Penggemar serial animasi Upin dan Ipin tentu sudah tahu bahwa masyarakat yang tinggal di Kampung Durian Runtuh cukup beragam. Ada orang-orang dari etnis India, Tionghoa, dan orang-orang Melayu. Sayangnya, kebanyakan penonton nggak sadar bahwa terdapat sisi gelap yang menyelimuti keberagaman kampungnya Tok Dalang Ranggi tersebut.
Sebagai penonton, saya kerap terlena dengan Upin dan Ipin. Saya bahkan turut mengagungkan sikap saling menghormati yang diciptakan masyarakat Kampung Durian Runtuh. Padahal di balik semua itu, ada berbagai problematika tersembunyi. Misalnya beberapa hal ini.
Daftar Isi
Di Kampung Durian Runtuh nggak ada rumah ibadah lain selain masjid
Sisi gelap pertama yang mungkin nggak disadari kebanyakan penonton adalah rumah ibadah. Sejujurnya, sejak saya menonton Upin Ipin, saya belum pernah melihat ada rumah ibadah dari agama lain di Kampung Durian Runtuh selain masjid. Kayaknya saya belum pernah lihat ada klenteng atau pura di sana.
Padahal kalau dipikir-pikir, di kampung itu kan ada Mei-Mei dan Uncle Ah Tong selaku penganut Konghucu. Ada pula Uncle Muthu, Jarjit, dan Devi yang menganut agama Hindu. Tapi kenapa nggak ada rumah ibadah bagi mereka? Apakah perizinan rumah ibadah di Kampung Durian Runtuh sesulit di negeri Wakanda?
Coba lihat perayaan Deepavali yang ada dalam episode Pesta Cahaya. Dalam episode tersebut, perayaan justru dirayakan di rumah Uncle Muthu, bukan rumah ibadah atau tempat khusus bagi penganut agama Hindu. Begitu pula dengan perayaan Imlek dalam episode Gong Xi Fa Cai yang diadakan di rumah Mei-Mei dan mentoknya di lapangan terbuka dalam bentuk pasar dan opera Cina.
Etnis India dimarginalisasi
Bukan hanya soal rumah ibadah, di tengah keberagaman masyarakat Kampung Durian Runtuh, entah kenapa saya melihat orang-orang dari etnis India sedikit terpinggirkan.
Misalnya Devi. Saya jarang melihat Devi bergaul dengan anak-anak Kampung Durian Runtuh lainnya. Mentok pol saya tahunya Devi bergaul dengan anak kampung ketika main bekel atau saat ada perayaan Deepavali. Selebihnya, saya hanya melihat mereka bertemu di Tadika Mesra. Ada apa dengan Devi? Apakah karena dia introvert makanya jarang bergaul? Atau karena etnisnya?
Hal serupa terjadi dengan Uncle Muthu. Meski kerap dianggap anggota trio bapak-bapak Kampung Durian Runtuh bersama Ah Tong dan Tok Dalang, nyatanya Uncle Muthu jarang bergaul dengan kedua kawannya itu. Saat Uncle Ah Tong dan Tok Dalang nyangkruk di kedainya, Uncle Muthu jarang nimbrung. Dia malah menyibukkan diri di gerobaknya padahal nggak ada pembeli.
Sementara Jarjit, meskipun dia sering bergaul dengan Upin Ipin dan kawan-kawan, dia justru hadir sebagai tokoh yang “nggak nyambungan”. Misalnya di awal episode Gong Xi Fa Cai, ketika yang lain main sepak kenchi, eh, Jarjit malah memukul bolanya dengan raket badminton. Kan nggak jelas banget ya, sampai akhirnya dia kena omel Ehsan.
Setelah saya telusuri, ternyata kehadiran etnis India di Malaysia memiliki sejarah yang sedikit kelam. Mereka didatangkan oleh bangsa kolonial Inggris untuk dipekerjakan di Malaysia. Saat ini, etnis Tamil mendominasi masyarakat India di Malaysia. Sedangkan pada masa kolonial, orang-orang etnis Melayu merasa terkucilkan. Barangkali ini yang menjadikan mengapa etnis India di Kampung Durian Runtuh dihadirkan agak “berbeda” dengan etnis Melayu, bahkan Tionghoa.
Di Tadika Mesra, anak-anak nggak diajarkan soal multikultural
Sisi gelap terakhir dari keberagaman yang ada di Kampung Durian Runtuh adalah nggak adanya pendidikan multikultural di Tadika Mesra, tempat Upin Ipin, dkk., belajar. Sejak era Cikgu Jasmin hingga Cikgu Melati mengajar—bahkan sesekali Cikgu Besar turut mengajar—saya nggak pernahmelihat ada pengajaran tentang toleransi, hidup berdampingan dalam keberagaman, menghormati setiap perayaan agama lain, dan semacamnya.
Lantaran nggak ada pendidikan multikultural, anak-anak jadi kurang menghormati identitas temannya yang berbeda. Misalnya saja dalam episode Bulan Hantu, Upin dan Ipin hampir saja memakan buah-buahan sesembahan pada hantu yang diletakkan di pinggir jalan atau di depan rumah. Untung saja Mei-Mei langsung ngomelin Upin Ipin atas tindakan mereka yang nggak menghormati kepercayaan orang Tionghoa.
Selaku penonton, saya dan kalian mungkin nggak menyadari adegan itu dan hanya melihatnya sebagai bentuk kekanak-kanakan. Padahal kalau mau dicermati, hal tersebut adalah bentuk sisi gelap dari keberagaman yang ada di masyarakat Kampung Durian Runtuh. Iya, masyarakat di sana saling bergaul, namun dalam beberapa kasus terdapat sikap-sikap intoleran antarperbedaan.
Dari sini kita dapat melihat bahwa di tengah tawa anak-anak Kampung Durian Runtuh, di tengah kepemimpinan otoriter Tok Dalang yang tak pernah lengser, di tengah hiruk pikuk perayaan agama, kehidupan keberagaman masyarakat Kampung Durian Runtuh memiliki sisi kelam. Bahkan cukup problematis yang justru ditonton oleh generasi muda kita.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.