Dulunya, topik obrolan hanya tentang mau travelling ke mana? Kafe mana yang akan dikunjungi? Mau beli sneakers yang harga berapa? Dan obrolan ringan lainnya. Namun, topik obrolan sekarang terasa sangat berat. Halal, haram, benar, dan salah selalu menghiasi topik pembicaraan. Apa yang sebenarnya berubah?
“Kamu jangan nonton drama Korea lagi, jangan unggah foto kamu, jangan deket-deket sama cowok,” kata Susi, teman lama Romlah yang pagi itu berkunjung ke rumahnya.
Susi adalah teman Romlah ketika duduk di bangku SMP dan SMA. Orangnya biasa, tidak begitu paham ilmu agama, dan bukan alumni pondok pesantren. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Susi berkunjung ke rumah Romlah. Sesampainya di rumah Romlah, Susi malah melarang banyak hal. Ya mbok salam dulu gitu.
“Maksudnya ini gimana ya Sus, biasanya juga nggak masalah kalau saya nonton drama Korea, upload foto, deket cowok gitu, kok tiba-tiba semua nggak boleh?” Kata Romlah penuh tanya.
“Jadi gini, belakangan ini saya ikut kajian di kampung seberang. Sudah hampir sebulan saya ikut kajian itu. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari kajian itu. Nah, kebetulan kemarin itu tema kajiannya tentang wanita. Haram upload foto, haram nonton drama Korea, haram berpacaran. Saya mengangguk-angguk ketika mendengar ceramah ustaz. Sejak awal, saya setuju dengan ustaz itu, beliau selalu mengaitkan sebuah hukum dengan contoh masa kini,” jawab Susi.
Romlah tidak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan Susi. Dia masih meyakinkan dirinya, apakah yang ditemuinya itu Susi teman lamanya atau bukan? Bagaimana Romlah tidak heran, teman lamanya sekarang ngobrolnya tentang halal haram.
Romlah tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Kalau menyalahkan ajaran Susi, Romlah juga belum tentu benar. Tapi kalau mau percaya Susi, terlalu ekstrem buat Romlah. Gimana nggak ekstrem? Romlah pernah mengikuti ngaji pasanan (ngaji hanya di bulan Ramadan selama satu bulan penuh) di sebuah pondok pesantren. Selama ngaji, tidak pernah dia mendengar larangan-larangan yang disebutkan Susi.
“Bentar Sus, kok saya baru tahu ya ada larangan-larangan seperti itu.”
“Nah, justru karena itu saya langsung ingat kamu. Alasan saya ke sini ya mau ngasih tahu kamu, saya tidak mau teman saya terjerumus pada hal-hal haram. Saya tidak ingin kamu ikut-ikutan orang luar yang bebas. Ngakunya Islam, tapi masih berbuat hal-hal yang haram. Mending ikut kajian sama saya aja Rom. Udah pasti nanti selamat dunia akhirat,” kata Susi meyakinkan.
Romlah semakin kaget. Dia mencemaskan “ilmu” yang dimiliki Susi. Romlah ingin menegur Susi tapi tidak tahu caranya. Kemudian, dia mengingat pernah mendengar ngaji Ihya’ Ulumiddin bersama Gus Ulil.
Romlah ingat pembahasan tentang akhlaq dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali. Gus Ulil menyebutkan Imam Ghazali selalu mengaitkan antara pengetahuan “makrifah” dengan mencintai “mahabbah”.
Keterkaitan itu terlihat dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kecintaan kita terhadap Tuhan adalah awal bagaimana kita mencintai-Nya. Tanpa pengetahuan yang tepat tentang Tuhan, rasanya sulit untuk kita bisa mencintai Tuhan.
Setelah memiliki bekal untuk memulai sanggahan. Romlah mengajak Susi untuk membuat es sirup bersama. Biar suasananya nggak semakin panas.
Romlah memulai obrolan.
“Sus, rumah nenekmu di Yogyakarta, kan?”
“Iya, kenapa?”
“Kalau ke Yogyakarta kamu naik apa?”
“Kadang naik kereta, kadang naik sepeda, kadang naik mobil, ya tergantung mood.”
“Mau ke Yogyakarta aja sarananya banyak ya Sus.”
“Udah lama Rom, kalau ke Yogyakarta bisa naik apa aja. Naik pesawat pun bisa kalau kamu mau”, kata Susi sembari minum es sirup buatannya.
“Nah, jadi gini Sus. Semisal kamu mau ke Yogyakarta. Berarti tujuanmu sampai di Yogyakarta dengan selamat kan?” Tanya Romlah.
“Iya, terus?” Jawab Susi santai.
“Yang mau ke Yogyakarta bukan cuma kamu saja. Banyak orang ingin ke sana. Tujuan mereka dan kamu sama. Sama-sama ingin sampai di Yogyakarta dengan selamat. Tapi apakah mereka dan kamu menaiki transportasi yang sama? Apakah sarana yang kalian pilih sama?” Tanya Romlah.
Susi berhenti minum es sirup dan memandang Romlah dengan serius.
“Iya, pasti beda lah, mereka kan orang lain. Yang pergi ke Yogyakarta juga bukan satu orang tapi banyak. Kalau pergi ke Yogyakarta naik transportasi yang sama pasti hanya beberapa orang, nggak semuanya satu tujuan ke Yogyakarta naik transportasi yang sama. Terus buat apa sarana transportasi banyak diciptakan kalau ujung-ujungnya hanya satu transportasi yang digunakan?” jawab Susi.
Romlah tersenyum mendengar jawaban Susi, kemudian minum es sirup nya yang mulai mencair. Susi bingung dengan mimik wajah yang ditunjukkan Romlah.
Romlah lalu menjawab singkat, “Nah, itu tahu.”
Susi semakin bingung dengan jawaban singkat yang dilontarkan Romlah. “Maksudnya gimana Rom?” tanya Susi heran. Romlah kembali tersenyum.
Kemudian dia menjelaskan kepada Susi. “Coba ibaratkan Yogyakarta itu “Tuhan” yang akan kita tuju. Tujuan kamu ke Yogyakarta adalah sampai dengan selamat. Sama halnya ketika kamu beribadah, tujuan kamu adalah mencari ridho Allah. Kemudian ibaratkan sarana transportasi yang diciptakan beragam tadi adalah cara bagaimana seorang hamba ingin menggapai ridho-Nya. Banyak cara bukan? Apakah kamu marah ketika orang lain memilih pergi ke Yogyakarta dengan naik kereta daripada naik motor? Tidak, kan? Seharusnya, saya dan kamu juga tidak marah ketika orang lain memilih pergi ke Yogyakarta dengan transportasi lain. Begitu juga dengan pilihan seorang hamba. Pilihan tentang bagaimana cara mereka mencintai Tuhan mereka.”
Susi tertegun dan hanya diam. Dia tidak bisa melawan argumen Romlah. Karena Susi baru sebulan belajar agama.