Solo dan Jogja. Dua nama kota yang seperti saudara kembar, tapi karakternya beda. Sama-sama punya keraton, sama-sama lahir dari sejarah Mataram Islam, sama-sama dikenal santun dan berbudaya. Wajar kalau keduanya sering dibandingkan. Tapi yang sering jadi persoalan bukan soal membandingkan, tapi bagaimana membandingkannya.
Masalahnya, yang sering terjadi bukan perbandingan Kota Surakarta dengan Kota Yogyakarta, melainkan Solo dengan seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tentu saja Solo akan tampak “kalah lengkap”. Masa kota disandingkan dengan satu provinsi beserta empat kabupaten dan satu kota? Ya otomatis tidak apple to apple.
Biasanya, perbandingan ini muncul di postingan-postingan yang menyangkut dua kota ini di media sosial. Bisa berupa konten prestasi kota, konten kebudayaan, atau kadang cuma sekadar konten kuliner dan pariwisata. Tapi ujung-ujungnya selalu ada yang nyeletuk perkara pantai, gunung, dan destinasi wisata alam. Ya, tetap saja pembahasannya itu-itu lagi.
“Solo punya pantai nggak?”
Sayangnya, dari komentar-komentar tersebut, biasanya akan muncul narasi seperti, “Solo punya pantai nggak? Jogja dong punya Parangtritis,” atau, “Solo mana punya gunung? Jogja punya Merapi.” Padahal pantai itu adanya di Bantul atau Gunungkidul, dan Merapi adanya di Sleman. Semuanya memang masuk di wilayah DIY, tapi bukan Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta sendiri, seperti halnya Kota Surakarta, ya tidak punya pantai dan tidak punya gunung.
Nah, kalau mau dibandingkan dengan Solo Raya, itu baru fair. Karena daerah itu mencakup Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, dan Sragen. Baru terasa seimbang kalau disandingkan dengan DIY. Solo Raya punya tiga gunung sekaligus yakni Merapi, Merbabu, dan Lawu yang mengapit dari barat dan timur. Bahkan punya waduk yang besar di Wonogiri, Waduk Gajah Mungkur, lengkap dengan pantainya di ujung selatan Wonogiri meskipun kecil.
Jadi, kalau konteksnya wilayah, Solo Raya pun tidak kalah kaya secara lanskap alam.
Baca halaman selanjutnya




















