Kata orang, hujan Jogja membawa kenangan dan menyiram hati yang patah. Hal itu memang betul jika kamu menikmatinya di kosmu yang tak seberapa itu atau ketika sedang di kafe. Bagi penghuni Kali Gajah Wong Jogja, hujan itu bisa jadi teror banjir yang tertunda.
Kali Gajah Wong mungkin tidak sekondang Kali Code atau Kali Progo. Tidak juga sesakral Kali Opak. Bahkan orang lebih tahu Kereta Gajah Wong daripada sungai ini. Bahkan jasanya yang berkali-kali menyelamatkan Jogja juga sering dilupakan. Yang ada hanyalah kantong-kantong pemukiman yang dipercantik tapi deg-degan setiap hujan. Memandangi tanggul-tanggul yang retak tanpa segera diselesaikan.
Daftar Isi
Bekas prostitusi dan solusi tinggal masyarakat tanpa tanah
Kali Gajah Wong jadi salah satu sungai yang mengiris Kota Jogja. Bersama Kali Winongo dan Kali Code, Gajah Wong ikut andil dalam urusan air Kota Jogja. Baik sebagai cadangan air kelas B, ataupun tampungan aliran air ketika hujan lebat. Dan sama seperti dua saudaranya, bantaran Kali Gajah Wong juga menjadi peraduan bagi masyarakat.
Sepanjang bantaran Kali Gajah Wong Jogja dipenuhi pemukiman sesak dan penuh lika-liku. Pemukiman ini, seperti bantaran sungai lain, juga dianggap sebagai zona hitam. Dipandang sebagai lokasi yang erat dengan dunia kriminal. Apalagi dengan keberadaan area prostitusi di bantaran Kali Gajah Wong.
Keberadaan prostitusi di bantaran Kali Gajah Wong sudah sejak 1970-an. Pada 1998, lokasi prostitusi ini dibubarkan warga bersama pemerintah. Namun perlu hampir 2 dekade untuk benar-benar mengatasi masalah prostitusi. Pada 2016, wilayah bantaran Kali Gajah Wong baru dinyatakan bebas prostitusi. Dan sampai hari ini masih dilakukan pendampingan agar masyarakat tidak kembali masuk ke dunia prostitusi.
Terlepas dari stigma masa lalu, bantaran Kali Gajah Wong menjadi solusi bagi banyak orang. Terutama mereka yang butuh tempat tinggal. Mereka hidup, bekerja, dan bersosialisasi di petak-petak rumah kumuh dan padat. Meskipun mereka juga harus siap tergusur karena tanah yang ditempati tidak pernah dimiliki. Karena Bantaran Kali Gajah Wong termasuk Sultan Ground.
Bantaran Kali Gajah Wong dipercantik demi harapan lebih baik
Untungnya (dan sudah selayaknya) pemerintah daerah tidak membiarkan Kali Gajah Wong Jogja semrawut. Pembangunan di sepanjang bantaran kali terus dilakukan. Dari penguatan tanggul, sampai memperindah kawasan pinggir kali. Harapannya, kawasan pinggir Kali Gajah Wong bisa menjadi destinasi wisata alternatif.
Pembangunan ini disambut baik oleh masyarakat. Dan sedikit banyak, ekonomi masyarakat sekitar ikut terbantu. Berbagai acara juga rutin diselenggarakan di bantaran Kali Gajah Wong. Dari acara budaya seperti merti dusun dan pentas seni, sampai acara politis yang tidak perlu saya bahas. Tapi terlepas dari semua itu, kini masyarakat punya ruang publik yang bisa diakses dengan mudah dan murah. Tentunya ini patut diapresiasi.
Jadi jangan dikira saya cuma nyinyir terus ke pemerintah Jogja, baik kota maupun provinsi. Pembangunan yang menyasar kehidupan masyarakat pasti saya apresiasi. Kalau pembangunan estetika di kawasan sumbu imajiner, pasti saya nyinyiri.
Namun pembangunan di kawasan Kali Gajah Wong Jogja tetap belum cukup. Berkali-kali masyarakat di sekitar Kali Gajah Wong harus menghadapi banjir. Belum lagi ancaman longsor dengan banyaknya titik kerusakan. Padahal, Kali Gajah Wong adalah penyelamat Kota Jogja dari ancaman bencana.
Penyelamat Jogja yang merana setiap hujan
Kehadiran 3 sungai yang mengiris Jogja adalah penyelamat. Ketiga sungai ini menjadi tampungan air saat hujan deras, dan mengalirkan jauh ke pantai selatan. Jogja mungkin akan terendam banjir tanpa Kali Gajah Wong, Kali Winongo, dan Kali Code.
Namun ada harga mahal yang harus ditanggung masyarakat sekitar Bantaran Kali Gajah Wong Jogja. Berkali-kali mereka mengalami banjir. Baik banjir air maupun sampah. Maklum, masalah sampah di Jogja memang tak pernah selesai. Dan Kali Gajah Wong menjadi lokasi buangan sampah yang tak terkendali. Apalagi semenjak TPST Piyungan ditutup.
Tanggul di Kali Gajah Wong juga berulang kali rusak. Bahkan muncul kerusakan di beberapa titik sekaligus. Kerusakan ini menjadi ancaman longsor yang kapan saja bisa terjadi. Sudah ada beberapa rumah yang hanyut karena longsor di bantaran Kali Gajah Wong. Seringkali, pengamanan dari pemerintah kelewat terlambat dan harus ditangani masyarakat sebisanya.
Maka jangan bicara hujan Jogja itu romantis di hadapan penghuni Kali Gajah Wong. Tidak ada yang romantis di antara himpitan rumah petak yang terancam longsor dan banjir. Namun tanpa Kali Gajah Wong, mungkin Kota Jogja tidak akan mengenal istilah romantis ketika hujan.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya