Kalau kau melihat konten tentang Jogja, pasti, pasti ada satu-dua komentar orang yang bilang Jogja itu murah, atau sedang meyakinkan orang lain bahwa Jogja itu murah.
Padahal, banyak dari kita yang sempat merasakan hidup di Jogja. Dan kita akan sepakat, bahwa Jogja itu tidak murah, setidaknya tidak semurah kampanye orang di media sosial. Tapi meskipun penyintas hidup di Kota Istimewa itu kelewat banyak, tetap saja usaha mementahkan kampanye Jogja murah itu selalu gagal.
Pertanyaannya, kenapa selalu gagal? Kenapa selalu ada orang yang membela bahwa hidup di Jogja itu murah?
Tidak mungkin kota besar itu murah
Sebenarnya, agak tidak masuk akal Jogja (baca: DIY) itu murah. Kota Istimewa ini punya harga-harga yang tak jauh beda dengan Jakarta, bahkan. Kita harus mengakui dan tidak lagi boleh menutupi fakta bahwa harga makanan di Jogja dan Jakarta itu hampir mirip, bahkan sama. Misalnya, harga nasi ayam di Jakarta 17 ribu, di Jogja pun sama. Ada yang lebih murah, tapi ya nggak 10 ribu juga. Nasi ayam kira-kira di rentang harga tersebut.
Kalau bedanya cuman 2-3 ribu rupiah, ya nggak usah mengklaim si paling murah juga sih.
Kota besar itu hampir tidak mungkin murah. Sebab, ia akan menarik banyak manusia untuk datang. Ketika banyak yang datang, maka harga properti akan naik, sesuai dengan hukum supply-demand. Harga makanan akan ikut naik, karena kebutuhan bahan makanan meningkat, sedangkan stoknya tidak selalu mencukupi gara-gara lonjakan manusia. Dari logika sederhana saja, kata “Jogja itu murah” jelas tidak masuk akal.
Tapi, kenapa propaganda Jogja murah masih didengungkan, sekalipun kenyataan berkata sebaliknya?
Jogja butuh dikampanyekan murah, karena ya mau bagaimana lagi?
Kalau saya boleh berasumsi, ya Jogja memang harus dikampanyekan murah, dan butuh dikampanyekan murah. Sebab, Kota Istimewa, kayak kota lain, butuh branding yang membuat orang datang. Bahwa itu nggak logis, itu urusan belakangan. Yang penting, orang tersihir dulu.
Nyatanya, ya berhasil. Orang menganggap Jogja ini beneran murah. Padahal yang bilang gitu orang Jakarta, yang jelas penghasilannya jauh lebih besar. Konteks macam itu menguap karena akhirnya ada yang memvalidasi. Akal sehat menguap, tapi ya nggak masalah, yang penting campaign-nya berhasil.
Kalau baca liputan dari Vice tentang upah di Kota Istimewa, murahnya Jogja itu tuntutan. Upah kecil dan branding murah justru mencekik para pedagang secara tidak sadar. Menekan harga adalah cara agar usaha tetap berjalan. Margin keuntungan tidak seberapa, bikin pengusaha menekan upah pekerja. Jadilah lingkaran setan yang tidak akan bisa dihentikan tanpa political will dari penguasa.
Jadi ya, wajar Jogja murah. Sebab memang diusahakan untuk tetap murah, meskipun berdarah-darah.
Mi ayam 5 ribu, gudeg 3 ribu, nasi kucing seribu
Saya memakai kalimat di atas sebagai subjudul karena memang itu senjata yang orang-orang pakai ketika cerita murahnya Jogja. Padahal itu jelas kasuistik. Tidak semua gudeg dijual 3 ribu, nasi kucing jelas amat langka yang seribu rupiah. Apalagi mi ayam 5 ribu rupiah, tambah ra mashok. Angel golekane.
Akan selalu ada pedagang yang mematok harga kelewat murah, tapi jelas Jogja tidak sendiri. Jakarta pasti ada, Surabaya juga, Semarang apalagi. Saya yakin ada penjual nasi ayam di Jakarta yang mematok harga 10 ribu. Tapi, apakah kita akan bilang Jakarta itu murah? Yo goblok nek iyo.
Pilih-pilih harga ini adalah cacat logika yang nggak tahu kenapa, dirayakan ketika ngomongin Jogja murah. Maka dari itu, saya punya kesimpulan, kalau baiknya, kampanye ini nggak usah dilawan. Lho?
Jogja memang harus murah, titik
Pasti kalian merasa artikel ini sampah melihat antiklimaks ini. Tapi, memang ini kesimpulan yang saya dapat. Kampanye murah ini memang tak sesuai dengan realitas. Jauh malah. Saya hidup 14 tahun di Kota Istimewa, beneran, saya tahu bahwa nggak ada murah-murahnya kota ini.
Tapi, mau dilawan seperti apa, kekeliruan ini dipelihara karena memang ada tujuannya. Tujuannya agar orang tetap tersihir untuk memesan tiket ke Jogja. Untuk memenuhi hotel-hotel. Untuk memadati tempat wisata dan membuat para guide dapat pekerjaan. “Kebohongan” ini, membuat kota ini tetap hidup. Orang-orang di dalamnya, bisa hidup. Jadi, ya…
Pada akhirnya, saya memilih untuk duduk manis, meski sesekali menyanggah. Tapi, saya ingin melihat seberapa jauh kota ini bertahan dengan kebohongan indah yang dia buat. Saya ingin melihat, apakah kota ini akan tenggelam oleh ludahnya sendiri, atau justru makin gemerlap.
Dan saya berharap yang terakhir.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kolong Flyover Janti adalah Tempat Terbaik untuk Menikmati “Kehidupan Malam” Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















