Saya adalah railfans garis keras dengan loyalitas teruji pada KAI sejak era kursi ekonomi tegak 90 derajat. Semasa kuliah dulu, kereta yang menjadi idola saya adalah KA Logawa rute Purwokerto-Jember. Kereta inilah yang mengantarkan saya dari Jombang ke Jember.
Sayangnya, saya cinta saya kepada KA Logawa dikhianati. Awalnya kereta ini sudah upgrade sarana ke gerbong ekonomi new generation (SSNG). Akan tetapi nggak lama kereta ini malah dikembalikan ke ekonomi premium dengan harga tiket yang naik. Alasannya karena perpanjangan rute hingga Ketapang.
Jelas saja saya nggak terima. Dari ekonomi new generation downgrade ke ekonomi premium kok harga tiketnya malah naik? Kebalik! Untuk pertama kalinya saya merasa kecewa pada KAI. Kenaikan harga tiket nggak sebanding dengan fasilitas yang malah downgrade. Penumpang disuruh membayar harga premium, tapi cuma dikasih fasilitas standar minimal yang seharusnya sudah ada sejak dulu.
Evolusi terbalik KA Logawa, dari new generation ke premium yang tanggung
Dulu, ketika KA Logawa menggunakan rangkaian ekonomi new generation (SSNG), sebagai penumpang saya merasa nyaman. Kursi tebal tipe captain seat dengan sandaran enak. Kapasitas tiap gerbong hanya 72 penumpang, dan yang paling penting, bisa kursi bisa diputar penuh (revolving). Hal-hal itu membuat perjalanan belasan jam terasa seperti rekreasi. Fasilitas tersebut adalah level tertinggi di kelas ekonomi saat ini.
Akan tetapi surga itu lenyap, digantikan rangkaian ekonomi premium stainless steel generai 1. Walaupun sama-sama berlabel premium, penurunan kualitasnya sangat terasa.
Kapasitas penumpang tiap gerbong kembali jadi 80 penumpang, membuat gerbong terasa lebih padat. Kursi yang diberikan nggak lagi setebal dulu. Dan yang paling fatal, fitur kursi yang bisa diputar hilang! Penumpang dipaksa untuk kembali ke skema kursi yang sebagian saling berhadapan, mengulang momen canggung beradu dengkul dengan orang asing.
Padahal harga tiket KA Logawa tetap di langit, nggak ikutan turun mengikuti kualitas kursi. Penumpang dipaksa legowo karena rute sudah diperpanjang dan kami telanjur butuh koneksi langsung.
KAI berlogika bisnis: jual jarak, bukan kenyamanan
Lalu, apa alasan logis KAI berani menaikkan harga tiket bahkan setelah fasilitas kereta downgrade? Jawabannya sederhana, dan pahit, mereka sedang fokus menjual jarak tempuh, bukan lagi kenyamanan perjalanan.
KA Logawa kini menempuh jarak yang jauh lebih panjang, dari Purwokerto hingga Ketapang. Otomatis biaya operasional dan logistik KAI naik. Logika KAI sangat korporat. Jarak tempuh naik, harga tiket harus naik. Dalam logika ini, kenyamanan menjadi variabel yang bisa dikorbankan demi menaklukkan Terowongan Garahan.
KAI tahu betul di rute Purwokerto-Banyuwangi, Logawa menjadi salah satu pilihan termudah dan termurah secara keseluruhan. Mereka memanfaatkan monopoli rute, memaksa penumpang untuk legowo menerima kursi yang lebih padat dalam satu gerbong selama belasan jam, asalkan sampai ke Banyuwangi. Ini adalah trik bisnis yang cerdas, tapi sangat nggak berempati pada konsumen setia yang dompetnya telanjur sakit hati.
Logawa, kenangan pahit harga dan kualitas
Setiap kali KAI mengubah kebijakan, selalu ada public relation statement indah tentang peningkatan layanan atau penyesuaian biaya. Padahal di kasus KA Logawa ini, yang kami rasakan adalah sebuah trade-off yang merugikan konsumen.
Kami membayar mahal tiket karena rute diperpanjang, ini untung KAI. Kami dapat kursi downgrade karena ada kendala teknis di terowongan, ini masalah KAI. Dan kami harus duduk lebih lama di kursi yang nanggung, ini derita penumpang. KAI menyelesaikan masalah teknisnya dengan membebankan ketidaknyamanan baru kepada penumpang sambil tetap menagih harga yang sudah melambung.
Pada akhirnya, saya sebagai penumpang dipaksa legowo naik KA Logawa. Hanya demi ambisi perusahaan memperluas jangkauan rute.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kereta Api Logawa New Generation Bikin Saya Kaget: Kereta Ekonomi Rasa Eksekutif
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















