Sad ending merupakan ciri khas karya sastra klasik Rusia sejak Tolstoy dan Dostojewski. Ketika Maxim Gorky menjadi pimpinan sastrawan Rusia, estafet kisah Sad ending terus melaju dengan tambahan corak realisme sosialis. Sebuah karya yang bukan menghibur, namun sebaliknya, harus menumbuhkan empati pembaca. Rakyat perlu diajari untuk berpihak pada yang lemah, setidaknya kehidupan riil yang berciri sosialis.
Karya Franz Kafka yang dianggap bercorak melankolis, abstrak, bahkan surealis mendapat penolakan untuk masuk ke ranah pembaca Rusia. Hanya karya sastra yang bisa membangkitkan jiwa revolusioner, yang berakhir angkat senjata melawan imperialisme, yang boleh disebarkan.
Menteri Penerangan daripada Orde Baru yang sering mendapat julukan Hari-Hari Omong Kosong pernah melakukan hal sejenis. Ia mengancam lewat fatwa pada tahun 1980-an bahwa semua lagu bernuansa kelabu, manja, cengeng, melankolis harus diberangus. Lagu-lagu jenis itu tak hanya berpengaruh meninabobokan masyarakat tropis yang sudah terlanjur dimanjakan oleh berlimpahnya cahaya matahari dan beralas permadani alam hijau.
Lagu ”Hati yang Luka” ciptaan Obbie Messakh yang dinyanyikan Betharia Sonata, nyaris masuk blacklist. Menteri yang getol dengan program unggulan kelompencapir itu hendak menobatkan Yang Maha Kuasa Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Sebab itu, semua lagu yang bernuansa melemahkan spirit membangun, harus dibabat. Sistem Orde Baru kala itu tak ubahnya replay dari kehidupan sastra tunggal di Rusia di zaman Stalin.
The Godfather of Broken Heart – Kafkaesque
“Cidro”, lagu Jawa pertama yang diciptakan oleh Didi Kempot, adalah kisah galau karena si cowok yang tak lain si komponis dan penyanyinya sendiri punya pengalaman pribadi ditolak cintanya. Orang tua perempuan sangsi, akan dikasih makan apa anaknya jika kawin dengan pemuda gondrong yang mencari makan di jalanan?
Mencermati baris-baris lagu ”Cidro”, lekas kita akan tersandung metafora;
Kebak kembang wangi jeroning dodo
(Banyak bunga harum di dalam dada)
Betapa kreatifnya penggambaran kegembiraan dua insan yang saling jatuh cinta, ibarat bunga harum yang terpendam di dalam dada. Tapi kemudian harus ambyar karena larangan orang tua. Tetapi Kempot tidak dendam, justru ia membenarkan sikap orang tua si gadis saat itu.
Begitu pula pada lagu yang semakin hit berjudul ”Banyu Langit”. Didi Kempot lagi-lagi patah hati menunggu kekasihnya yang tak kunjung tiba. Ia anggap sang kekasih ingkar janji, sehingga ia menunggu sampai menggigil dingin dan digambarkan seperti dinginnya gunung merapi purba.
Ademe gunung merapi purba
(Dinginnya gunung merapi purba)
Pada lagu ini si komponis lebih gamblang menyebut lokasi kejadian di Wonosari, Yogyakarta. Episode pascameninggalnya Didi Kempot mungkin akan lebih seru seandainya para mantan yang digambarkan dari Wonosari, Yogyakarta dan yang lain unjuk suara: Sayalah orang yang dimaksud Mas Didi Kempot.
Beberapa moderator TV sering usil menanyakan, apakah Didi Kempot tidak mencoba menghubungi si calon gadis yang batal dipinang? Pasti kecewa si calon mertua, kalau melihat sekarang si pemuda gondrong dan pengamen jalanan itu sudah sukses besar dan terkenal.
Dengan agak malu, Kempot mengelak bahkan membenarkan sikap ayah si gadis, malah membawa berkah untuk kariernya. Ia berpesan, supaya anak-anak muda yang mengalami penolakan oleh para calon mertua tetap bersemangat dan tidak putus asa.
Yang menggelitik sepertinya detik-detik pertama kedua lagu di atas dimulai dengan arrangement musik lagu barat? Lagu ”Cidro” dibuka dengan musik mirip I Started A Joke dari Bee Gees. Sedang lagu Banyu Langit dibuka dengan musik ”Imagine” dari John Lennon.
