ada harganya banget setan di mata manusia.
Minim konflik
Penggunaan nama setan dkk sebagai nama makanan itu minim konflik. Memangnya kalian pernah baca, ada berita Aliansi Setan Bergerak mendemo warung yang menyediakan menu dengan embel-embel setan? Atau petisi menolak penggunaan nama setan pada makanan, yang dikeluarkan oleh Paguyuban Setan Sejahtera? Belum pernah ada, tho? Coba kalau makanan pakai embel-embel keagamaan. Wah, bisa dikecam, tuh. Orang orang bisa pada demo karena dianggap penistaan agama. Bahaya.
Saya pribadi meskipun suka dengan makanan pedas, tapi untuk menyebut makanan yang pedas dengan embel-embel “setan” di belakangnya kok ya masih abot. Ponggol ya ponggol aja. Rawit ya rawit aja. Bukannya takut para setan bakal tersinggung. Tapi, di benak saya ini, makanan itu kan sesuatu yang penuh keberkahan, halah kok namanya disandingkan dengan makhluk yang dikenal tukang bikin rusuh??? Ra mashoook!
BACA JUGA Wawancara dengan Cheetos Jagung Bakar, Sumber Micin yang Sebentar Lagi Punah dan artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.