Kata guru honorer pasti tidak asing lagi bagi jamaah mojokiyah. Guru honorer merupakan guru yang memiliki tugas sama seperti guru PNS, tapi tidak terikat pada pemerintah atau mudah dikenal dengan guru tidak tetap. Selain perbedaan perolehan upah, waktu pembayaran upah yang tidak tetap juga menjadi perbedaan antara guru honorer dan guru PNS.
Banyak keluh kesah guru honorer yang sering terdengar di jam istirahat sekolah saat pimpinan tidak ada di tempat. Apalagi kalau bekerja sebagai honorer di pelosok perbatasan Kalimantan. Kira-kira apa saja yang menjadi keluhan, ya?
Daftar Isi
Di daerah pelosok perbatasan, apalagi di Kalimantan, kondisi geografisnya cukup beragam. Ada tanjakan, turunan, belokan, kubangan, dll. Kondisi ini diperparah dengan minimnya jalan aspal, jalan tanah liat yang licin bagai perosotan ketika hujan, jalan berkerikil yang kerikilnya sebesar harapan, hingga jalan bergelombang yang lebih parah dari yang dikeluhkan orang-orang di perkotaan.
Selain kondisi jalan yang memprihatinkan, jarak tempuh dari rumah menuju sekolah juga cukup jauh. Salah satu guru honorer wanita yang baru saja lulus kuliah PGSD menyampaikan pada saya bahwa dia harus menempuh waktu sekitar 1 jam untuk bisa ke sekolah tempat mengajar. Saat musim hujan tiba, mau ke sekolah saja seperti mampir ke sawah dulu. Sementara saat musim kemarau tiba, dia harus bersiap dihujani butiran debu di jalanan.
Ada juga guru honorer lainnya yang memutuskan belajar mengendarai motor sendiri agar bisa sampai ke sekolah. Modal nekat, dia mengendarai motor manual yang tentunya lebih sulit ketimbang motor matic. Lantaran jalan yang rusak, jarak yang jauh, dan kemampuan berkendara yang masih newbie, beberapa kali dia jatuh dari motor tuanya. Namun, semua itu tak menyurutkan tekadnya untuk tetap bekerja.
Jam mengajar yang lebih lama
Ada perbedaan jam belajar antara sekolah negeri dan swasta. Katanya sih kurikulumnya berbeda, namun hal ini cukup menjadi perbincangan hangat tiap kali guru honorer berkumpul, dan biasanya yang mengeluh soal ini adalah mereka yang bekerja di sekolah swasta.
Si salah satu sekolah swasta di perbatasan Kalimantan misalnya, jam pulang untuk siswa SD kelas 1-3 adalah jam 2 siang. Sementara kelas 4-6 SD pulang jam 3 sore. Hal ini cukup berbeda dengan mayoritas sekolah negeri yang nggak pulang di atas jam 12 siang. Kebijakan yang cukup berbeda ini tentu menjadi salah satu hal yang memberatkan guru honorer yang harus berangkat ekstra pagi karena rumahnya jauh dan pulang sore. Apalagi dengan penghasilan yang tak sesuai beban kerja.
Fasilitas yang kurang memadai
Dalam kegiatan pembelajaran, fasilitas berupa sarana dan prasarana menjadi salah satu yang berperan penting agar dapat menunjang proses pembelajaran. Sayangnya, fasilitas penunjang pendidikan di sekolah yang berada di pelosok perbatasan akan jauh berbeda dari fasilitas di sekolah yang berada di kabupaten dan kota-kota.
Ya memang guru dituntut untuk kreatif, tapi bagaimana jika fasilitas seperti buku saja nggak ada, listrik nggak memadai, dan semuanya serba kekurangan? Kalaupun guru honorer mau membuat media pembelajaran, kan butuh alat dan bahan. Kalau sekolah nggak menyediakannya, apakah para guru bisa menyiapkan sendiri alat dan bahan yang diperlukan? Upahnya saja nggak jelas, maka terpaksa pembelajaran dilaksanakan semaksimal mungkin dengan fasilitas seminim mungkin.
Upah minim, tidak tepat waktu
Tak dapat dimungkiri bahwa sebagai guru honorer, upah yang diterima memang minim. Akan tetapi, masalah-masalah yang sudah diuraikan sebelumnya tentu menambah miris nasib guru honorer di pelosok perbatasan Kalimantan yang hampir 90% perantau.
Sebenarnya upah minim ini masih bisa diterima dengan lebih sabar dan ikhlas apabila dibayarkan pada waktu yang jelas dan tepat. Hal ini nggak terjadi pada guru honorer di sekolah swasta, namun juga yang ada di sekolah negeri. Nggak tepat waktunya bukan cuma sebulan dua bulan, info yang saya peroleh dari teman lain adalah upahnya sudah sekitar lima bulan belum diberikan.
Itulah beberapa keluh kesah para guru honorer di pelosok perbatasan Kalimantan yang bisa saya tuangkan di sini. Nyatanya, masih banyak keluhan lain yang kami rasakan di sini. Semoga kelak semua guru honorer di penjuru negeri bisa lebih sejahtera dan menjadi pahlawan pendidikan yang dihargai.
Penulis: Lois Elisabeth Maria
Editor: Intan Ekapratiwi