Baru saja kemarin kita disuguhi oleh statemen Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang dengan enteng bilang soal gaji guru dan dosen yang kecil “Semuanya harus negara yang tanggung?” Ucapan itu bikin banyak orang geleng-geleng kepala. Belum reda obrolan soal itu, eh sekarang giliran Menteri Agama Nasaruddin Umar yang ikut menyumbang kalimat kontroversial, “Guru itu tujuannya mulia, bagaimana memintarkan anak orang itu tujuannya, bukan cari uang. Kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadi pedagang lah,”
Lengkap sudah, guru di negeri ini seperti jadi bulan-bulanan dua kementerian sekaligus.
Memang, profesi ini sering dipuja-puji sebagai profesi mulia. Tapi pujian itu terasa seperti slogan kosong ketika keseharian mereka masih diwarnai keresahan soal gaji pas-pasan, tunjangan tak menentu, dan beban kerja yang tak ada habisnya. Guru tetaplah manusia biasa yang butuh makan, bayar listrik, dan mencicil motor.
Lalu ketika pejabat minta guru hanya berpikir amal jariyah dan kemuliaan, pertanyaan paling sederhana yang muncul adalah kalau mulia saja nggak cukup buat beli beras, terus mereka-mereka ini mau makan apa?
Dipuji mulia, digaji biasa-biasa saja
Sudah bertahun-tahun profesi guru disanjung dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa, profesi mulia, bahkan kini ditambah embel-embel “Nabi kecil” dari Menteri Agama Nasaruddin Umar. Kalimat itu memang manis diucapkan, tapi getir di perut ketika realitasnya jauh berbeda. Guru tetap saja berjibaku dengan gaji yang pas-pasan. Bahkan ada yang honornya lebih kecil daripada uang jajan anak SMA di kota besar.
Yang membuat miris, setiap kali isu gaji guru mencuat, jawaban pejabat selalu sama: harus ikhlas. Padahal, ikhlas itu urusan pribadi, bukan kewajiban negara. Ketika ikhlas dijadikan tameng, nasib guru akhirnya hanya berhenti di pujian seremonial tanpa ada peningkatan kesejahteraan yang nyata. Guru diberi sebutan mulia, tapi anggaran yang disiapkan untuk mereka sering kali tak ikut dimuliakan.
Pemerintah seolah lupa bahwa tanpa kesejahteraan, sulit bagi guru untuk sepenuhnya fokus mengajar. Bagaimana mau konsentrasi mendidik generasi kalau pikiran terus terbagi ke masalah bayar kontrakan, biaya sekolah anak, atau cicilan motor? Jadi, alih-alih meminta guru untuk menerima keadaan dengan lapang dada, bukankah lebih bijak bila negara berusaha menghapus alasan-alasan yang membuat mereka harus terus berlapang dada?
Amal jariyah mengalir, tapi dapur tetap perlu ngebul
Tidak ada yang menolak bahwa mendidik adalah amal jariyah. Tapi, sekuat apa pun iman seorang guru, amal jariyah tidak bisa dipakai untuk membayar listrik, beli beras, atau top up saldo e-wallet. Nasaruddin Umar mungkin benar ketika menyebut guru harus punya niat tulus. Namun, niat tulus saja tidak cukup ketika kenyataan di lapangan membuat mereka harus kerja ekstra di luar jam mengajar hanya untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Guru les privat, yang nyambi jualan online, atau yang bahkan harus kerja kasar di luar sekolah bukanlah fenomena asing. Itu bukan semata pilihan, melainkan kebutuhan untuk bertahan hidup. Databoks Katadata bahkan mencatat rata-rata gaji guru di Indonesia hanya sekitar Rp2,4 juta per bulan. Jauh lebih rendah dibanding Malaysia atau Thailand yang bisa dua sampai empat kali lipatnya.
Lebih getir lagi, status guru honorer juga masih menggantung. Dari target satu juta pengangkatan, baru sebagian yang terealisasi. Jadi wajar kalau banyak guru akhirnya cari jalan lain demi dapur tetap ngebul.
Ketika negara terus menuntut mereka untuk fokus pada kemuliaan profesinya, rasanya tak adil jika negara sendiri masih pelit dalam memberi penghargaan yang setimpal. Amal jariyah memang mengalir sampai mati, tapi slip gaji tetap harus datang tiap bulan.
Guru diminta suci, tapi sistem pendidikan masih karut-marut
Ucapan Menteri Agama Nasaruddin Umar bahwa guru harus “suci di langit dan suci di bumi” terdengar agung, tapi di lapangan justru dibebani hal-hal yang sering membuat mereka jauh dari kata tenang. Administrasi seabrek, kurikulum yang sering gonta-ganti, hingga status honorer yang tak kunjung jelas. Mereka dituntut sempurna, tapi sistem pendidikan kita masih berantakan.
Yang lebih penting sebenarnya bukan menuntut mereka untuk jadi nabi kecil tanpa cela. Melainkan bagaimana negara menciptakan sistem yang memudahkan mereka menjalankan perannya. Guru tidak butuh diposisikan setinggi malaikat, mereka hanya butuh diakui sebagai manusia yang bekerja keras dan pantas mendapat gaji yang layak. Sesederhana itu, tapi entah kenapa masih terasa seperti kemewahan.
Kalau guru memang profesi mulia, ya muliakan juga kesejahteraannya
Ucapan Menteri Agama Nasaruddin Umar mungkin diniatkan untuk memotivasi, tapi tanpa perbaikan nyata, kalimat itu hanya terdengar seperti nasihat kosong. Sama halnya dengan ucapan Sri Mulyani sebelumnya, yang mempertanyakan kenapa gaji guru dan dosen harus ditanggung negara. Padahal, siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan negara?
Guru bukan sekadar profesi, mereka adalah penopang masa depan bangsa. Kalau negara serius menyebut guru itu profesi mulia, maka kemuliaan itu harus diwujudkan juga dalam bentuk kesejahteraan yang layak. Bukan cuma lewat pujian dan slogan, melainkan lewat kebijakan konkret dan gaji yang manusiawi, sistem yang adil, dan perlindungan yang nyata. Karena mereka hanya bisa mengajar dengan sepenuh hati ketika perutnya tidak terus-menerus berdebat dengan isi dompet.
Penulis: Mukhamad Bayu Kelana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sebaiknya Kita Berhenti Menganggap Guru Itu Profesi Mulia, agar Mereka Bisa Digaji Jauh Lebih Layak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
