Pihak kampus harusnya lebih tegas, jangan sampai masih ada budaya mahasiswa memberi makanan kepada dosen penguji.
Pekan lalu saya diajak ngopi seorang teman mahasiswa. Teman saya ini termasuk mahasiswa yang pintar secara akademis. Cukup sering dirinya mendapat prestasi lewat perlombaan karya tulis ilmiah. Belum lagi karya ilmiahnya yang tayang di beberapa tingkatan jurnal SINTA juga tak kalah mengesankan dibandingkan saya yang tulisannya masih mentok terbit di Terminal Mojok ini.
Sayangnya, teman saya ini kepalang lugu dan gagap jika dihadapkan dengan budaya toksik yang ada di dunia akademis. Dari serangkaian topik obrolan kami saat ngopi, satu yang bikin kepala saya nyut-nyutan adalah saat dia melempar topik soal memberi makanan ke dosen penguji.
Jadi ceritanya teman saya mau sidang skripsi. Dia bingung apakah sanggup jika harus membeli makanan untuk dosen pengujinya nanti. Saya merasa iba melihatnya. Ya gimana, dia ini kalau tidak melakukannya ya malu, karena (katanya) semua temannya melakukan budaya itu. Kalaupun mau memberi, dia juga mengeluh karena isi dompetnya tidak ada yang bisa dikorbankan.
Sebenarnya saya bisa saja membantunya, tapi saya enggan melakukannya. Bukan karena pelit atau apa. Pasalnya, budaya toksik semacam itu harusnya sudah lama hilang di semesta akademik. Akhirnya, saya meyakinkan teman saya dengan beberapa penjelasan agar jangan malu dan ragu untuk tidak melakukan budaya toksik tersebut.
Daftar Isi
Kemenristekdikti dan KPK sudah melarang dosen penguji, dosen pembimbing, atau dosen lainnya menerima hadiah dari mahasiswa
Enam tahun sebelumnya, budaya memberi makanan ataupun hadiah ke dosen (entah dosen pembimbing, dosen penguji, atau dosen apa pun) sebenarnya sudah dilarang oleh Kemenristekdikti (sebelum diubah menjadi Kemendikbudristek). Larangan tersebut tertuang dalam surat edaran No. 108/B/SE/2017 kepada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemenristekdikti, Perguruan Tinggi Swasta, serta stakeholder di dalamnya, tentang larangan menerima hadiah.
Pada poin kedua, dijelaskan bahwa dosen sebagai pendidik bagi para mahasiswa, mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas hubungannya dalam menjaga integritas akademik. Oleh karenanya, dosen dilarang menerima hadiah atau apa pun dari mahasiswa yang berhubungan dengan tugasnya sebagai pendidik. Larangan ini juga berlaku sebaliknya bagi mahasiswa.
Meskipun di situ tidak secara spesifik menyebutkan “penerimaaan makanan saat sidang skripsi”, tetap saja hal itu termasuk dalam poin kedua. KPK pun dalam hal ini juga melarang karena budaya itu dinilai memicu tindakan koruptif. KPK tidak mau ada ketidakadilan dalam proses mengajar di kampus gara-gara dosen menerima hadiah atau pemberian dari mahasiswanya.
Dari situ jelas, kalau suatu kampus masih ada budaya memberi makanan atau hadiah ke dosen penguji, artinya kampus tersebut bermasalah. Kampus secara tidak langsung bisa dikatakan sengaja membuka jalan untuk mahasiswanya melakukan gratifikasi.
Baca halaman selanjutnya: Terjebak budaya toksik…
Mahasiswa masih terjebak oleh budaya sopan santun yang toksik
Dalam hal ini, tentu saja mahasiswa juga salah. Mereka harus ditegur melalui wacana seperti ini. Tapi saya rasa, kampus di sini juga harus lebih sadar atas budaya toksik semacam itu. Kalau tugas kampus adalah menuntun mahasiswa, maka ketika ada tindakan mahasiswa yang menodai mutu akademis, kampus harus bertanggung jawab atas hal itu.
Saya melihatnya, dengan menjamurnya budaya toksik tersebut, artinya masih banyak teman-teman mahasiswa yang terjebak oleh budaya sopan santun yang keliru. Pemahaman mereka masih belum kuat, bahwa memberi makanan ke dosen penguji sebenarnya adalah tindakan yang nista.
Dalam pandangan mereka, dosen penguji yang sudah meluangkan pikiran dan waktunya, itu tidak etis kalau tidak dibayar dengan ucapan rasa terima kasih dalam bentuk yang konkret. Itulah mengapa mereka nyaman-nyaman saja, bahkan mungkin bangga karena mereka bisa menyuguhkan makanan sekalipun dengan cara menyusahkan diri mereka sendiri.
Pihak kampus harus lebih tegas lagi kalau memang profesional
Oleh sebab itu, saya berharap kepada kampus mana pun yang masih ada budaya semacam itu, segeralah bertindak tegas kalau memang profesional. Dengan menjamurnya budaya “memberi makanan ke dosen penguji ini” saya yakin, bahwa tidak semua mahasiswa pernah membaca surat edaran dari Kemenristekdikti atau larangan dari KPK tadi.
Kalau boleh saya mengajukan saran, buatlah pengumuman atau surat edaran yang melarang tindakan memberi hadiah/makanan/apa pun kepada dosen, khususnya saat sidang skripsi. Itu juga sudah dilakukan oleh beberapa kampus seperti Universitas Ahmad Dahlan atau Universitas Riau. Dengan begitu, saya yakin mahasiswa tidak akan lagi melakukan budaya toksik itu.
Toh, itu demi kebaikan bersama. Mahasiswa tidak lagi repot dan bingung dengan biaya yang tidak perlu. Dan kampus pun terhindar dari opini bahwa kampus sengaja membuka jalan untuk mahasiswanya melakukan gratifikasi.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Hadiah untuk Dosen Pembimbing Itu Kebiasaan yang Nggak Perlu, Merepotkan Kedua Belah Pihak!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.