Kuliah di perguruan negeri favorit adalah impian bagi banyak calon mahasiswa dan keluarganya. Saya tidak menggeneralisir itu impian semua orang, karena saya rasa ada juga yang impiannya sejak awal ingin kuliah di kampus-kampus indie yang namanya tidak terlalu familiar sebagai bentuk pengabdiannya pada dunia edgy. Gagal dalam tes SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri), tentu sedih betul rasanya. Mau pakai joki atau orang dalam pun harus mikir-mikir lagi. Pasalnya, saat ini sedang dalam masa pandemi corona, perekonomian sedang tidak menentu-menentunya.
Pada akhirnya kampus swasta pun jadi pilihan selanjutnya. Kalau memang betul mereka jadi pilihan, saya sangat merekomendasikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebagai alternatif pilihan kampus yang paling tepat. Saya tidak akan menjabarkan apa saja prestasi UMY, karena saya bukan humas kampus. Kalau pengin tahu, langsung cek saja di website-nya.
Setahu saya, mulai dari universitas, fakultas, hingga jurusannya, mayoritas statusnya sudah terakreditasi A. Oleh karena itu, banyak yang juga menjadikan UMY sebagai pilihan utam sejak awal tanpa perlu ikut SBMPTN.
Namun bagi saya, pencapaian tertinggi UMY adalah ketika memasang billboard bertuliskan, “Alhamdulillah, UMY Terakreditasi A,” di depan kampus UGM. Subhanallah, tim marketing UMY memang layak diberikan gelar doktor honoris causa di bidang marketing.
Selain itu, UMY berada di wilayah Yogyakarta, tepatnya di area ringroad selatan. Jadi, kalau pulang kampung dan ditanya tetangga kuliah di mana, bisa dengan bangga menjawab kuliah di Jogja. Hmmm, kota pelajar, loh. Lalu, saat ditanya kampusnya apa, jawab saja kampus UGM. Baru, kalau masih dikonfirmasi lagi, bilang saja Universitas Gambar Matahari.
Oke, itu adalah joke tahun 1945-an, jauh sebelum UMY dibangun dan sering dibawakan dosen-dosen UMY saat mengajar maba-maba yang polos.
Saya pun dulu gagal masuk UGM lewat jalur SNMPTN tahun 2012. Akhirnya saya banting setir masuk UMY lewat jalur ringroad selatan. Saya lulus tahun 2018 lalu, setelah enam tahun berkuliah. Sebenarnya penginnya kuliah sembilan tahun sekalian. Biar sesuai dengan program pemerintah: Wajib belajar sembilan tahun, edisi periode kedua.
Berikut ini adalah beberapa alasan UMY jadi kampus alternatif yang gacor untuk menghibur diri dari kegagalan SBMPTN. List di bawah ini saya buat sesuka saya dan dibikin tanpa ada intervensi dari siapapun, termasuk Lord Luhut.
Satu: Banyak Spot Instagram-able.
Zaman sekarang yang harus dipenuhi bukan hanya kebutuhan primer saja, tapi juga kebutuhan dalam bermedia sosial. Kampus UMY bisa memenuhi hasrat itu. Pasalnya, di setiap fakultas temboknya berwarna putih dan saya rasa ini Instagram-able banget. Saya sering lihat foto-foto bagus di Instagram latarnya putih. Sementara kalau temboknya ijo nanti malah di-bully netizen. Di UMY pun terdapat banyak taman bunga, sangat cocok buat sista-sista mengabadikan momen chill-nya.
Untuk spot andalan ada di ruang baca perpus pusat, di depan gedung kembar AR Fachruddin A dan B, serta landmark gedung Sportarium UMY yang tampak begitu megah dengan ikon berbentuk matahari dan memenuhi nilai aesthetic di jagat Instagram.
UMY juga merupakan kampus terpadu. Jika ia di-shoot menggunakan drone, akan tampak semua gedung UMY dari langit yang terlihat indah. Apalagi ditambah dengan keasrian sawah di sekitarnya. Iya, ada sawah yang mungkin nanti juga akan digusur atas nama pembangunan.
Dua: Dikelilingi Burjo Motekar
Untuk urusan perut sih, bakal aman kalau kuliah dan tinggal di sekitar UMY. Selain kantin kampus, di sekitar UMY begitu subur rumah makan salah satunya Burjo Motekar. Burjo ini adalah sebuah manajemen warung makan dengan brand Motekar dan muncul pertama kali di area depan kampus UMY pada 2016.
Selain menyediakan menu burjo pada umumnya, ia juga punya menu andalan tambahan yakni nasi oseng ayam, nasi ayam rica-rica, dan nasi ayam Bali. Sementara untuk harga, sangat terjangkau dan worth it-lah!
