Sekilas yang terlintas di pikiran saya ketika mendengar program kampus mengajar adalah kemerdekaan. Ya, kemerdekaan dalam belajar dan mengeksplorasi potensi diri sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kemerdekaan untuk menjalankan ide-ide perubahan dalam paradigma pendidikan.
Program kampus mengajar sendiri saya ketahui semenjak kali pertama menjadi seorang mahasiswa. Ini merupakan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau yang sering disingkat MBKM. Kampus mengajar merupakan program yang berupaya untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa-siswi di Indonesia.
Untuk menjadi bagian dari program ini, saya harus menjalani seleksi dan bersaing dengan banyak mahasiswa. Awal motivasi saya mengikuti program ini sebenarnya karena sudah terlalu jenuh dengan kegiatan belajar/mengajar di kampus. Selain itu, saya juga sudah bosan setiap hari bertemu teman-teman kampus yang selalu itu-itu saja.
Daftar Isi
Program kampus mengajar yang tidak menjamin kamu merdeka belajar
Awalnya, perasaan senang meliputi diri karena bisa lolos seleksi program kampus mengajar. Sebelum penugasan, mahasiswa mendapatkan pembekalan selama kurang lebih satu bulan. Memang, materi pembekalan memberikan pengetahuan dan paradigma baru kepada mahasiswa mengenai dunia pendidikan Indonesia saat ini.
Setelah pembekalan selama kurang lebih satu bulan itu, mahasiswa sudah siap untuk ditugaskan. Mereka sudah siap untuk “merdeka belajar”. Merdeka untuk bereksplorasi dan melaksanakan ide-ide baru ke sekolah tempat mereka ditugaskan. Akan tetapi, kemerdekaan itu buat saya adalah kata yang teramat berlebihan. Saya justru mendapatkan sudut pandang lain bahwa ikut kampus mengajar tidak akan menjamin merdeka belajar.
Belajar merdeka dari ekspektasi
Ekspektasi awal saya adalah dapat benar-benar membawa perubahan yang baik di sekolah tempat saya bertugas. Misalnya, saya bisa mengaplikasikan berbagai macam strategi literasi dan numerasi dari materi pembekalan kampus mengajar. Saya sangat berekspektasi bisa menggunakan “pusaka” yang saya dapat itu semaksimal mungkin.
Namun, ekspektasi saya runtuh ketika baru seminggu bertugas. Saya mendapati bahwa setiap kelas ada siswa yang belum bisa membaca. Untuk siswa yang masih kelas 1 atau 2 yang belum bisa membaca, saya tidak ambil pusing. Kepusingan saya justru ketika mendapati bahwa ada siswa di kelas 5 dan 6 yang bahkan bentuk huruf saja mereka masih bingung.
Kenyataan itu seketika menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana saya akan mengimplementasikan beragam strategi literasi jika dalam tahap membaca saja para siswa itu belum khatam dan mereka sudah kelas 5 dan 6?”
Terpaksa saya harus “belajar merdeka” dari ekspektasi saya untuk menerapkan strategi literasi yang “wah” sebagaimana contoh-contoh ketika pembekalan kampus mengajar. Saya bersama rekan mahasiswa lain di sekolah itu terpaksa harus menyesuaikan strategi dengan kondisi kesiapan para siswa. Mau tidak mau, para siswa yang cukup parah tertinggal dalam hal kemampuan membaca itu kita berikan bimbingan dan pendampingan khusus.
Belajar Merdeka dari feodalisme dosen pembimbing
Ini adalah permasalahan yang cukup serius. Kita dapat menjumpai feodalisme dosen pembimbing dalam program kampus mengajar. Program yang katanya sebagai sarana merdeka belajar itu justru menjadi sarang praktik feodalisme dalam pendidikan.
Beberapa rekan mahasiswa mendapati dosen pembimbing yang sangat sulit untuk dihubungi dan terkesan menyepelekan. Ada pula yang mendapati dosen pembimbing yang menyalahgunakan kuasanya. Kamu harus tahu bahwa dosen pembimbing memiliki otoritas untuk ACC terhadap laporan mingguan mahasiswa. Beberapa oknum dosen menyalahgunakan kuasa ini.
