Baru-baru ini saya baru selesai menonton drama Korea berjudul Law School. Sebuah drama Korea yang menceritakan pencarian dalang pembunuhan seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Hankuk. Dalam perkembangannya, ceritanya akan melebar berkaitan soal segala macam yang berkaitan dengan Ilmu Hukum, mulai dari aktivitas belajar mahasiswa-mahasiswanya, prosedur penyelidikan, hingga drama ruang sidang yang seru karena adu bacotnya.
Setelah selesai melahap 16 episode Law School, saya merasa bertambah pintar karena melahap ilmu baru. Ada banyak hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang baru saya pahami. Namun, tiba-tiba saya merasa semua yang dipelajari hampirlah sia-sia. Seketika saya sadar, yang barusan saya pelajari adalah hukum-hukum yang berlaku di Korea Selatan. Lalu apa fungsinya saya mengetahuinya, toh, tidak bisa diterapkan di negara saya. Sistem hukum masing-masing negara berbeda-beda, kan?
Sebenarnya tidak sia-sia banget, sih. Ada beberapa kasus yang saya juga merasa familiar karena kasusnya banyak terjadi di sini juga. Misalnya, soal kenapa banyak kasus yang punya bukti berupa rekaman entah itu berupa suara, video, foto, atau chat tidak serta merta bisa jadi barang bukti sah. Bukannya yang dianggap salah yang ditangkap, malah yang memberi bukti yang kena masalah. Rupanya dijelaskan bahwa hal itu memang ilegal di mana dijelaskan pula rasionalisasi di balik hukum itu.
Kayaknya soal hukum ini agak sama dengan di sini. Saya yang dulu nyinyir kalau ada berita dengan kasus serupa di mana yang kena masalah justru sang pemegang bukti, langsung intropeksi diri mengutuk ketidakpahaman saya. Saya masih emosional rupanya, belum bisa objektif, untung bukan anak didik Pro Yang Jong-hoon, bisa dimaki habis-habisan.
Selain itu, tentu ada banyak hal lain yang saya pelajari dari drakor ini. Mulai dari baru taunya saya ada istilah penyalahgunaan hak banding, lalu penjelasan soal bedanya membela diri dengan perkelahian, hingga membedah plagiarisme. Tentu saya penasaran, apakah ilmu yang saya dapat dari Law School apa bisa berlaku juga di sini? Ah, seandainya sinetron kita bisa ngajarin penontonnya untuk melek hukum seperti yang dilakukan drakor untuk penonton Korea Selatan. Saya jadi merasa iri.
Bukan hanya Law School, Korea Selatan punya banyak drama yang bertema soal hukum. Beberapa judul yang saya tahu misalnya ada While You Were Sleeping, I Can Hear Your Voices, atau Lawless Lawyer. Banyaknya drakor yang membahas profesi praktisi hukum membuat saya menyangka bahwa warga Korea Selatan teredukasi soal hukum. Kemudian saya membayangkan, apabila sinetron-sinetron Indonesia punya cerita bertema hukum, apakah efeknya buat penonton Indonesia?
Baru-baru ini, sinetron Ikatan Cinta ternyata punya beberapa adegan yang menyoroti soal prosedur hukum yang rupanya menimbulkan beberapa orang yang resah sehingga menjadikannya artikel di Terminal Mojok ini. Seperti yang dibahas oleh Mbak Utamy Ningsih sebagai orang awam hukum dan selanjutnya disepakati oleh Mas Raynal Arrung Bua sebagai orang yang paham hukum. Bahkan saat saya eksplore lagi, baru tau kalau Ikatan Cinta dianggap bisa bikin orang melek hukum di Indonesia, seperti yang diungkap oleh Mas Muhammad Arsyad.
Itu baru sinetron yang masih debatable akurat atau tidaknya eksekusi cerita hukum, eh sudah menimbulkan bahasan menarik. Apalagi kalau beneran ada sinetron yang membahas hukum?
Ya, minimal misal saya bayangkan dengan pikiran yang polos, kalau warga Indonesia sering dijejali konten hiburan soal hukum macam sinetron, manfaatnya bakal banyak kali, ya? Mulai dari orang-orang jadi melek hukum sehingga nggak bisa dibodoh-bodohi atau minimal mereka sadar sedang dalam kondisi bodoh.
Bisa juga, mengedukasi mana perbuatan yang melanggar hukum mana yang tidak karena memang banyak hal yang kita tidak sadar kalau kita sedang melanggar hukum. Misalnya, soal etika merekam orang asing di ruang publik atau menggembar gemborkan soal pelecehan seksual biar tumbuh kesadaran bahwa hal tersebut salah dan kalau kejadian di depan mata nggak cuma cengangas-cengenges. Ataupun soal merekam pembicaraan orang diam-diam sebagai bukti orang tersebut melakukan kesalahan, ternyata tidak bisa dijadikan bukti.
Atau minimal, gara-gara adegan adu bacot di persidangan, bikin orang-orang ngerti kalau dalam adu argumen harus bisa objektif, nggak emosional, nggak bias. Pasti bakal berefek ke kedewasaan adu cocot di ruang publik digital. Eh, iya nggak, sih? Ya, berharap sambil berkhayal tidak apa-apa, kan?
Duh, enak ya jadi orang Korea Selatan, dihibur dan dididik. Asyik mungkin, ya, punya privilese tumbuh di tengah kemajuan ekonomi kreatif, di mana orangnya berkarya dengan sungguh-sungguh. Mungkin.
Sumber Gambar: YouTube Revsuto Mix Random
BACA JUGA 3 Kasus di Drama Korea ‘Law School’ yang Bisa Ditemukan di Indonesia dan tulisan Muhammad Sabilurrosyad lainnya.