Sebagai anak muda di pelosok desa yang rajin pencitraan di hadapan Pak RW, saya sering diajak diskusi pemangku wilayah saya itu. Malam minggu kemarin, di salah satu angkringan sebelah barat alun-alun kota Wonosari, saya mendapat kepercayaan untuk menyampaikan gagasan-gagasan terkait fenomena yang sedang terjadi dengan pemuda desa akhir zaman ini, yakni tradisi kerja bakti.
Hal ini berangkat dari keresahan Pak RW mengenai tradisi kerja bakti yang semakin hari semakin tidak diminati oleh masyarakat, wabil khusus kawula muda. Pak RW merasa prihatin lantaran program kerja bakti dua minggu sekali miliknya, jauh dari partisipasi kawula muda. Btw, memang benar kaum milenial cenderung tidak minat dengan kegiatan ini?
Banyak orang beranggapan bahwa tradisi gotong royong di era digital seperti sekarang nyaris final. Jangankan ikut gotong royong di lingkungan sekitar, lha wong, sekadar beli gorengan lima biji di seberang jalan, yang jaraknya kurang dari 50 meter saja, kini manusia pakai jasa ojek online.
Tak bisa dimungkiri, kita melihat banyak orang yang seolah sibuk dengan urusannya masing-masing. Proses terjadinya sikap bodo amat yang dilakukan secara massal oleh kaum milenial saat ini, kemungkinan besar dipicu oleh faktor-faktor dari dalam dan luar diri manusia itu sendiri. Setidaknya, ada tiga poin penting yang saya sampaikan kepada Pak RT terkait penyebab anak muda enggan kerja bakti.
#1 Media sosial
Lagi dan lagi, media osial disalahkan. Bagaimana tidak, hawong kenyataannya begitu. Derasnya arus informasi media sosial seperti sekarang, membuat manusia bisa mengakses berbagai macam kabar berita dari berbagai penjuru dunia. Akibatnya, seseorang tidak mampu lagi menyaring arus lalu lintas informasi. Hal inilah yang kemudian akan menyebabkan gangguan kebingungan.
Gangguan kebingungan ini membuat seseorang seolah merasa paling sibuk sedunia dan mudah goyah tanpa pendirian. Padahal, ya, tidak ngapa-ngapain, tapi pokoknya merasa sibuk aja gitu.
Dengan adanya perasaan “merasa paling sibuk” ini, akan muncul suatu paham “lelah” yang diam-diam menjerat tubuhnya. Maka dari itu, orang tidak lagi sempat untuk peduli dengan lingkungan karena kelelahan-kelelahan yang sebenarnya fana.
#2 Rebahan culture
Rebahan yang saat ini sedang hits di kalangan kawula muda, juga sering disalahartikan. Akhirnya, ada tuduhan budaya ini menjadi biang kerok bagi rusuhnya sistem integrasi sosial di masyarakat. Bayangkan, ketika Pak RW share info via toa masjid mengajak kaum muda untuk kerja bakti di lingkungan sekitar, semua orang pura-pura gila. Cukup dengan hashtag rebahan, mampu menggerakkan setiap jiwa untuk malas-malasan secara berjamaah.
#3 Kerja bakti itu tidak indie
Beberapa kaum muda kadang menggunakan konsep out of the box yang salah alamat. Misalnya quote, “Jadilah pohon kelapa di tengah padang pasir yang begitu luas, sebab apabila kamu cuma menjadi butiran pasir, saat kamu pergi tak satu pun orang yang akan mencari kamu.” Nah, dengan quote ini, mereka mencoba untuk mengejawantahkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menganggap tidak ikut kerja bakti dengan warga sekitar adalah kegiatan kritis menantang arus yang anti-mainstream. Jelas, ini peristiwa gagal paham yang nyaris paripurna.
#4 Kerja bakti tanpa wedangan
Nah, ini yang menjadi masalah utama, per-wedang-an. Tanpa logistik, semua menjadi tidak logis. Tanpa wedang, kerja bakti tidak akan pernah jalan. Jadi, monggo Pak RT seluruh dunia, kalau masyarakat kerja bakti itu mbok dikasih wedang.
Namanya orang hidup itu, ya, butuh makan. Masak sih, tiap kali kerja bakti, blas nggak dikasih wedang? Dipikir kerja rodi apa gimana ini, Pak RW?
Sungguh membahas persoalan-persoalan muda mudi masa kini cukup membuat lapar. Akhirnya, sekitar pukul sebelas malam, saya dan Pak RT memutuskan untuk pulang, agar paginya tidak bangun kesiangan (baca: sebab ada agenda kerja bakti).
Pagi hari mentari bersinar lumayan terang, saat saya bangun dan membuka mata, ternyata matahari sudah tepat di atas kepala. Ya, hari telah siang dan kerja bakti di desa saya sudah selesai. Sengaja, sih, bentuk pemberontakan terhadap sistem kolonialisme.
BACA JUGA 7 Tipe Orang yang Selalu Ada Saat Kerja Bakti dan tulisan Jevi Adhi Nugraha lainnya.