Banyak kasus dosen pembimbing sulit dihubungi dan laporan mahasiswa baru di-ACC setelah semingguan lebih. Kasus lainnya (hal ini saya dengar dari cerita kawan saya) ada oknum dosen yang mau ACC laporan mingguan mahasiswa dengan syarat mahasiswa harus mengerjakan laporan dosen terlebih dahulu.
Padahal, seharusnya, laporan tersebut merupakan tanggung jawab dosen itu. Mau tidak mau, mahasiswa harus menurut, karena mereka perlu ACC laporan dari dosen sebagai salah satu syarat cairnya Biaya Bantuan Hidup (BBH) selama program kampus mengajar.
Mahasiswa sebenarnya bisa saja melapor ke pihak kampus mengajar apabila ada dosen yang seperti itu. Namun, status “mahasiswa” dan “dosen” tampaknya menjadi sebuah penjara. Terlebih lagi apabila dosen tersebut satu fakultas atau bahkan satu prodi dengan mahasiswa. Tentu mahasiswa yang mau melapor akan berpikir seribu kali.
Mereka dipenjara oleh kemungkinan yang akan terjadi di masa depan apabila melaporkan dosen tersebut. Dapat dibayangkan ketika mahasiswa yang melaporkan dosen tersebut ternyata berjumpa dengan dosen itu lagi di suatu mata kuliah. Kemungkinan besar nama mahasiswa sudah ditandai.
Belajar Merdeka dari feodalisme pihak sekolah selama program kampus mengajar
Ramai sekali di grup besar Telegram kampus mengajar mahasiswa yang mengadukan keluhan terkait kesalahpahaman pihak sekolah. Yang paling konyol adalah salah satu aduan bahwa pihak sekolah meminta ini dan itu. Misalnya seperti renovasi kantor, kelas, dan banyak hal lain. Masalahnya, mahasiswa harus menggunakan biaya sendiri.
Pihak sekolah meminta hal tersebut dengan dalih untuk melihat kreativitas mahasiswa kampus mengajar. Itu juga alibi, bahwa mahasiswa mendapat gaji dari pihak kampus mengajar. Sedangkan mahasiswa lagi-lagi dipenjara dengan statusnya sebagai “tamu dan kasarnya adalah penumpang” di sekolah itu.
Hal tersebut bagi saya merupakan sebuah kekolotan. Alasannya adalah sebelum melakukan program kerja, mahasiswa beserta dosen pembimbing telah melaksanakan semacam forum komunikasi dengan pihak sekolah. Forum komunikasi tersebut bahkan dilaksanakan dua kali.
Pertama, secara daring melalui Zoom dan YouTube yang melibatkan pihak penyelenggara kampus mengajar, sekolah, dosen, dan mahasiswa. Kedua, secara luring melibatkan sekolah, dosen, dan mahasiswa. Tujuannya menghindari miskonsepsi tentang program kampus mengajar.
Masalahnya, pihak mahasiswa dan dosen gagal memahamkan pihak sekolah. Di sisi lain, pihak sekolah gagal memahami atau memang sengaja melakukan kekolotan semacam itu. Yang jelas, sangat tidak mungkin apabila mahasiswa harus memenuhi semua keinginan pihak sekolah dengan full biaya sendiri.
Misi program ini
Misi utama mahasiswa kampus mengajar bukan menjadi pelayan permintaan ini dan itu, tapi meningkatkan literasi dan numerasi. Mahasiswa juga bukan tawanan dari feodalisme dosen maupun pihak sekolah.
Apabila dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi masih ada praktik-praktik feodalisme, kampus mengajar dan merdeka belajar akan cuma sebatas gema saja. Poster-poster merdeka belajar yang terpajang di tembok-tembok sekolah dan perguruan tinggi sebaiknya diganti dengan belajar merdeka!
Penulis: Femas Anggit Wahyu Nugroho
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mahasiswa Harus Coba Ikutan Program Kampus Mengajar