Meski banyak anggapan dari masyarakat bahwa kehidupan di penjara itu menyeramkan dan jadi tempatnya orang-orang buangan, penjara bukanlah tempat yang tandus akan harapan. Oke, memang narapidana dicap sebagai sampah yang terbuang oleh sebagian masyarakat. Tapi, ingat, sampah yang terbuang akan bisa didaur ulang sampai bisa menjadi barang yang menjadi idaman semua orang.
Perilaku narapidana memang erat dengan stigma negatif di masyarakat pada umumnya. Ini menjadikan mantan narapidana terkadang merasa kesulitan berbaur dan beradaptasi di luar tembok penjara ketika mereka sudah bebas masa pidana.
Nah, untuk mengubah stigma negatif itu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara ( Rutan) berupaya menginovasi cara pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) agar kelak ketika mereka purna dari kehidupan di penjara, mereka dapat menjalani hidup yang positif, produktif, dan berdaya guna di tengah-tengah masyarakat.
“Memang awalnya susah, Pak, sampai sekian lama juga masih banyak lintingan (koran bekas, untuk keterampilan-red) saya yang gagal dan tidak bisa dipakai.” ujar seorang warga binaan. “Tapi ya saya buat terus aja, habis mau ngapain lagi.” Saya tercenung. Bagi para warga binaan, waktu mungkin adalah satu-satunya hal berlimpah yang mereka miliki.
Keterampilan yang tadinya seolah mustahil pun akhirnya bisa dikuasai jika dilakukan terus menerus. Hal itu setidaknya dialami oleh warga binaan sebut saja Andi, seorang napi berusia 20 tahunan yang menekuni keterampilan membuat berbagai miniatur dari koran bekas, sesuatu yang tak pernah terbayangkan untuk dilakukannya, juga tidak disukainya. Butuh lebih dari dua bulan baginya untuk menyelesaikan karya “miniatur kapal” pertamanya.
Namun, setelah itu berbagai karya ia hasilkan dengan lancar. Ia pun dengan bangga bisa memberikan hadiah kepada anggota keluarganya, hasil keterampilan tangannya sendiri. Menjalani tujuh tahun masa hukuman, itulah cara Andi memetik kegembiraan-kegembiraan kecil dari kehidupan di penjara. Mau tidak mau ia harus mencari kesibukan untuk mengikis kebosanan, agar masa hukuman yang panjang tak terasa lama dijalaninya.
Selain Andi, masih banyak warga binaan lain yang juga menjalani aktivitas kemandirian, seperti menanam sayur di kebun, mencukur rambut, membuat mebel, servis listrik, menjahit dan masih banyak lagi.
Saya telah berbincang dengan beberapa warga binaan di bengkel kerja lapas dan kebanyakan jawaban mereka serupa. Mereka sangat membutuhkan kegiatan untuk mengatasi kebosanan. Membunuh waktu. Mengalihkan diri dari pikiran buruk dan semacamnya. Warga binaan yang sudah mempergunakan waktu dan tenaga mereka secara produktif, tidak akan terpikirkan untuk bandel atau berbuat yang aneh-aneh, otomatis kehidupan di penjara juga jadi lebih aman.
Para warga binaan ini setengah mati membutuhkan sesuatu untuk dikerjakan yang syukur-syukur sesuai dengan minat dan bakat mereka. Kemungkinan untuk mendapatkan honor tentu saja membuat mereka bersemangat, tapi biasanya itu adalah prioritas yang kesekian untuk mereka.
Pembinaan ini selain membuat warga binaan lebih kreatif, juga dapat menghasilkan pundi-pundi pemasukan bagi ia sendiri. Sebab banyak dari mereka yang tak lagi punya keluarga di luar sana, ada juga yang masih punya keluarga namun keluarga mereka tak peduli dan tak pernah menjenguknya di dalam penjara. Nah, jalan satu-satunya yaitu dengan memanfaatkan bakat atau skill masing-masing. Semua fasilitas pembinaan sudah ada di dalam lapas, tinggal bagaimana mereka menggabungkan antara kemauan dan kemampuan sehingga tercipta barang ataupun jasa yang punya nilai uang.
