Saya pernah iseng datang dan bertanya soal harga rumah tipe 27 dan 36 pada seorang kawan. Ia merupakan anak seorang pengusaha properti. Tentu hanya iseng, saat itu duit belum pegang dan penghasilan belum menentu, mirip seperti sekarang ini. Saat itu, rumah kecil yang hanya punya jendela di bagian depan rumah dan halaman super sempit, dibandrol hampir Rp400 juta. Sangat membagongkan. Maka saya menelusuri forum jual beli tanah, masih iseng karena memang duit belum ada. Semua iklan dan penawaran rumah minimalis itu, menggunakan embel-embel “cocok untuk milenial”.
Saat saya tanyakan ke kawan saya tadi, ia pun membenarkan jika ada fenomena semacam itu. Hampir semua iklan perumahan tipe 27 atau 36, mencantumkan pernyataan jika para milenial suka dan punya kecenderungan memilih rumah kecil dan minimalis (baca: sempit).
Sebentar, memangnya mereka pernah nanya langsung ke para milenial? Mungkin memang ada yang suka tinggal di rumah yang jendelanya cuma ada di depan dan belakang rumah (itu pun kalau ada). Tak perlu punya halaman dan tak suka menanam pohon. Namun, kalau boleh memilih, saya juga maunya rumah yang besar atau rumah yang sehat dengan banyak jendela dan berhalaman luas.
Lalu, kenapa banyak milenial yang membeli rumah minimalis dan sempit itu? Ya, karena memang nggak mampu buat beli tanah atau rumah yang besar. Apalagi yang tinggal di perkotaan, seperti Jogja misalnya. Yang anehnya (sebenarnya bosan bahas ini terus), harga tanahnya lebih mahal berkali-kali lipat dibanding daerah saya, kabupaten Magelang. Padahal, UMR Kabupaten Magelang jauh lebih tinggi dari UMR Jogja. Untung saya orang Magelang dan tak terpaksa harus tinggal di Jogja, apalagi Jakarta.
Meski tanah di tempat saya lebih murah daripada Jogja, buat saya harganya tetap mahal. Apalagi tanah di daerah tempat tinggal orang tua saya, yang sudah masuk wilayah agak kota. Harganya sudah lumayan, tanah di samping jalan utama, harga per meternya bisa bikin sakit kepala. Kalau beli di tanah kavling atau perumahan rakyat, tentu sudah lebih mahal.
Pilihan terbaik adalah beli tanah yang jauh dari jalan raya, atau di tengah kampung. Dan benar saja, harganya jauh lebih murah. Dengan seratus juta, sudah bisa dapat tanah yang cukup untuk bangun rumah sehat dengan halaman depan, belakang, serta jalan samping. Meski tetap saja berhalaman mepet, setidaknya punya banyak jendela dan sirkulasi udara yang baik. Sayangnya, tak semua milenial punya kesempatan yang semacam itu.
Banyak kawan saya yang belum punya rumah sendiri, bahkan sudah berkeluarga. Meski sebagian dari mereka tinggal di desa, tak semua orang mampu beli tanah, angka putus sekolah saja masih tinggi. Yang beruntung, biasanya dapat warisan tanah atau rumah, bahkan bisa digunakan untuk mengajukan pinjaman modal usaha. Di kampung yang saya tinggali, sawah dan tanah-tanah kosong, kebanyakan sudah bukan punya warga asli kampung lagi.
Banyak warga kota yang mencari tanah di kampung, biar murah. Sawahnya sudah banyak yang beralih fungsi jadi kafe dan rumah bergaya minimalis. Mencari tanah untuk tempat tinggal, nyatanya tak semudah itu bagi milenial. Baik di desa, apalagi di kota.
Memiliki rumah yang sesuai keinginan itu berat dan tak murah. Ironi yang sayangnya tak dipahami oleh semua orang. Selain harus ngirit, memang harus penuh pengorbanan. Jangankan umur 40 tahun harus sudah punya rumah, wong banyak yang umur 40 masih tinggal sama orang tuanya. Bahkan, satu rumah diisi lebih dari dua keluarga. Sebaiknya, mitos soal milenial yang lebih suka rumah kecil dan sempit, dibuang saja. Kalau boleh memilih, saya juga pengin pindah ke rumah yang yahud di tanah luas, seperti kebanyakan orang lain. Tapi, realistis kadang hukumnya wajib. Ngisi kuota internet aja masih sering ngutang!
BACA JUGA Tips Beli Rumah biar Nggak Tertipu Harga Murah dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.