Lagu dangdut apalagi bahasa Jawa yang dianggap kampungan itu di tangan Didi Kempot menjadi renyah dan membumi. Para penggemarnya mulai kesengsem dari untaian kata dan bumbu-bumbu bahwa lagu-lagu itu berdasar true story putus cinta. Kaum mileneal di medsos gempar. Mereka mencoba mengaktualisasikan diri dengan menjodohkan lagu Kempot dengan diri mereka masing-masing. Lahirlah kelompok penggemarnya yang berikrar sebagai sad bois dan sad girls.
Pada acara di Kompas TV, Rosi Silalahi sempat mempertanyakan, kenapa lagu-lagunya didominasi oleh kelompok sad bois? Hadirin di studio lantang menjawab, karena juga korban calon mertua. Seiring berjalannya waktu, Didi Kempot berselancar dari kota ke kota, dari kampus ke kampus. Kelompok penggemarnya sudah tak bisa dibendung lagi, mereka meleburkan diri baik laki maupun perempuan ke dalam Sobat Ambyar. Ambyar adalah bahasa Jawa yang sering diungkapkan secara spontan oleh Kempot berarti pecah.
Titel baru mulai disematkan kepada sang penyanyi sebagai The Godfather of Broken Heart alias Bapak Loro Ati Nasional. Kempot mendadak kondang, bahkan ia dipanggil Lord of Loro Ati Nasional. Penggemarnya yang didominasi kaum muda ini, ibarat para gerilya di hutan Bolivia yang setia menunggu sang commandante Che Guevara. Kempot hadir memenuhi kerinduan anak muda Indonesia yang sedang galau.
Franz Kafka, sastrawan Yahudi dari Praha, Ceko pernah melakukan pembatalan tunangan dua kali kepada gadis yang sama bernama Felice Bauer. Kegalauan Kafka itu ia catat sendiri pada buku hariannya pada 15 Agustus 1914, “Setidaknya aku mendapatkan hikmah yang bermanfaat, kehidupan saya yang hampa, kesalahan yang beruntun, dan status bujang saya menemukan pembenaran.”
Kisah kelabu patah hati Kafka dengan kekasihnya itu ia ekspresikan pada novelnya berjudul Proses (Der Prozess). Tak sampai di situ, Max Brod, sahabat karib Kafka juga memberi tahu perkembangan mantan kekasihnya itu sudah punya anak kedua. Bahkan menjelang kematiannya, Kafka sempat jatuh cinta kepada Dora Diamant dan mereka tinggal di Berlin, di mana mantannya Kafka, si Felice Bauer juga berada di Berlin.
Jika Kempot disindir calon mertua laki, “Akan diberi makan apa anak saya?” Kafka malah disindir oleh ayahnya sendiri, “Lebih baik kamu cari sundal di bordil saja ketimbang punya pacar dia.” Dia maksudkan adalah pacar Kafka yang lain dari Praha bernama Julie Wohryzek.
Awalnya pembaca bahasa Inggris belum mengenal Kafka, setelah mereka membaca karyanya, mereka memberi julukan Kafkaesque. Untuk menggambarkan bahwa karya itu bernuansa melankolis, depresif, putus asa, sampai horor. Julukan Kafkaesque itu datang begitu saja dan menyebar sendiri menjadi adjektiva.
Pada tahun 1950-an di Jerman muncul istilah Kafka Mode, yakni para pengarang muda mulai gandrung meniru gaya penulisan Kafka. Para pembaca karya-karya Kafka di berbagai belahan dunia mengirimkan surat dan kartu pos ke makam Kafka di Praha. Bahkan di depan nisan banyak potongan kertas yang ditindih kerikil. Kertas-kertas itu adalah ungkapan pesan dari para peziarah untuk sang maestro Kafka.
Beberapa sastrawan mengaku mendapat inspirasi dari ruh karya Kafka. Dari Günter Grass, Gabriel Garcia Marquez, sampai Haruki Murakami. Bahkan Gabo, sebutan untuk Gabriel Garcia Marquez pada usia 19 tahun sudah hafal di luar kepala pembuka novelet Metamorfosis. “Ketika suatu pagi Gregor Samsa bangun dari mimpi buruk, ia mendapati dirinya sudah berubah menjadi seekor kecoak raksasa yang menjijikkan di ranjangnya.”
Keluarga Seniman – Keluarga Bisnisman
Kempot kepanjangan dari Kelompok Pengamen Trotoar, adapun nama aslinya Dionisius Prasetyo kemudian lebih populer dipanggil Didi Kempot. Ia sosok seniman yang sangat humble. Ia lahir dari keluarga seniman tradisional Jawa.
