Petang itu, selepas mengimami salat berjamaah di masjid desa yang berangsur dinormalkan kembali, Kang Amin tak langsung menuju rumahnya. Di pertigaan dari arah masjid, Kang Amin justru berbelok ke kiri; menuju rumah kecil Misbah yang terletak di ujung jalan.
“Loh, Kang Amin, kok tumben-tumbenan ini mampir ke gubuk saya. Ada yang bisa saya bantu mungkin?” sambut Misbah dengan ramah manakala Kang Amin menegurnya yang terlentang di cangkruk bambu depan rumah.
Menyusul kemudian Kang Salim yang baru saja keluar dari rumah, sambil membawa sukun goreng hasil dari kebun sore tadi. “Waduh, kebetulan ini Kang Amin, saya goreng sukun banyak. Monggo disambi.” Kang Amin tersenyum bersahaja.
“Gini, Kang, Mis. Ahad besok ini saya mau renov rumah bagian belakang. Nah, saya butuh tenaga sampeyan berdua buat bantu nukang,” Kang Amin mulai mengutarakan maksudnya.
“Wah bisa kok bisa,” sahut Kang Salim antusias.
“Eh, Kang Amin, denger-denger dari berita di TV, katanya ada wacana haji tahun ini dibatalin ya, Kang?” Celetuk Misbah yang entah nyomot topik obrolan dari mana.
Semula raut wajah Kang Amin berubah agak lesu, tapi kemudian menjawab pertanyaan ngawur Misbah dengan santai, “Kayaknya sih gitu, Mis. Tapi ya mau gimana lagi, hla wong keadaannya juga nggak menentu kayak gini.”
“Walaaaahhh eman banget ya, Kang?”
“Kok bisa eman, Mis?” Kini giliran Kang Salim yang menimpali.
“Ya iya tho, Kang. Pertama, secara finansial jelas sangat merugikan. Kecuali kalau emang ada ganti rugi loh, ya,” Misbah menjawab dengan ekspresif. “Kedua, ibadah haji itu kan bisa dibilang puncak dari segala ibadah, pencapaian tertinggi seorang hamba selama manembah kepada Gusti Allah setelah rangkaian ritual syariat dari salat, puasa, dan zakat.”
“Menurutmu, emang kenapa kok bisa disebut sebagai puncak dari ekspresi manembah?” tanya Kang Salim.
“Duh, saya nggak paham dalil-dalilnya, Kang. Cuma gini, deh, orang yang pulang dari ibadah haji, pasti menyandang gelar Pak Haji. Misalnya saja, nanti Kang Amin jadi berangkat ke Baitullah. Pas pulang, pasti masyarakat bakal manggil Kang Amin dengan gelar Kang Haji Amin.” Kang Amin dan Kang Salim menyimak Misbah sambil manggut-manggut.
“Nah, sementara nih, ya, walaupun kita sudah menjalankan perintah salat, tapi kita toh nggak bisa menyandang gelar Pak Salat sebagaimana gelar Pak Haji. Walaupun kita sudah melaksanakan instruksi puasa dan zakat, tapi toh kita nggak bisa makai gelar Pak Puasa atau Pak Zakat di depan nama kita. Cuma karena ibadah haji lah kita boleh menyebut diri kita sebagai Pak Haji. Itu pertanda, bahwa haji adalah titik kulminatif dari syariat.”
“Subhanallah, dalem betul penalaranmu, Mis,” sanjung Kang Amin sambil geleng-geleng kepala.
“Tunggu, Mis. Saya kok kurang sependepat,” respons Kang Salim sangsi. “Coba kita bedah sedikit-sedikit. Tadi kamu menyebut bahwa haji adalah puncak manembah. Nah, manembah atau menyembah atau menghamba ini kalau pakai bahasa sehari-hari, itu kan sama dengan melayani. Yang menyembah atau melayani namanya abdi atau hamba, sedangkan wujud persembahan atau pelayanannya disebut ibadah. Dengan kata lain, kamu menyebut bahwa puncak dari melayani Gusti Allah adalah ibadah haji. Begitu, bukan?”
“Eh.. em.. em.. kurang lebih seperti itu, Kang,” jawab Misbah setengah gugup. Sementara di sudut lain, Kang Amin memilih diam dan khusyuk menyimak diskusi antar kedua tuan rumah tersebut.
“Cara pandangmu sebenernya sangat visioner, Mis, tapi mohon maaf ya, saya justru punya konsep lain tentang puncak pelayanan terhadap Tuhan.”
“Wah, gimana tuh, Kang.” Kali ini Kang Amin yang kelihatan antusias mengikuti perbincangan.
“Baik, saya coba jelasin dengan kisah Nabi Musa.” Kang Amin dan Misbah memperbaiki duduk mereka, mencoba menyimak sekhidmat mungkin penuturan dari Kang Salim.
