Saya selalu berpikir kampus itu tempat paling ideal untuk belajar menjadi manusia merdeka—berpikir kritis, mempertanyakan segala hal, lalu mengolahnya jadi gagasan yang berani. Tapi makin ke sini, saya justru merasa kampus lebih mirip panggung drama kerajaan: penuh aturan tak tertulis, serba hierarkis, dan sangat sensitif pada satu hal—rasa hormat (pada dosen) yang harus dibaca, bukan ditanya.
Baru-baru ini, viral di media sosial berawal dari Threads, dan mulai ramai juga di Instagram dan Twitter (X), seorang mahasiswa menghubungi dosennya via WhatsApp dengan bahasa sopan dan maksud yang jelas: minta waktu untuk uji validitas penelitian. Tapi, balasannya bikin nyesek: “tidak mas, silakan cari dosen yg lain.” Bukan karena topiknya ngawur, bukan karena waktunya mepet. Tapi—barangkali—karena tidak diawali salam resmi, atau karena si dosen kurang suka dengan kata “free”.
Ya, di negeri ini, sopan santun bisa gagal login kalau tidak sesuai protokol batin dosen.
Masalahnya, “adab” yang sering dibangga-banggakan di kampus bukan lagi tentang saling menghargai atau etika intelektual. Ia berubah jadi alat ukur status sosial akademik: siapa yang boleh bicara duluan, siapa yang layak menjawab, dan siapa yang berhak memutuskan tanpa perlu menjelaskan. Dan di sinilah saya sadar—feodalisme akademik bukan sekadar isu, tapi sudah jadi kultur. Kultur yang menyebalkan, tapi tetap dibiarkan tumbuh subur.
Sihir adab di atas ilmu
“Adab lebih tinggi dari ilmu” terdengar bijak saat disampaikan di ruang kelas, seminar, atau ditulis dalam poster motivasi kampus. Tapi, dalam praktiknya, kalimat ini sering berubah jadi sihir ampuh buat menyingkirkan mahasiswa yang dianggap kurang tahu diri.
Saya pernah lihat sendiri—dan mungkin kamu juga—mahasiswa yang niatnya baik, bahasanya sopan, tapi tetap ditolak mentah-mentah hanya karena dianggap salah sapaan. Di situ saya paham, kadang masalahnya bukan isi pesan, tapi siapa yang merasa lebih pantas bicara duluan.
Di dunia akademik, sering kali etika sering dipelintir jadi etiket. Adab yang mestinya saling menghormati malah dibikin searah—dari bawah ke atas. Dosen bebas marah, mahasiswa harus menunduk. Dosen boleh abai, mahasiswa jangan baper. Dalam banyak kasus, adab ini bukan soal nilai, tapi soal kuasa. Dan itu bikin ruang akademik makin kaku, makin penuh basa-basi, makin takut diskusi.
Yang paling bikin saya khawatir, sihir adab ini bukan cuma mengatur cara bicara, tapi juga cara berpikir. Mahasiswa jadi takut bertanya, takut salah ucap, takut dikira kurang ajar. Akhirnya banyak yang memilih diam, asal lulus, asal cepat selesai.
Padahal kampus itu mestinya ruang yang berani, tempat di mana gagasan bisa dibantah tanpa ancaman. Tapi, kalau struktur yang dijaga lebih penting daripada nalar yang diasah, ya jangan heran kalau kita punya banyak sarjana, tapi sedikit pemikir.
Sebagai mahasiswa, saya sangat terganggu dengan feodalisme di kampus
Jujur saja, yang paling melelahkan dari jadi mahasiswa itu bukan tugas kuliah, bukan juga revisi skripsi yang nggak kelar-kelar. Yang bikin capek itu atmosfer kampusnya—yang kaku, penuh basa-basi, dan sering kali menekan. Bukan karena dosen jahat, tapi karena sistemnya membiarkan relasi kuasa tumbuh tanpa kontrol.
Kita diminta kritis, tapi juga harus peka membaca mood dosen. Kita disuruh berani berpikir, tapi tidak boleh terlalu berbeda pendapat. Lama-lama, kuliah terasa kayak latihan sosial bertahan hidup.