Mengamati dan mendengarkan cerita kehidupan di penjara membuat saya berpikir, bekerja adalah cara terbaik untuk bertahan dan mempertahankan kewarasan. Para petugas adalah orang yang biasanya berjasa untuk mengajarkan berbagai keterampilan kepada para napi, selain para napi senior. Keterampilan tertentu biasanya diajarkan secara “turun-temurun” dari warga binaan senior kepada warga binaan yang datang kemudian. Akhirnya kita dapat menemukan produk tertentu menjadi ciri khas dari lapas tertentu.
Setiap lapas memiliki bengkel kerja, namun tidak setiap napi berkegiatan di sana. Ada tiga penyebabnya. Pertama, memang karena ada keterbatasan daya tampung dari bengkel kerja. Biasanya kapasitas ruang bengkel kerja adalah sepertiga dari kapasitas penjara normal. Padahal kita tahu, kelebihan penghuni selalu menjadi masalah lapas dan rutan di seluruh Indonesia.
Kedua, napi yang bisa beraktivitas di bengkel kerja biasanya mereka yang sudah terbukti berkelakuan baik. Blok sel atau tempat tinggal mereka pun khusus, terpisah dari napi lainnya. Ini memang disengaja untuk mempermudah pengawasan petugas. Para napi hanya boleh bekerja di bengkel kerja pada jadwal yang ditentukan yaitu rata-rata pukul 08.00 pagi hingga 16.00. Jika ingin membawa pekerjaan mereka yang belum selesai, mereka butuh mengajukan izin khusus kepada petugas karena artinya mereka mesti membawa beberapa peralatan ke dalam sel yang bisa saja disalahgunakan sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban.
Ketiga, dan ini yang menyedihkan, banyak warga binaan yang memang tidak berminat untuk melakukan kegiatan apa pun sehingga tidak tertarik untuk mendaftarkan diri di bengkel kerja. Dan jumlah mereka ternyata lebih besar.
“Ya, mereka ini sudah malas saja, sudah terbiasa nyaman nggak melakukan apa-apa, mereka juga berpikir, ngapain capek-capek, uangnya juga nggak seberapa.” ujar salah satu warga binaan sebut saja Agus yang menjadi tamping (tahanan pendamping) bengkel kerja di Rutan Nganjuk ini.
Ternyata kehidupan di penjara maupun di luar lapas sama saja, ada lebih banyak orang yang sepertinya begitu bingung akan tujuan hidupnya sehingga ia merasa nyaman dengan tidak melakukan apa-apa. Padahal bagi para napi yang mampu merampungkan karya, bagaimanapun itu merupakan suatu kebanggaan. Mereka boleh jadi mengawali keterampilan itu dengan setengah hati. Tapi, setelah rampung menjadi karya utuh tak urung terbitlah kepuasan tersendiri. Maka dari itu semua memang berawal dari keterpaksaan, namun jika ada kemauan akhirnya juga akan jadi kebiasaan. Semua memang berawal dari tertatih, namun jika diasah akhirnya akan menjadi terlatih.
Banyak dari mereka yang ketika keluar dari lapas, lebih produktif dari sebelumnya. Namun, tak sedikit juga yang mengulangi kesalahannya, dan kita tak bisa memungkiri itu. Sebagai petugas lapas, kami ibarat dokter yang menyembuhkan pasiennya. Masalah penyakitnya kambuh lagi atau tidak itu di luar kendali dokter. Kami hanya membina dan memberi bekal ketika mereka sedang sakit di dalam penjara. Ketika mereka sembuh, kita tak bisa memberi garansi mereka untuk tidak kambuh lagi.
BACA JUGA Kisah Asmara dari Asrama Penjara dan tulisan M Alvin Bahril lainnya.