“Suatu hari, seturunnya dari Gunung Sinai, Nabi Musa ditanya oleh kaumnya; Apakah kau bisa memanggil Tuhan dan mengajak-Nya makan malam bersama kami? Sontak Nabi Musa murka. Dia bilang kepada kaumnya dengan tegas; tidak bisa! Karena Tuhan nggak butuh makan dan minum. Tuhan juga nggak memiliki mulut karena Dia jauh melampaui bentuk ragawi manusia.
“Namun, ketika Nabi Musa kembali ke Gunung Sinai, Gusti Allah berkata kepada Musa bahwa Dia (Allah) bisa dan bersedia makan malam bersama mereka. Maka turunlah Nabi Musa dan mengabarkan hal tersebut kepada kaumnya. Mendengar itu mereka kemudian bersemangat menghidangkan sekian banyak jenis makanan terbaik.”
“Lantas, apakah Gusti Allah benar-benar datang, Kang?” Sela Kang Amin.
“Sayangnya, sampai larut malam Gusti Allah tak kunjung datang. Yang datang justru seorang tua yang kelaparan. Apakah aku boleh minta makan dan minum? Tanya orang tua itu. Tidak, tidak boleh ada yang makan sebelum Tuhan datang, Jawab Nabi Musa. Tapi Gusti Allah tak benar-benar hadir di tengah-tengah mereka.”
“Haduh, apa kiranya yang membuat Gusti Allah nggak berkenan datang, Kang? Apakah karena mereka bukan golongan orang-orang yang rajin beribadah?” Sekarang giliran Misbah yang menyela.
“Sama kayak kita, semula Nabi Musa juga bingung. Itulah kenapa keesokan harinya Nabi Musa berangkat kembali ke Gunung Sinani guna mendapat penjelasan dari Gusti Allah. Apa kata Allah? Dia berkata kepada Musa; bahwa malam itu sebenernya Dia telah datang dalam diri seorang tua yang kelaparan. Tapi sayangnya, tak ada satupun yang memberi makan, tak ada satupun orang yang melayani orang tua tersebut.”
“Owalaaahhh, paham saya, Kang. Melayani Tuhan, sebagaimana yang Dia anjurkan sendiri dalam kisah ini, yaitu bukan tentang capaian ibadah vertikal seperti yang kita obrolkan di awal-awal tadi. Wujud sebenar-benarnya melayani Tuhan contohnya adalah dengan menolong atau memberi makan orang-orang yang butuh. Itulah puncak manembah. Bener begitu, Kang?“ Kang Amin menyimpulkan dengan mata berbinar.
“Nah, itu yang saya maksud,” Kang Salim mengacungkan dua jempol. “Ada satu hadis qudsi riwayat Imam Muslim yang cukup menarik. Bunyinya; Hai hamba-Ku Aku sakit kenapa kau tak menjenguk-Ku? Aku lapar kenapa kau tak memberi-Ku makan? Aku haus kenapa kau tak memberi-Ku minum? Si hamba menjawab; bagaimana mungkin, sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam. Tuhan menjawab; jenguklah hamba-Ku yang sakit, berilah makan hamba-Ku yang lapar, dan berilah minum hamba-Ku yang haus. Ada Aku di sisi mereka.
“Dengan begitu, walaupun sudah haji apalagi nyampe berkali-kali, kalau belum bisa memberi social output atau kemanfaatan sosial seperti itu, ya tetep saja belum bisa dikatakan telah sempurna ibadahnya. Atau kalau mau lebih ekstrem, secara moral dan mentalitas kepribadian orang tersebut belum bisa dikatakan telah menunaikan ibadah haji, seperti apa kata Cak Nun. Sebaliknya, meskipun belum pernah haji, tapi kok suka menolong sesama, suka memuliakan tamu, menyantuni anak yatim, dan lain sejenisnya, tindakannya tersebut sudah selevel dengan kualitas haji.”
“Oh karena itu, tho, beberapa orang lebih memilih merelakan tabungannya untuk meringankan beban ekonomi tetangganya ketimbang tetep meluncur ke Tanah Suci?” seloroh Misbah.
“Bisa jadi. Mungkin mereka berpikir; bagaimana mungkin aku berangkat haji, sementara banyak tetanggaku yang masih kelaparan?” jawab Kang Salim.
“Lagi pula, kalau melihat urutan dari Q.S. Al-Maun, runtutannya adalah; larangan untuk menghardik anak yatim, menolak memberi makan (pertolongan) kepada orang miskin, baru kemudian larangan melalaikan salat. Dua teratas adalah urusan moral dan sosial, untuk urusan syariat justru ditaruh Allah di urutan terakhir.”
“Maksudnya, Kang?” Tanya Kang Amin dan Misbah bersamaan.
“Cari sendiri!” Kini Kang Salim asik mengganyang sukun gorengnya.
*Rujukan: Terjemahan Matsnawi (Jalaluddin Rumi) dan Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (Emha Ainun Najib)
BACA JUGA Siapa Kita kok Ngatur-Ngatur Tuhan? dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.