Sebelumnya saya pengin memberikan disclaimer dulu bahwa saya ini penikmat kopi. Ya biar jaga-jaga saja siapa tahu ada yang bilang “Halah paling nggak suka ngopi, makanya nggak tau ejekan ‘belum ngopi’”. Oke, mari kita mulai, bacanya pelan-pelan saja ya, bisa sambil ngopi juga.
Setiap orang boleh berpendapat. Berpendapat adalah hak setiap manusia. Oleh karena itu setahu saya, berpendapat dijamin oleh UU Kebebasan Berpendapat walau kadang terancam oleh UU ITE. Keleluasaan berpendapat ini juga pada akhirnya berbanding lurus dengan kebebasan berkomentar. Harusnya sih begini.
Semua orang bebas berkomentar. Hingga keduanya, baik komentar atau berpendapat bisa saling berkelindan. Misalnya, pendapat seseorang bisa kita komentari. Begitu pula kita bisa ngasih pendapat ke komentar seseorang.
Kegiatan saling tukar pendapat dan komentar itu kemudian memunculkan budaya diskusi. Budaya diskusi akan menimbulkan diskursus yang melatih nalar berpikir. Sampai buntutnya, orang akan menghargai pendapat orang lain. Istilah kerennya adalah agree to disagree lah.
Sayangnya muncul problem lain. Orang bukan lagi membantah pendapat seseorang dengan makian atau olokan. Juga tidak lagi menyerang pendapat dengan menjelekkan pribadi orang yang berpendapat. Itu sangat klise.
Rakyat Indonesia, terkhusus warganet cabang +62 bisa lebih wagu, nyemeh, nyeleneh, dan pandir daripada itu. Pendapat bukan lagi dibalas pendapat, melainkan justru ngatain bahwa orang yang sedang berpendapat di medsos atau apa pun itu belum ngopi. Apalagi jika pendapatnya itu berbeda dari pemahaman masyarakat secara umum alias out of the box.
Saya sering menjumpai warganet yang begituan. Jadi di sebuah lini masa Facebook, ada seseorang bikin status, kemudian di bawahnya itu ada yang tanya gini, “Sudah ngopi belum?” Pertanyaan itu seakan-akan menyangsikan orang tadi bahwa dia nggak ngopi dulu sebelum bikin status. Memangnya kalau nggak ngopi kenapa? Kesadaran seseorang kan nggak melulu soal sudah ngopi atau belum. Sungguh olok-olok satire yang bikin nggak habis pikir.
Pertanyaan soal belum ngopi ini nggak penting blas. Apa hubungannya coba orang bikin status sama ngopi? Memangnya kalau bikin status dan berargumen di dinding lini masa itu harus ngopi dulu?
Selain nggak penting, pertanyaan itu justru mendiskreditkan mereka-mereka yang nggak doyan kopi. Kasihan dong orang-orang yang nggak doyan kopi tapi pengin berpendapat via media sosial. Jelas ini mengancam kebebasan berpendapat, kan konyol.
Semua orang, siapa saja dan dari bangsa atau suku mana pun boleh berpendapat. Walaupun dia nggak suka kopi. Terserah dia dong mau update status atau bikin twit.
Warganet ini memang sukanya ribet dan rese. Mereka ini seolah-olah meremehkan pendapat orang lain. Jika pendapatnya itu dianggap aneh, nggak jelas, dan paling penting berbeda darinya, langsung akan dicap sebagai orang yang belum ngopi sehingga masih ngantuk dan nggak sadar akan apa yang ia ucapkan.
Barangkali benar bahwa Pramoedya bikin Tetralogi Buru itu sambil ngopi. Bisa jadi Mahbub Djunaidi pas nulis pendapat-pendapatnya juga sambil ngopi. Maka dari itu, keduanya membuahkan gagasan yang pilih tanding.
Tapi, perlu diingat, Denny Siregar juga bisa jadi sedang ngopi saat bikin twit. Saya nggak paham betul beliau ini penyuka kopi atau bukan. Yang jelas, sependek pengetahuan saya, beliau pernah menelurkan buku yang judulnya ada kata “kopi”-nya.
Lalu apa hubungannya Pram, Mahbub, dan Denny? Ya nggak ada sih, cuma saya menunjukkan bahwa ketiganya juga suka kopi. Tapi,buah dari ritual ngopi ketiganya beda-beda.
Mengapa saya mencontohkannya beliau yang berpendapat lewat tulisan? Ya karena yang kerap dikatain belum ngopi nggak cuma orang yang berpendapat via medsos, tapi juga melalui tulisan.
Selebihnya saya hanya pengin memperlihatkan bahwa nggak selamanya orang suka ngopi itu pendapatnya cemerlang, tokcer, dan brilian. Celoteh Denny Siregar di Twitter memang sekali-dua brilian. Ya brilian bikin netizen gaduh sih.
Kalau tendensi belum ngopi ini kerap disematkan pada orang yang coba mengutarakan pendapat itu sama saja mempersempit ruang berpikir. Weijannn filsafatik banget nggak tuh? Gini… gini… ngopi itu nggak ada hubungannya sama pola pikir.
Kopimu tidak akan mendikte pikiranmu. Karena kopi itu bukan buku yang bisa saja memengaruhi jalan pikiran manusia. Jadi mau nyeruput kopi atau tidak itu tetap saja.
Hal itu nggak sepenuhnya salah sih. Mungkin memang ada kaitannya. Boleh jadi ini berhubungan dengan kafein dalam kopi yang bikin orang melek.
Orang yang dikatain belum ngopi atas pendapatnya mungkin karena orang yang ngatain itu menganggap pendapat orang tersebut ngawur. Sehingga ia berpikir orang yang berpendapat tadi ngantuk. Tapi, tunggu sebentar.
Yang ngawur itu justru mereka. Apalagi kalau sampai yang berkomentar itu mau ngajak ngopi si empunya pendapat. Saya mafhum kok, ini cuma modusnya saja, padahal orang yang berkomentar itu sok pengin ngajari. Ya nggak masalah, dan jika saya di posisi itu, saya akan terima saja ajakannya.
Yang jadi masalah adalah, udah ngajak tapi nggak mau bayarin. Udah gitu ngajaknya ke kafe yang harga kopi tubruk saja sampai 20K. Ya repot.
Ilustrasinya begini, situ yang nggak sepakat sama status atau tulisan saya, dan situ pula yang nyuruh saya ngopi, tapi bayarin ngopi saja tidak. Orang kalau nawarin itu biasanya kopinya sudah tersedia. Tinggal diseruput terus ndongeng ngalor-ngidul.
Namun, tolong kalau nggak sanggup membantah argumen dengan logis, dan cuma bisa ngatain mending nggak usah komentar deh. Komentar ngunu jelas ora mutu. Bahkan lebih nggak mutu dari komentarnya Luhut Panjaitan soal virus Corona yang nggak bisa masuk Indonesia karena izin susah.
BACA JUGA Ngopi di Angkringan Itu Lebih Hangat daripada di Coffee Shop dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.