Sudah 3 semester saya menjadi Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi. Dari awal pertemuan kuliah, saya selalu diarahkan untuk menjadi guru profesional. Mata kuliah yang saya temui bukan hanya soal materi, tapi juga pedagogi, kurikulum, dan psikologi pendidikan. Bahkan praktik mengajar langsung di sekolah menjadi syarat wajib.
Hidup di jurusan pendidikan artinya terbiasa dengan tugas-tugas yang mengasah kemampuan mengajar. Kami belajar mulai dari cara mengelola kelas, hingga berlatih microteaching. Semua itu dilakukan demi menyiapkan mahasiswa keguruan menghadapi kenyataan bahwa murid tidak selalu mudah diatur. Jadi, profesi guru bukan hanya soal pintar materi, tapi juga pintar memahami manusia.
Tapi, kayaknya, ini semua jadi percuma, karena semua orang sekarang bisa jadi guru. Itu sebenarnya hal bagus dan tidak dalam waktu yang bersamaan.
PPPK bikin bingung
Belakangan muncul kabar yang sangat membuat saya emosi di mana sarjana teknik kimia lulus seleksi PPPK menjadi guru SD. Seorang sarjana teknik kimia bisa menjadi guru SD, begitu pula biologi murni bisa menjadi guru prakarya. Aturan ini membuat saya bertanya-tanya, lalu apa gunanya kuliah di jurusan pendidikan? Rasanya seperti aturan main yang berubah di tengah jalan.
Kami yang kuliah bertahun-tahun di bidang pendidikan jelas merasa ada yang janggal. Semua bekal yang kami pelajari tentang metodologi, pedagogi, dan praktik mengajar jadi seperti kurang dianggap penting. Atau singkatnya: dianggap kurang (kapabel). Padahal keterampilan itu yang membedakan antara menguasai materi dan bisa menyampaikannya ke siswa. Kalau akhirnya disejajarkan, apa bedanya kami dengan lulusan ilmu murni?
Ya, betul, para sarjana murni tersebut memang ambil PPG. Cuma, apa ya kami-kami ini, yang jurusan pendidikan, tetap dianggap tidak bisa mengajar hanya karena tidak ambil PPG?
Mengajar bukan sekadar tahu teori, melainkan seni menyampaikan. Murid punya karakter yang berbeda-beda, ada yang serius, ada yang ribut, ada pula yang sibuk main game di belakang. Menghadapi keragaman itu butuh strategi yang matang. Dan strategi itu kami pelajari khusus di jurusan pendidikan.
Ilmu murni memang penting untuk mengembangkan pengetahuan. Namun, ketika bicara kelas, yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan akademik. Seorang guru harus bisa jadi fasilitator, motivator, bahkan teman bagi siswanya. Hal-hal semacam itu tidak serta-merta didapat di jurusan ilmu murni.
Mahasiswa jurusan pendidikan kayak ditikung
Kami, mahasiswa jurusan pendidikan, kuliah empat tahun, menjalani praktik mengajar, dan belajar semua teori pendidikan. Tapi pada akhirnya, kami harus bersaing dengan lulusan ilmu murni di jalur PPPK yang sama. Rasanya seperti kerja keras kami tidak dihargai. Analogi gampangnya, kami kursus bikin sate bertahun-tahun, lalu penjual bakso tiba-tiba boleh jualan sate juga.
Situasi ini membuat posisi lulusan pendidikan terasa rapuh. Jika terus begini, jurusan pendidikan bisa dianggap tidak relevan lagi. Padahal keberadaan Universitas Keguruan seperti UNNES, UPI,UNY, dll sangat vital untuk mencetak guru yang benar-benar siap terjun ke sekolah. Pertanyaannya, apakah pemerintah mau mempertahankan idealisme ini?
Saya paham, kebutuhan guru di Indonesia sangat mendesak. Mungkin itu alasan pemerintah membuka peluang selebar-lebarnya bagi lulusan murni. Namun, solusi darurat seharusnya tidak mengorbankan eksistensi jurusan keguruan. Kalau tidak hati-hati, lulusan ilmu pendidikan bisa semakin kehilangan arah.
Lalu siapa yang mau kuliah empat tahun belajar pedagogi kalau hasilnya sama saja? Lama-lama jurusan keguruan bisa ditinggalkan calon mahasiswa. Padahal dari sanalah seharusnya lahir guru profesional yang paham ilmu dan paham cara mengajar. Kalau dibiarkan, bukankah ini akan jadi masalah baru?
Pada akhirnya, keresahan ini bukan hanya soal saya pribadi. Banyak mahasiswa pendidikan lain yang merasa posisinya terancam dengan kebijakan PPPK sekarang. Kami bertanya-tanya apakah perjuangan di kampus keguruan benar-benar dihargai. Satu pertanyaan sederhana pun menggantung: kalau ilmu murni bisa jadi guru, lalu ilmu pendidikan buat apa?
Penulis: Willyam B. Permana Purba
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