Saya bukan anti-sopan santun. Tapi, kalau sopan santun berubah jadi senjata untuk membungkam, saya rasa kita harus bicara. Saya ingin ruang kuliah di mana saya bisa bertanya tanpa takut. Bisa menulis opini tanpa harus menebak-nebak apakah kalimat saya terlalu “tajam” buat dosen pembimbing. Bisa berdialog tanpa takut dinilai kurang ajar hanya karena berbeda pandangan.
Kampus, bagi saya, seharusnya jadi tempat berpikir lepas. Tapi kalau segala hal harus ditimbang dari sisi “tahu diri” dan “jangan terlalu keras”, ya kapan kita betul-betul belajar berpikir?
Saya ingin jadi mahasiswa yang berpikir jernih, bukan mahasiswa yang jago menyembunyikan opini demi nilai. Maka wajar jika saya—dan banyak mahasiswa lain—mulai gerah. Karena di balik wajah akademik yang rapi, terlalu banyak hal yang tak sehat dibiarkan hidup.
Sopan santun harusnya lahir dari kesadaran, bukan paksaan
Saya percaya bahwa sopan santun itu penting. Tapi sopan santun yang dipaksakan hanya akan melahirkan rasa takut, bukan penghargaan. Kalau setiap kata harus ditakar demi menjaga ego yang lebih “tinggi”, komunikasi di kampus akan berubah jadi upacara formal—bukan dialog yang jujur.
Sopan santun mestinya lahir dari relasi yang setara. Kita menghormati dosen karena mereka membimbing dan menginspirasi, bukan semata karena senioritas. Sayangnya, yang sering terjadi di kampus justru sebaliknya: mahasiswa yang terlalu lugas dianggap kurang ajar, sementara dosen yang menyentil tanpa alasan tetap disebut bijak.
Akibatnya, banyak mahasiswa lebih sibuk menyusun kalimat aman ketimbang menyampaikan argumen. Diam dianggap adab, padahal bisa jadi itu bentuk frustrasi. Kalau kampus terus memaknai hormat sebagai larangan untuk menyanggah, maka yang lahir adalah lulusan yang patuh, tapi gamang saat diminta berpikir di luar buku pegangan.
Mari hilangkan kultur feodal di kampus
Saya tahu tidak semua dosen feodal, dan tidak semua kampus menyebalkan. Tapi, kalau kita terus-menerus menormalisasi relasi kuasa yang timpang, lambat laun kita sedang menciptakan generasi yang pandai tunduk tapi malas berpikir. Kultur feodal di kampus bukan hanya membuat mahasiswa takut bersuara, tapi juga “membunuh” semangat intelektual yang seharusnya jadi nyawa dari dunia akademik.
Pun, bukan berarti mahasiswa boleh semena-mena. Saya justru percaya, mahasiswa harus tetap menghormati dan menyayangi dosennya. Bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa hubungan belajar itu berdiri di atas kepercayaan. Hormat yang lahir dari kesadaran akan jauh lebih kuat dan tulus ketimbang tunduk karena takut nilai. Mahasiswa perlu belajar menyampaikan saran dan/atau kritik dengan tepat, dan dosen pun perlu belajar mendengar kritik tanpa merasa harga dirinya dirusak.
Kampus bukan kerajaan, dan dosen bukan raja. Ilmu tidak bisa tumbuh di tanah yang kering karena takut. Yang kita perlukan adalah ruang yang hangat, setara, dan jujur. Mahasiswa bisa bertanya tanpa ragu, dan dosen bisa membimbing tanpa merasa diganggu. Kalau kita ingin kampus yang sehat, maka kultur feodal harus ditinggal.
Sudah waktunya kita bangun ekosistem akademik yang saling menghargai, bukan saling mengintimidasi. Karena tugas kampus bukan menjaga wibawa, tapi menyalakan nalar.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Jenis Dosen Red Flag yang Sebaiknya Dihindari Mahasiswa kalau Mau Kuliah Lancar
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