Ayahnya Ranto Edi Gudel yang sering dipanggil Mbah Ranto merupakan seniman ketoprak. Ibunya bernama Umiyati Siti Nurjanah adalah penyanyi lagu Jawa. Kakak kandung Kempot adalah Mamiek Prakoso atau lebih terkenal dipanggil Mamiek Podang, karena rambutnya di dua sisi diwarnai pirang mirip burung kepodang.
Yang membedakan Kempot dengan penyanyi jalanan lain adalah ia punya kemampuan menuliskan lagu sendiri. Ia merasa puas saat menjadi pengamen dikasih uang koin, sebab ia bahagia lagu ciptaannya sendiri dihargai orang.
Jika Kempot berasal dari darah keluarga seniman Jawa, sebaliknya Kafka lahir dari keluarga bisnisman. Orang tua Kafka, Hermann Kafka dan Julie Kafka, punya beberapa toko kain. Hermann Kafka pengusaha yang sangat gigih. Ia kecewa berat ketika satu-satunya anak lelakinya Kafka, tidak bersedia meneruskan bisnisnya. Kafka yang merasa tidak menyukai jalur bisnis dan amarahnya ia tumpahkan kepada ayahnya yang semi diktator di keluarga, ia tulis dalam Surat untuk Ayah. Nada protes surat sampai seratus halaman lebih tulis tangan itu, ia tak berani memberikan kepada ayahnya langsung, melainkan lewat ibunya, hingga Kafka meninggal, kemungkinan surat itu belum sampai ke tangan ayah.
Kempot saat SMP sering membolos untuk mengamen. Sepeda pemberian ayahnya ia jual untuk membeli gitar. Saking seringnya membolos, ia merasa berdosa kepada ayahnya, maka ia mengakui, tak akan melanjutkan sekolah. Ia mengamen di Solo antara tahun 1984-1986. Sang ayah mempertanyakan, masa depannya bagaimana? Kempot remaja dengan tekad bulat menjawab, ingin mengikuti bakat seni ayahnya, hanya di jalur menyanyi. Tekad bulat itu tak bisa dicegah, mendengar akan mengadu nasib ke Jakarta, ibunya menangis. Wejangan sang ayah, bahwa perjuangan seni harus dimulai dari bawah, jangan cepat bermimpi langsung berhasil.
Kempot ke Jakarta bergabung dengan para pengamen jalanan antara tahun 1987-1989. Meskipun ia punya kakak kandung Mamiek Podang yang sudah cukup ternama dan hidup cukup di Jakarta, tapi ia memilih tidur di indekos bersama para pengamen jalanan lain. Satu kamar diisi 11 seniman. Bahkan ia kadang tidur di atas kandang kambing milik seorang yang punya warung, tempat Kempot sering berutang.
Ketika Didi Kempot tampil di TV, orang tuanya masih hidup dan bangga. Artinya cita-cita anaknya bisa diraih dengan gemilang. Ketika Kafka menerbitkan karya perdana dan buku tersebut ditunjukkan ayahnya, ternyata jawab sang ayah, “Taruh saja di meja tempat tidur saya.”
Ketika Kafka berjalan-jalan dengan Gustav Janouch, kenalan barunya berusia 17 tahun melewati toko orang tua Kafka yang megah. Janouch menanyakannya, jawab Kafka merendah, “Toko itu kan milik ayah, yang kaya itu ayah, saya hanya menumpang tidur di satu kamar yang sempit di rumahnya.”
Kafka, anak pemalu yang patuh kepada orang tuanya. Ia masuk sekolah berbahasa Jerman, sebab masyarakat Yahudi di Praha kebanyakan berbahasa Jerman. Ia berhasil meraih doktor bidang hukum dan ikut magang dengan pamannya yang seorang pengacara. Pada akhirnya ia berpindah bekerja pada kantor asuransi Assicurazioni Generali, kemudian berpindah lagi ke kantor asuransi kecelakaan karyawan Arbeiter-Unfallversicherungs-Anstalt. Di luar pekerjaan kantor ia aktif ikut gerakan buruh dan demonstrasi,
Jika Kempot mendapatkan sumber intuisi dari pengalaman pribadi sehari-hari, Kafka pun mengakui tak bisa menulis tanpa berpegang pada buku hariannya. Buku harian yang ia tulis tentang kejadian sehari-hari
Kehidupan Kafka paling menderita saat berada di Berlin bersama pacarnya Dora Diamant. Ia sudah kehabisan bekal untuk hidup sehari-hari. Hidupnya sangat irit, belum lagi diomeli ibu pemilik apartemen.
