#2 Nasi pecel pakai tempe busuk, beda sama Mojokerto
Nah, dari deretan makanan tadi, jangan sampai kalian nggak mencoba makanan khas Kediri, yaitu nasi pecel dengan tambahan tempe busuk. Bukan saya menghina atau apa, sebab memang begitu faktanya.
Saya masih ingat, saat itu saya membelinya di Jalan Dhoho. Saya sempat bertanya pada penjualnya yang pada saat itu adalah ibu-ibu, “Buk, ngapunten, ini bedanya pecel biasa sama pecel tumpang apa, njih?”
Si ibu menjawab dengan jelas, “Kalau pecel biasa, ya cuma pakai sambal pecel biasa, tapi kalau pecel tumpang, ditambahi pakai sambal berbahan dasar tempe busuk yang sudah diolah pakai rempah-rempah.”
Sebagai orang yang kali pertama mendengar, tentu saja saya kaget campur gamang. Kegamangan saya bukan karena soal kesehatan, melainkan bagaimana rasanya nasi pecel dengan tempe busuk.
Tapi ternyata, rasanya di luar dugaan. Saya menyukai nasi pecel tumpang khas Kediri yang gurih dan pedas. Bahkan porsinya cukup memukau, harganya terjangkau. Dan tanpa mengurangi rasa hormat, nasi pecel tumpang ini secara rasa dan harga jauh berbeda jika dibandingkan dengan pecel biasa di Mojokerto.
#3 Guyonan sarkasnya mahal bener
Soal biaya hidup dan makanan boleh murah, tapi guyonan di Kediri ternyata mahal. Guyonan sarkas atau guyonan dengan kata-kata pedas itu mahal di sini.
Sebagai arek Mojokerto tulen, saya beberapa kali sempat dibikin kaget campur malu ketika melempar guyonan sarkas. Seperti misalnya, “matamu picek”, “arek koyok asu”, “ndasmu”, sampai “raimu koyok silit”. Waktu melempar guyonan seperti itu, anak-anak Kediri malah heran sambil bilang, “Kamu lagi emosi?”
Memang masih ada yang bisa menangkap guyonan itu, tapi percayalah, rata-rata di sana ciri khas guyonannya amat sangat lemah lembut. Bahkan, saya sendiri sampai sekarang kadang masih nggak tahu pasti, apakah mereka sedang guyon, atau sedang bercakap-cakap biasa. Yang saya tahu pasti itu adalah kata “nggatheli.” Itu pun saya kira sudah yang paling radikal dan jarang diucapkan.
Tapi, di balik itu semua, bukan berarti kita kemudian merendahkan mereka. Sebagai orang yang merantau, tetap harus menghargai budaya. Dan yang lebih pentingnya lagi, semua yang saya paparkan tadi semoga bisa jadi persiapan agar ketika hidup di Kediri, kita nggak sampai kaget-kaget amat.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mengubah Slogan “Kediri Lagi” Menjadi “Kediri Berbudaya” Adalah Blunder Pemkab