Saya orang Lamongan, tapi mulai familiar dengan kuliner Mojokerto. Maklum saja, belum lama ini saya menikah dengan orang asli sana. Alhasil, saya mulai beradaptasi dengan banyak hal, salah satunya soal makanan. Dan, salah satu makanan yang paling sering muncul di tongkrongan orang Mojokerto adalah onde-onde.
Onde-onde Mojokerto ibarat bakpia Jogja, camilan yang cocok hampir di semua lidah sehingga cocok dijadikan oleh-oleh. Selain itu, onde-onde dan bakpia sama-sama berakar dari kuliner etnis Tionghoa. Perbedaannya, bakpia Jogja sudah begitu populer, sementara onde-onde Mojokerto masih tampak “malu-malu” menunjukkan eksistensinya.
Padahal, bagi orang Mojokerto, onde-onde bukan sekadar camilan yang menggoyang lidah, tapi juga identitas. Onde-onde bak simbol kota. Tidak heran kalau begitu banyak toko oleh-oleh yang berlomba-lomba klaim “Onde-onde kami paling asli”.
Nah, dari sekian banyak onde-onde yang ada di Mojokerto, ada dua nama yang layak dilirik. Bukan hanya karena rasanya, tapi juga karena sejarah dan eksperimen yang mereka bawa.
Bo Liem, onde-onde Mojokerto legendaris di Jalan Empunala
Ini onde-onde legendaris. Sudah ada sejak 1929 dan kini sudah masuk generasi ketiga. Seperti namanya, lokasi toko ini ada di Jalan Empunala. Toko kecil, tapi selalu ramai. Baunya itu lho, menggoda iman dan ketahanan diet siapa saja yang lewat.
Bo Liem sendiri adalah nama pendirinya toko yang kini jadikan merek dagang. Teksturnya yang renyah di luar, lembut begitu disukai banyak orang. Rasanya manis, tapi nggak nyegrak. Makan satu rasanya kurang, makan tiga merasa berdosa.
Soal harga, onde-onde satu ini memang agak mewah. Untuk varian original dibanderol Rp63 ribu, sedangkan varian dengan rasa-rasa lain dihargai Rp68 ribu per kotak.
Bisa dibilang, Bo Liem adalah kasta tertinggi onde-onde Mojokerto. Semacam Bakpia 25 di Jogja. Teksturnya renyah di luar, lembut di dalam. Rasanya manis, tapi nggak nyegrak. Makan satu rasanya kurang, makan tiga merasa berdosa.
Onde-onde Telo “Gapuro”
Onde-onde yang satu ini sedikit berbeda aliran. Kalau Bo Liem bermain di jalur klasik dan mempertahankan kodrat onde-onde, Gapuro datang dengan semangat eksperimental. Onde-onde ini berbahan dasar telo alias ubi. Alhasil, teksturnya lebih empuk dan rasa manisnya lebih alami.
Bagi puritan onde-onde, mungkin Gapuro ini bisa dianggap “berkhianat”. Tapi, jujur saja, rasanya enak. Ubinya terasa lembut, aromanya khas, dan saat digigit masih terasa nuansa onde-onde yang tidak dipaksakan. Jadi, walau agak menyalahi kodrat, onde-onde telo gaputro masih bisa dimaafkan.
Buat yang suka jajanan empuk, ini bisa jadi alternatif menarik dari onde-onde yang biasa dipasarkan. Toko Gapuro ini ada di daerah Surodinawan. Pabriknya ada di sekitar Sooko, dekat MAN 2 Mojokerto. Di akhir pekan, tokonya cukup ramai.
Jadi, mana yang layak dibeli?
Kalau kamu tipikal orang yang suka menjaga kemurnian rasa asli, maka Bo Liem jawabannya. Tapi, kalau kamu doyan inovasi dan ingin mencoba sesuatu yang beda, Gapuro bisa jadi pilihan.
Tentu masih banyak onde-onde lain di Mojokerto. Tapi, sejauh ini, dua ini yang paling menonjol. Yang satu berdiri dari masa lalu, yang satu berdiri dari rasa penasaran. Sama-sama layak dicoba. Sama-sama bikin senyum tipis setelah suapan pertama.
Menikah dengan orang Mojokerto bukan cuma tentang mengikat tali asmara, tapi juga memperluas wawasan jajanan, wabil khusus onde-onde. Sebab, selain menggoyang lidah, camilan satu ini juga menjadi identitas dan perekat kehidupan sosial warga Mojokerto.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