Burjo ini buka 24 jam, tidak memasang wifi, tapi selalu ramai didatangi. Patokan dikatakan laris adalah mereka bisa masak nasi tiga kali bahkan lebih dalam sehari. Bahkan, teman-teman saya yang dari luar UMY rela datang jauh-jauh untuk makan di Motekar. Hingga kini, Motekar sudah membuka 4 cabang di sekitar kampus UMY. Bagi saya, Burjo Motekar adalah burjo terbaik se-DIY sejauh ini. No debat.
Tiga: Ikut Aksi Demo yang Seru
Kurang afdol rasanya kalau selama jadi mahasiswa belum pernah ikut aksi demonstrasi. Tenang, di UMY bisa kok ikut demo tanpa harus jadi aktivis atau anak organisasi pergerakan. Misalnya, pada aksi Gejayan Memanggil 2019 dengan tajuk #reformasidikorupsi. Rombongan dari kampus UMY termasuk yang terbanyak dan dari berbagai macam latar belakang mahasiswa. Berangkat konvoi jauh-jauh dari Bantul dengan almamater merah marun andalan.
Ikut aksi demo walau tidak berorasi, setidaknya sudah selfie di lokasi, sudah termasuk bagian dari memviralkan isu yang tengah diangkat jadi konsumsi khalayak banyak. Sebagai kampus yang punya tagline, Unggul dan Islami, pada aksi Gejayan Memanggil kala itu, massa aksi dari UMY tidak lupa menjalankan ibadah salat Zuhur dan Ashar yang dilaksanakan di jalan raya. Ini juga bentuk untuk membungkam mulut-mulut netizen yang nyinyir, “Giliran Gejayan Memanggil aja datang, pas azan memanggil nggak datang.”
Empat: Ada Komunitas Stand Up Comedy UMY
Kampus UMY punya unit kegiatan mahasiswa yang keren dan berprestasi, seperti mapala, musik, teater, drum corps, futsal, bola, dll. Selain itu, di UMY juga ada yang lucu-lucu yakni Komunitas Stand Up Comedy UMY. Katanya, mereka nggak pengin jadi UKM agar tidak diintervensi kampus. Pokoknya komunitasnya indie bangetlah.
Komunitas ini dibentuk pada 10 April 2014, sebatas agar ada wadah yang memberi ruang bagi mahasiswa UMY untuk belajar dan bekarya lewat stand up comedy. Nggak pengin muluk-muluk, cuma mau membuktikan bawah Muhammadiyah juga bisa lucu. Komunitas ini sering mengisi acara-acara kampus dan rutin mengadakan open mic setiap malam Jumat.
Komunitas ini pernah bikin geger kampus di tahun 2016 karena materi dark comedy-nya dan pernah berurusan dengan salah satu ormas. Alhamdulillah, saat ini sudah clear semuanya. Namun di samping itu, komunitas ini telah melahirkan dua komika nasional yakni Ali Akbar SUCA 3 Indosiar dan Mamat Alkatiri juara 2 SUCI 7 Kompas TV.
Lima: Bisa Lebih Mengenal Muhammadiyah
UMY adalah kampus Muhammadiyah, maka yang berkuliah di sini setidaknya akan lebih mengenal Muhammadiyah karena ada mata kuliah wajib yakni Kemuhammadiyahan. Melalui mata kuliah ini, nantinya kita tidak hanya mengenal Muhammadiyah sebatas organisasi Islam yang tidak tahlilan, tarawihnya 11 rakaat, salat subuh tidak pake qunut, dan lebarannya selalu duluan dari pemerintah.
Biasanya dosen mata kuliah Kemuhammadiyahan akan meminta mahasiswa untuk menonton film Sang Pencerah, yang bercerita tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Dalam film itu, ada scene KH Ahmad Dahlan muda setelah belajar di Arab Saudi kembali ke Jogja. Dan ia berusaha membetulkan arah kiblat di Masjid Gede Kauman Jogja. Bagi saya itu luar biasa sekali. Beliau begitu cemerlang, mengingat pada masa itu belum ada aplikasi Muslim Pro.
Selain itu, mahasiswa juga akan diminta menghafal dan menyanyikan Mars Muhammadiyah. Pasalnya, di setiap acara kampus, setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya pasti dilanjut dengan menyanyikan Mars Muhammadiyah. Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang tidak mengharamkan musik.
Itulah lima alasan versi saya. Sebetulnya masih ada lima alasan lagi. Kalau penasaran, silakan daftar dan kuliah di UMY biar tahu sendiri.
Oke barusan ada trik marketing tahun 1700-an. Klasik banget.
Mungkin ini bisa jadi selemah-lemahnya kontribusi dari seorang alumni untuk almamaternya. Pada akhirnya, bagi saya masuk UMY itu gampang, keluarnya pun begitu, yang terpenting bisa menunjukkan STNK ke satpam kampus.
BACA JUGA Jogja Berkata: Rene-Rene Sambat!!! atau tulisan Muhammad Fathi Djunaedy lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.