Kafka menulis dengan nuansa gelap. Pecahnya Perang Dunia I dengan kehidupan di zaman kerajaan Habsburger, Austria-Hongaria mewarnai seluruh karyanya. Bungker adalah prosanya yang hidup di dalam tanah serbagelap. Ketika kapitalisme mulai murka, manusia menjadi korban peradaban modernitas itu, ia ciptakan manusia berwujud kecoak bernama Gregor Samsa. Bagi Kafka menulis adalah sebuah terapi. Jika ia tidak menulis, maka ia merasa resah.
Buat Kempot cerita bernuansa melow selalu akan menarik bagi seniman seluruh dunia. Mamiek Podang mengingat pesan ayahnya Pak Ranto, bahwa kesedihan itu tak akan berumur panjang, pun kebahagiaan, sama saja, sebab itu orang harus selalu waspada.
Saat kematian Pak Ranto, Kempot tetap menangis meskipun sebelumnya sudah diwanti-wanti janganlah menangis, karena tak adil, bukankah ayahnya itu jago menghibur orang, maka anak tak perlu menangisi jika ditinggalnya.
Jika lagu-lagu Kempot sempat dinyanyikan oleh penyanyi lain, tanpa minta izin darinya, seolah mereka tidak menghormati copyright, Kafka justru membuat testamen kepada Max Brod, temannya, agar beberapa karyanya dibakar saja. Jikalau karya itu sudah telanjur diterbitkan, setidaknya tidak boleh diterbitkan ulang. Untungnya testamen tertulis itu tidak diindahkan oleh Max Brod, justru semua karyanya ia terbitkan.
Konsernya Kempot yang disiarkan langsung oleh Kompas TV pada 11 April 2020 berhasil meraup donasi sebesar 7,6 miliar rupiah. Virus corona ibarat broken heart dan donatur 7,6 miliar rupiah adalah obat terakhir dari Lord Loro Ati atas sumbangan penggemar setianya.
“Lagu Ojo Mudik” sebagai karya terakhirnya, ia mengajak pengikutnya dan masyarakat luas, untuk mengikuti anjuran social distancing dengan mencegah mudik menjelang Lebaran.
Suriname – New Caledonia
Pada tahun 1930-an kapal-kapal Hindia Belanda di pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Tanjung Perak siap mengangkut para pemuda Jawa menuju Suriname. Sebuah koloni Belanda di laut Atlantik, Amerika Selatan. Para pemuda ingusan itu rata-rata masih usia sekitar 13 tahun dan berasal dari pedesaan. Mereka kebanyakan ikut kerja kontrak ini tanpa sepengetahuan orang tuanya. Bisa dipastikan kala itu mereka juga belum tahu di mana letak Suriname.
Karl Rossmann, tokoh protagonis novel Amerika karya Franz Kafka menceritakan, pada usia 16 tahun ia dibuang oleh orang tuanya yang miskin ke Amerika, karena kedapatan ia telah menghamili seorang gadis dan lahir anak darinya.
Kafka berani menulis novel tentang Amerika, padahal ia sendiri belum pernah menginjakkan kaki ke sana. Rupanya Kafka telah membaca buku travelling berjudul Amerika, Sekarang dan Besok (Amerika, Heute und Morgen) karya Arthur Holitscher.
Jika Suriname adalah lahan tropis koloni Hindia Belanda, maka New Caledonia adalah koloni Prancis. Kafka menuliskan sebuah prosa berjudul Koloni Hukuman (Strafkolonie) yang menggambarkan betapa brutalnya jenis hukuman yang menimpa para tahanan itu. Kafka mengangkat tema ini, dipicu solidaritas atas rencana Prancis membuang para tahanannya dari penjara di Prancis yang sudah penuh ke pulau kecil dekat Australia, yakni di New Caledonia. Lagi-lagi di New Caledonia juga terdapat banyak orang Jawa.
Lalu ratusan Karl Rossmann dari Jawa yang dikontrak selama 10 tahun untuk dipekerjakan di lahan pertanian di Suriname itu, kebanyakan tidak kembali lagi. Hanya sebagian kecil yang pulang. Penduduk Suriname sekarang mencapai sekitar 500 ribu jiwa dan sekitar 18% nya adalah para Karl Rossmann dari Jawa.
Tentu saja, mereka sampai kini masih memakai bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Mereka pada waktu itu belum banyak mengenal bahasa Indonesia dari sekolah. Ada kejadian menggelitik, ketika ada kongres bahasa Jawa diadakan di Jawa, datang delegasi dari Suriname. Mereka tiba-tiba protes, karena meskipun nama kongresnya bahasa Jawa, rupanya antarpanitia dari Jawa itu bicaranya memakai bahasa Indonesia.
