Beberapa hari lalu ada tulisan menarik dari Mas Adi Sutakwa terkait kembalinya Masashi Kishimoto sensei sebagai mangaka Boruto dan nasib buruk yang bakal menimpa karakter perempuan di dalamnya. Dari tulisan tersebut, ada kesan banyak mangaka enggan menulis cerita dengan karakter perempuan kuat dan multidimensional. Salah satunya adalah manga Naruto yang memaksa mayoritas ninja perempuannya menjadi ibu rumah tangga alias sindrom Dragon Ball. Di Dragon Ball, banyak petarung perempuan yang disajikan sebagai karakter badass di awal serial, akhirannya cuma berakhir jadi ibu rumah tangga.
Namun, yang jadi pertanyaan, kenapa industri manga memilih rute masa depan suram dalam menampilkan karakter perempuannya? Setelah kita lihat, ternyata banyak manga dengan model karakter perempuan seperti ini condong ditemukan pada demografi majalah shonen. Pakem industri manga sendiri awalnya membagi jenis manga berdasarkan demografi pembaca majalah tempat serial tersebut terbit. Ada empat klasifikasi demografi majalah manga yaitu shonen (remaja laki-laki), seinen (pria dewasa), shoujo (remaja perempuan), josei (wanita dewasa).
Alasan majalah shonen salah satu paling bermasalah dalam menulis karakter perempuannya adalah karena mereka nggak punya editor perempuan. Di tahun 2020 seperti ini, banyak perusahaan majalah Shonen raksasa seperti Shueisha masih ogah mempekerjakan editor perempuan. Bahkan salah satu berita kontroversial tentang Shueisha setahun terakhir, selain Nobuhiro Watsuki dipekerjakan kembali oleh Shonen Jump setelah tertangkap mengoleksi pornografi anak adalah fakta bahwa belum ada editor perempuan sepanjang 50 tahun sejarah Shonen Jump.
Dalam salah satu seminar terkait profesi editor manga di suatu universitas, salah satu pembicara menjawab pertanyaan peserta soal apakah perempuan bisa menjadi editor Shonen Jump. Pertanyaan tersebut dibalas dengan jawaban bahwa bisa tetapi Anda harus mengerti perasaan para laki-laki seperti dilansir Huffington Post. Jawaban seksis ini menjadi lucu karena sepertinya Shueisha lebih berat hati mempekerjakan editor perempuan. Celakanya, Shueisha mempekerjakan kembali tiga predator seksual (Shimabukuro, Watsuki , dan Matsuki) yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Tentunya pernyataan bahwa perempuan harus bisa mengerti perasaan pria kalau mau jadi editor majalah Shonen adalah argumen omong kosong. Banyak mangaka shonen sukses dan ternama adalah perempuan termasuk yang serialnya diterbitkan oleh Shueisha. Sebut saja Katsura Hoshino (D.Gray-man), Akira Amano (Katekyo Hitman Reborn), Kazue Kato (Blue Exorcist), dan terbaru Gege Akutami (Jujutsu Kaisen). Jika perempuan tidak mengerti perasaan pembaca laki-laki, kenapa Shueisha menerbitkan manga Shonen karya perempuan?
Terus, apakah memang betul mayoritas pembaca Shonen Jump itu remaja laki-laki? Menurut survei Oricon, Shonen Jump adalah manga pilihan nomor satu pembaca perempuan Jepang, bahkan di atas majalah Shojo. Survei lebih mengejutkan dari Nikkei menyatakan bahwa setengah pembaca Shonen Jump itu perempuan. Manga seperti Haikyuu!, Gintama, Katekyo Hitman Reborn, Kuroko no Basuke, dan One Piece ternyata adalah serial yang populer di kalangan pembaca perempuan.
