Pada 2023 saya diterima di jurusan Sastra Indonesia di salah satu universitas ternama di Makassar. Walau Sastra Indonesia merupakan pilihan ke-2, saya tetap bangga masuk ke jurusan tersebut. Namun, tanggapan berbeda ditunjukkan oleh orang tua, keluarga, dan teman-teman di sekitar saya.
Pada awalnya, orang tua saya kecewa berat karena saya nggak bisa lolos pada pilihan pertama. Begitu pula dengan kakak dan teman-teman saya yang cenderung menyepelekan saya diterima di jurusan Sastra Indonesia. Mereka berpendapat, jurusan Sastra Indonesia hanya belajar mengenai puisi dan cerpen yang terkesan membosankan.
Jujur, respon dari mereka membuat saya sakit hati dan pesimis awalnya. Namun, lama kelamaan, saya nggak peduli dengan kata orang lain. Capek juga kalau meladeni satu per satu.
Saya menyadari, respon keluarga dan teman-teman saya sebenarnya bentuk dari kepedulian karena peluang kerja lulusan Sastra Indonesia sangatlah sempit. Banyak jurusan lain yang menawarkan peluang kerja yang lebih menjanjikan.
Kumpul keluarga menjadi momentum paling berat bagi mahasiswa Sastra Indonesia
Setelah kuliah di jurusan Sastra Indonesia, kumpul keluarga menjadi salah satu momentum yang paling berat. Di saat itulah saudara-saudara membagakan pekerjaan atau jurusan kuliahnya. Bagi seseorang yang berkuliah di jurusan yang nggak populer seperti saya, cuma bisa diam seribu bahasa.
Masih membekas betul omongan tante dan saudara-saudara saya yang lain mempertanyakan peluang kerja lulusan Sastra Indonesia. Belum lagi ketika mereka tahu bahwa jurusan yang saya pilih adalah pilihan kedua. Mungkin mereka tidak mengungkapkannya secara lantang, tapi saya tahu tatapan mereka berubah.
Jurusan yang kurang populer di antara mahasiswa
Setelah beberapa waktu menjalani hari-hari sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, saya menyadari kalau jurusan ini juga nggak populer di kampus. Banyak mahasiswa jurusan lain yang menganggap kuliah sastra itu hanya belajar tentang puisi dan cerpen. Biasanya mereka menanyakan, untuk apa mempelajari bahasa yang sudah digunakan sehari-hari.
Saya tahu pertanyaan-pertanyaan itu terlontar murni karena mereka benar-benar penasaran. Namun, lama kelamaan lelah juga menanggapinya. Apalagi kalau pertanyaan mereka lama-lama terkesan menghakimi dan memojokan, semakin malas meresponnya.
Memilih dan memutuskan jadi mahasiswa Sastra Indonesia membuat saya menderita. Pengalaman setahun menjalani jurusan ini, saya selalu dianggap gagal, membuang waktu, dan nggak punya masa depan cerah dan banyak hal lain. Sungguh menjadi mahasiswa sastra sangatlah menantang, nggak hanya ilmunya, tapi juga anggapan dari orang-orang sekitar. Semoga mahasiswa Sastra Indonesia yang punya pengalaman mirip dengan saya bisa terus bertahan dan membuktikan anggapan negatif terhadap jurusan ini keliru.
Penulis: Yusril Saputra
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 9 Tipe Orang yang Nggak Cocok Kuliah di Politeknik
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.