Tercatat Kempot sudah 14 kali manggung di Suriname, bahkan beberapa lagu dicipta menggambarkan alam di sana. Dua di antaranya, Kenyo Suriname dan Angin Paramaribo (Paramaribo adalah ibu kota di Suriname).
Bisa dibilang, Kempot di Suriname lebih terkenal dari presidennya, karena selama Kempot ke sana, setidaknya sudah ada 3 kali presidennya diganti. Kempot tetap menjadi legenda tersendiri.
Ngono yo Ngono, Nanging Ojo Ngono
Banyak orang mencari tahu, kenapa lagu-lagu patah hati itu di tangan Lord Patah Ati menjadi tak tampak sedihnya? Sementara lagu dengan nuansa melow yang sama dibawakan penyanyi lain, bisa lebih mencekam, bahkan meneteskan air mata.
Usut punya usut, ada faktor local wisdom yang luput ditangkap. Niels Mulder dalam bukunya Doing Java menyebut, ukuran berhasil mempelajari budaya Jawa itu jika sudah sampai pada roso. Franz Dähler, seorang pastor jesuit asal Swiss yang sudah 20 tahun di Magelang dan Semarang menulis buku berjudul Indozeller. Ia menuturkan kekuatan kebudayaan Jawa pada cara menyeimbangkan isme dan menjaga harmoni. Komunisme masuk, orang Jawa menerima walau tidak harus menjadi komunis. Kapitalisme masuk, orang Jawa juga menerima, tanpa harus menjadi kapitalis.
Kempot rupanya disadari atau tidak, ia sebagai praktisi filsafat lisan Jawa yakni, ngono yo ngono, nanging ojo ngono. Dengan kata lain, hati boleh sedih, tapi jangan keterlaluan. Ketika lagu-lagu melownya lahir, ia tetap mengantarkan lagu tersebut dengan irama campursari, paduan antara langgam Jawa, ndangdut, keroncong yang justru mampu mengubah kesedihan menjadi keriangan.
Filsafat ngono yo ngono, nanging ojo ngono ini yang sulit dipahami oleh budaya daerah lain, apalagi budaya modern yang penuh panji-panji logika. Di sisi lain orang bisa dianggap plin-plan, karena tidak serius memegang rasa yang dialami itu.
Kempot telah melakukan yang terbaik untuk dirinya, kariernya, dan penggemarnya. Remy Sylado pernah berpesan, tulislah cerita yang berasal dari budaya setempat. James Joyce pernah bertemu Arthur Power, anak muda sama-sama asal Irlandia di Paris. Pemuda itu menggebu-gebu hendak menulis karya dengan model khas Prancis. Joyce menasihati, “Nonsens akan berhasil. Tulislah apa yang mengalir di darahmu sebagai orang Irlandia.”
Lagu dangdut dan bahasa Jawa lagi, keduanya identik dengan kampungan. Lagi-lagi Kempot berhasil menumbangkan image kampungan itu dan lagunya digandrungi para mahasiswa dan warga kota di mana-mana, tak terbatas hanya di Jawa.
Ketika karya Kafka mulai beredar dan mendapat perhatian positif di media. Franz Werfel, sahabat Kafka sendiri yang mencemooh, “Ah itu karya lokalan saja, khas Praha.” Kafka menerima saja, tanpa melakukan perlawanan. Ia yakini, itu karya khasnya dan ternyata karya Kafka mendunia dan dianggap sebagai karya yang mewakili prosa modern.
Asma dan TBC
Kempot lahir pada 31 Desember 1966 di Solo. Kariernya sebagai penyanyi dan komponis lagu, ia kadang merasa asmanya kumat. Napas menjadi hambatan. Pada 5 Mei 2020 pukul 07.45 ia meninggal di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo akibat serangan jantung. Pada usia 53 tahun persis dengan kakak kandungnya Mamiek Podang juga meninggal di usia 53 tahun.
Kafka lahir pada 3 Juli 1883 di Praha. Selama hidupnya sebagai sastrawan dan karyawan kantor asuransi, ia didera penyakit tuberkulosis. Ia meninggal pada usia 41 tahun tepatnya pada 3 Juni 1924 di rehabilitasi, Kierling, Austria.
Selamat jalan, tetap riang di sana!
Sumber gambar Kafka: Wikimedia Commons dan gambar Didi Kempot: Wikimedia Commons
BACA JUGA Selamat Jalan, Didi Kempot, Bapak Patah Hati Kami
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.