Dalam hal ini, masalah kebutuhan editor perempuan di majalah Shonen Jump bukan lagi masalah representasi tapi juga masalah sensitivitas dalam membuat cerita. Hiromu Arakawa, mangaka shonen legendaris ini pernah mengeluh kesulitan menghadapi editor pria di awal penulisan Full Metal Alchemist. Arakawa bilang bahwa dia ingin menghadirkan Winry Rockbell lebih cepat untuk mengimbangi dominasi karakter pria di awal cerita, tetapi usul itu ditolak oleh editornya. Full Metal Alchemist juga terkenal karena banyaknya karakter perempuan kuat dan multidimensional seperti Olivier Mira Armstrong dan Riza Hawkeye. Kedua karakter ini ada bukan hanya ada sebagai beban atau calon ibu rumah tangga, tetapi sebagai partner setara dan bahkan pelindung karakter pria di dalam Full Metal Alchemist.
Di lain pihak, banyak manga shonen yang ditulis atau digambar perempuan mulai memutuskan untuk membuat karakter utama perempuan sebagai fokus utama. Dalam hal ini ada Kore Yamazaki (The Ancient Magus Bride), Posuka Demizu (The Promised Neverland), dan duo Adachitoka (Noragami). Ini menunjukkan ada usaha untuk memenuhi ekspektasi makin beragamnya pembaca Shonen terhadap karakter perempuan yang bukan cuma pemanis mata.
Menaruh editor perempuan pada majalah yang secara tradisional fokus kepada pembaca pria juga bukan suatu upaya mengurangi kelaki-lakian majalah tersebut. Majalah Shoujo dan Josei sudah punya tradisi lama mempekerjakan editor pria walaupun target demografi majalah tersebut adalah untuk perempuan. Makanya jangan kaget manga Shoujo seperti Cardcaptor Sakura karya Clamp atau Josei seperti Kids on the Slope karya Yuki Kodama punya karakter pria yang sama kuat dari segi fokus dan karakterisasi dengan partner perempuannya. Bahkan serial Shojo seperti Banana Fish besutan Akimi Yoshida dan Josei Showa Genroku Rakugo Shinjuu oleh Haruko Kumota diisi mayoritas karakter pria dewasa. Akhirnya banyak orang salah kaprah bahwa kedua manga terakhir adalah serial seinen untuk pria dewasa.
Saya sebagai pembaca pria pun merasa demografi manga yang ditentukan oleh gender sudah kuno. Salah satu serial manga dewasa favorit saya adalah Showa Genroku Rakugo Shinju karya Haruko Kumota. Cerita serius soal jatuh bangunnya Yakumo, seniman tradisional Jepang melawan arus zaman ini bisa dinikmati oleh pria pecinta manga seinen walaupun ditulis oleh perempuan.
Sedangkan manga Shonen sedang terbit favorit saya saat ini adalah Noragami karya duo perempuan Adachitoka. Walaupun Yato bisa dibilang lead character dari serial ini, Noragami diceritakan sepenuhnya dari perspektif Hiyori sebagai perempuan. Bahkan karakter Hiyori bisa dibilang melabrak cliche dengan ditampilkan sebagai penggemar pro wrestling walaupun punya tampilan feminin.
Kayanya pembaca manga Shonen sekarang sudah tidak bisa menerima sindrom Dragon Ball sebagai bagian dari cerita atau karakter model seperti Misa Amane dari Death Note. Apalagi jika industri manga dan anime memang mau menembus pasar Amerika Serikat dan Eropa. Menaruh editor perempuan pada majalah Shonen adalah solusi untuk mendorong mangaka membuat karakter perempuan multidimensional dan memberikan kebebasan lebih pada mangaka perempuan. Udah nggak zaman karakter beban doang model Sakura atau fan service semata seperti Misa.
Sumber gambar: Twitter Simptodoroki.
BACA JUGA 3 Film Korea tentang Kesenjangan Sosial selain Parasite dan tulisan lainnya dari Raynal Arrung Bua.