Sebagai rakyat yang benar-benar diwakilkan secara hormat oleh wakil rakyat di Senayan, saya senang akhirnya Moeldoko angkat bicara. Bukannya membawa penjelasan yang akademik dan nalar, blio justru membawa keheranan. Nggak masalah, jajaran atas negara kita, sudah biasa membuat rakyat terheran-heran. Ya, itung-itung sekarang gantian. Walau herannya blio ini wagu.
Beginilah keheranan blio, “Wajah baru Indonesia adalah wajah rakyat. Wajah bahagia di mana kita punya harga diri, punya martabat.” Begitu katanya dalam siaran pers. Tanpa menjelaskan “rakyat”-nya ini untuk rakyat yang mana. Sungguh filsuf istana bijak bestari yang sedang berhadapan dengan para sofis seperti saya.
Nggak ada kata lain selain kagum. UU Cipta Kerja yang dibangun oleh wakil rakyat itu, dibilang sebagai wajah harga diri dan menjadikan kita punya martabat. Saat menulis ini, saya sedang tepuk tangan. Indonesia nggak pernah kehabisan orang-orang bijak. Saking bijaknya, sampai mengarah ke hal yang amat lucu.
Sekaliber Kepala Staf Kepresidenan, keheranannya ini pasti membawa arti. Kan sejak jaman dahulu, kebanyakan filsuf harus heran terlebih dahulu agar mendapat buah pikir yang lebih baik dan maju. Moeldoko pun seperti itu. Blio adalah sosok filsuf istana. Moeldoko heran, maka Moeldoko ada. Kiranya seperti itu.
Banyak narasi yang mengatakan bahwa kandungan isi UU Cipta Kerja ini hanya menguntungkan para cukong. Sebagai buruh, ya hanya bisa kempat-kempot manut sama yang di atas, si pemberi kebijakan. Rakyat berduit, menindas rakyat pekerja. Sama-sama rakyat, namun beda secara harfiah. “Rakyat” dengan tanda petik dan rakyat dengan pentung. Bukan, bukan tanda pentung, tapi pentung saja. Rakyat yang dipentung oleh kenyataan sekaligus aparat.
Saking ngefans-nya sama argumen mbois blio, saya bahkan sampai ikutan heran. Gimana nggak heran lha wong keluarga blio, sanak famili blio, tetangga blio, orang-orang baik di sekitar kehidupan blio, itu adalah rakyat lho. Kok ya bisa gitu lho nggak melihat UU Cipta Kerja secara utuh. Nggak mungkin kan keluarga blio ini “rakyat” dengan tanda kutip semua.
Jabatan yang diduduki sekarang, nggak bakal berlangsung lama. Setidaknya ya dalam tempo lima tahun saja. Apa ya mau di hari tua kelak, baru merasakan imbas dari apa yang sedang Anda upayakan. Rakyat, buruh, dan mahasiswa yang demo itu nggak bisa membalas apa-apa, tetapi alam semesta dapat. Anda percaya itu? Seorang filsuf istana yang kondang, pasti sependapat dengan saya.
Kalau sependapat bahwa alam dapat membalas, kok malah mendukung rancangan aturan yang diam-diam dan mak bedunduk itu, ya? Begitulah filsuf yang ulung. Sungguh keren bukan main, bikin semua terheran-heran.
Keheranan saya yang disebabkan dari Moeldoko yang terheran-heran ini nggak sampai sini saja. Blio bahkan melanjutkan begini, “Kita mengupayakan adanya jaminan lebih baik tentang pekerjaan, jaminan pendapatan lebih baik, dan jaminan lebih baik bidang sosial. Itu poin yang penting.” Bijimana? Mencerminkan sebagai sosok Kepala Staf Kepresidenan banget, kan? Kurang Kepala Staf Kepresidenan apalagi, coba?
Yang bikin saya heran itu begini, blio ini Kepala Staf Kepresidenan kan, ya? Sebuah jabatan yang nggak main-main. Tapi, kok statement menjelaskan dampak baik dari UU Cipta Kerja sama saja seperti artis-artis yang kemarin disewa itu, ya?
Bahkan penjelasannya hampir sama dengan Mbak Gritte yang videonya belagak sinematik itu. Atau si bakul burger, Gofar Hilman, anak—yang katanya—punk, tapi malah mendukung UU yang memberatkan kelas pekerja. Dalihnya nggak kalah bikin heran, saat nerima job nggak dikaji dulu. Ada apa sih dengan mereka? Bikin saya terheran-heran terus.
Tapi, Moeldoko ada benarnya. Ditinjau dari kata lanjutan yang entah akan bikin heran atau sedih. Begini, “Mau diajak bahagia saja kok susah amat!” Duh, Gusti, ngajak bahagia dua biji lu mletak! Nggak ada ceritanya ngajak bahagia tapi main kucing-kucingan.
Dalam hubungan saja nih ya, kalau salah satu pihak bikin aturan tanpa konfirmasi, itu sudah masuk kategori toksik, apalagi masalah UU. Sebuah hal yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Kan nggak lucu negara dan rakyat terlibat hubungan yang toksik.
Eh, tapi begini. Saya mencoba adil. Saya membayangkan saat ini sedang duduk di sofa empuk, ruangan berpendingin, bau parfum ruangan yang tentunya bukan Stella rasa jeruk, di meja ada apel dan buah naga. Terus saya memejamkan mata, menikmati apa yang ada. UU Cipta Kerja akan menjadi sebuah kebaikan. Nggak ada cela sama sekali.
Lantas dengan segala yang saya miliki ini, saya menyalakan televisi. Melihat berita yang isinya para demonstran yang berorasi, berteriak, bahkan menangis. Saya pun tertawa. Kembali memakan apel dan kemudian nyeletuk, “Mau diajak bahagia saja kok susah amat!”
Bakal jeleh nggak, Moel, makan janji sok baik di awal kontestasi dan dusta setelah pilkada? Tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, lantas setelah kami cerdas dalam hal menimang mana yang baik dan mana yang buruk, kenapa kami dibilang bikin heran, Moel?
Nah, jika sudah, coba gantian Moeldoko yang ada di posisi rakyat tanpa tanda kutip. Rakyat yang belum tahu esok bakal makan apa, orang tua buruh serabutan, ikut demo dibilang biang kerusuhan, dibayar dengan upah di bawah standar, cuti sama saja PHK, atau begini, tiap hari dicekoki janji-janji yang sudah lama mati dan kini membusuk.
Gimana? Membayangkan saja sudah ngeri, kan? Ah, sudahlah, kamu nggak akan kuat. Biar rakyat tanpa tanda kutip saja. Tugasmu hanya satu, terheran-heran dengan sesuatu yang seharusnya masyarakat lah yang heran.
BACA JUGA Boruto Beli Gacha Melulu, Uang Sakunya Emang Berapa, sih? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.