Belakangan ini warganet ramai-ramai memboikot dan menyerukan boikot terhadap Unilever terkait keputusan perusahaan itu mendukung LGBT. Jujur saja, saya tidak sepaham dengan kebijakan perusahaan multinasional itu.
Namun meski begitu, saya tidak berpartisipasi dalam pemboikotan ini. Mengapa? Karena saya melihat ada sebuah ketidakberesan di sana.
Jauh sebelum Unilever meluncurkan logonya yang versi “pelangi”, perusahaan-perusahaan raksasa seperti Facebook, Instagram, Google, Starbucks, IBM, Amazon, dan bahkan Liga Inggris, telah lebih dulu menunjukkan dukungannya kepada LGBTQ. Anehnya, kenapa sentimen negatif masyarakat Indonesia hanya ditujukan pada Unilever saja?
Masyarakat kita memang dikenal militan dalam mengganyang sesuatu yang tidak sesuai ajaran agama. Semangat itu patut diacungi empat jempol. Namun sayangnya, mereka juga gemar menerapkan standar ganda. Mereka berbondong-bondong memboikot Unilever, tapi menyuarakannya di Facebook dan Instagram dengan menggunakan Iphone sambil ngopi di Starbucks. Uhuk.
Okelah, tidak masalah. Praktik standar ganda merupakan kebiasaan yang sudah bertransformasi menjadi budaya, susah dirubah. Namun, kemudian timbul lagi pertanyaan-pertanyaan. Jika tujuan pemboikotan itu supaya Unilever kapok mendukung LGBTQ, apakah tindakan itu tepat sasaran?
Mungkin iya. Tapi kemungkinan besar sih, tidak.
Mengapa?
Ilustrasinya begini. Ketika terjadi pemboikotan dan berhasil, otomatis omset penjualan dari perusahaan yang diboikot akan menurun. Hal tersebut tentunya berdampak besar bagi kestabilan finansial perusahaan. Akibatnya, perusahaan kolaps. Terjadilah pemutusan kontrak terhadap karyawan kontrak dan PHK terhadap karyawan tetapnya. Padahal pekerja-pekerja itu belum tentu paham apa itu LGBTQ. Mereka pastinya tidak tahu menahu apalagi ikut nimbrung di rapat perihal kebijakan program dukung-mendukung LGBTQ.
Yang ingin saya katakan adalah, tolong diingat bahwa mereka adalah saudara-saudara yang seagama dan seiman dengan Anda-anda yang memboikot. Bahkan mungkin di antara pekerja-pekerja itu, ada yang merupakan tetangga atau malah saudara kandung kita. Coba bayangkan nasib mereka.
Oke, taruhlah pemboikotan itu punya target menyasar para pemegang saham yang membuat kebijakan pro-LGBTQ itu. Mereka memang bakal ikut terkena dampak. Namun, pastinya tidak terlalu terasa. Unilever itu perusahaan yang beroperasi hampir di semua negara yang ada di dunia, Bos. Permasalahan di satu negara tidak akan membuat pemiliknya auto melarat.
Bahkan jika cabang perusahaannya di sini gulung tikar, pemegang saham dan jajaran elit mereka masih bisa survive, kok. Caranya gampang: mereka tinggal menjual aset, lalu mengalihkan investasi pada perusahaan lain, atau langsung pensiun sekalian. Dengan begitu mereka bisa move on dalam kondisi berkecukupan. Tuh, meleset, kan.
Sedangkan para pro LGBTQ yang pemboikot benci pastinya tidak akan terlalu merasakan dampaknya. Ketika para pemboikot sibuk berkoar-koar di luar sana, mereka tetap menjalani hidup seperti biasa. Kecuali individu-individu yang menggantungkan hidup pada Unilever.
Justru yang paling berbahaya dan mengerikan di sini adalah efek domino dari bangkrutnya Unilever,kalau sampai terjadi. Unilever adalah perusahaan raksasa yang menaungi banyak produk–di sini kita ambil satu contoh, yaitu Kecap Bango. Dalam menghasilkan sebuah produk, dari bahan baku mentah sampai ke tangan konsumen, ada banyak pihak terlibat. Mulai dari petani kedelai, tengkulak kedelai, buruh tani kedelai, perusahaan pembuat kemasan, sampai distributor–kecil dan besar. Jika penjualannya mandek, otomatis pihak-pihak yang tadi disebutkan bakal ikutan blangsak.
Itu baru dari satu produk lho, ya. Sedangkan Unilever memproduksi puluhan produk. Bisa dibayangkan dong, berapa banyak pihak yang bakal terkena imbasnya. Maka, jika itu sampai terjadi, mudah-mudahan jangan, ekonomi kita yang tengah terpuruk ini bisa jadi akan semakin ambruk. Kalau sudah begitu, siapa yang kena? Ya kita-kita juga, lah!
Nah, dari poin-poin di atas kita bisa menilai. Selain tidak tepat sasaran, pemboikotan itu malah menambah masalah baru yang lebih besar dan lebih luas cakupannya.
Lantas, cara yang tepat sasaran itu cara yang bagaimana? Ya demonstrasi ke pemerintah, dong! Lah hubungannya apa? Lho serahkan ke meraka, emangnya kita punya power buat merubah sikap perusahaan hanya karena kita nggak sepaham? Walau saya yakin, sikap perusahaan belum tentu melanggar hukum yang ada di negara ini.
Tapi ya, jangan lupa! Usahakan demonstrasinya jangan lewat Facebook dan Instagram atau dilakukan sambil ngemut es krim Wall’s atau ngemil bakwan yang dibumbui Royco, biar dibilang adil.
BACA JUGA Belajar Menerima Penolakan Cinta dari Naruto atau tulisan Agung Setoaji lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.