Sebelum meneruskan cerita dari sudut pandang kang cilok, sebenarnya ada masih ngeganjel terkait seseorang yang ‘katanya’ penjual cilok seberang SPBU kota Btersebut. Kok bisa-bisanya ada di daerah tersebut? Cilok kan dari Sunda ya, bukan Jawa. Kalau pun ada, pasti di daerah kota-kota besar. Atau mungkinkah kang cilok itu …—ah, daripada ngelamun yang nggak-nggak—entar kesambet—mending langsung aja simak cerita dari versi kang cilok. Cekidot!
“Lok… cilok… direbus dadakan… lima ratusan…”— kok malah jadi kaya tahu bulat ya. Eh perkenalkan, saya yang jualan cilok, kadang-kadang jadi ojek juga. Itu kalo siang—entar kalo malemnya nyambi montir atau bantu-bantu hajatan. Ya maklum gara pemerintah lebih pro-aseng, rakyat kecil macam saya ini bisa apa. Mentok ya jadi pemeran pembantu di filmnya Joko Anwar.
Semenjak cerita yang lagi viral di Twitter, banyak yang request saya untuk bercerita dari sudut pandang saya. Sebenarnya sih saya mau-mau aja, cuma ceritanya bakal panjang dan menyita waktu jualan saya. Mau tah sampeyan gantiin saya jualan? Tapi demi kebaikan karir, akan saya ceritakan poin-poin intinya saja. Kalo bisa, nanti di Twitter sampeyan mention @jokoanwar. Siapa tahu nanti saya diajak main film.
Gini ceritanya, sebenarnya saya sudah mengamati gadis itu saat pertama kali masuk daerah sini. Awalnya saya melihat sebauh mobil elf melaju lambat depan saya. Sekelebat saya melihat seorang gadis, gadis yang cantik. Sebagai seorang yang pernah bekerja sebagai scout. Saya melihat ada potensi besar seorang penari dalam dirinya—bahkan bisa dikatakan seorang wonderkid.
Saya pertama kali bertemu anak-anak itu waktu diminta nganterin ke desa. Mungkin banyak yang nyangka kalo saya cuma nongol pas jualan cilok aja. Kan saya sudah bilang saya ini nyambi-nyambi profesi lain. Kan ojeknya laki paruh baya, gitu kan pikir sampeyan, sekarang kan udah ada apa itu yang face, face apalah itu yang bisa bikin muka jadi tua itu lo—“FaceApp, kang?”—itulah pokoknya.
Setelah mengantarkan gadis tersebut, lantas laporan ini saya sampaikan kepada atasan saya, Badarawuhi. Dan tak lupa laporan tentang ‘seseorang’ yang bersama temannya yang berkerudung itu.
Setelah itu, pihak lain yang ditugaskan untuk melakukan intrik-intrik agar proses rekrutmen ini sukses. Saya pun kembali menjadi kang cilok. “Lok… cilok… direbus dadakan… lima ratusan…”—kok kaya tahu bulat lagi.
Lama berselang, sesekali saya mendengar dari direktur teknis perekrutan kami kalau progress rekrutmen ini berjalan lancar. Ditambah strategi perekrutan dua anggota dari mereka. Siap-siap terima bonus besar nih. Kelamaan nguping sampai lupa kalo sekarang jadwalnya ngondek—eh ngojek ding.
Sore hari itu saat jualan cilok, ada dua orang yang nyamperin. Tumben ada orang yang nyamperin, biasanya cuman temen-temen. Baru sadar kalo yang nyamperin adalah gadis spesial itu, disusul teman laki-lakinya.
Dengan macak orang asing, saya coba basa-basi dengan mereka. Setelah tahu kalau mereka akan kembali ke desa tersebut, muncul suatu ide dalam benak saya. Memang saya menyarankan mereka agar tidak melewatinya karena hari sudah menjelang petang, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Sedikit rasa takut akan memepermulus jalannya rencana ini.
“Kulo dongakno sampean-sampean selamet sampai nang tujuan,” pesan saya yang lantas menutup pertemuan ‘kang cilok’ dengan keduanya. Mereka berdua telah beranjak, saya langsung werrr menuju TKP.
Semua dipersiapkan, jamuan-jamuan hingga panggung pertunjukan telah siap dalam sekejap mata. Hal tersebut tidak sulit bagi kami, lha wong kami nggak butuh sewa gedung hingga jasa EO segala. Cukup sekali jentikan jari Thanos, semua sudah siap. Gamelan mulai ditabuh yang juga lantas menyebabkan motor yang ditumpangi keduanya mendadak mogok. It’s show time!
Keduanya hanyut dalam keriuhan itu, namun salah satu atasan saya mempunyai rencana lain. Sekarang bukan waktu yang tepat menangkapnya begitu menurut atasan saya. Motor telah saya perbaiki, begitu pula ‘oleh-oleh’ yang akan mereka bawa telah siap. Sebenarnya saya agak kecewa, tapi ya gimana lagi. Takut kena diputus kontrak. “Dia akan datang sendiri,” seorang atasan coba meyakinkan saya.
Hari-hari berlalu, saya tetap jualan cilok, ya sesekali ngojek. Ya meski pendapatan nggak setara UMR, saya tetap bersyukur. Daripada mereka yang ditugaskan gebuk-gebukan lawan ‘bodyguard’ temannya yang ugal-ugalan itu. Bisa-bisa muka ancur, malah makin ancur.
Saat yang ditunggu-tunggu telah tiba, ketika kedua rekrutan baru yang merupakan teman gadis itu telah menempati masing-masing posisinya, kemudian disusul si gadis wonderkid tersebut. Gadis itu tidak akan bisa keluar lagi. Proses rekrutmen hampir saja rampung, sebelum akhirnya digagalkan oleh seorang aki-aki. Sial, anj*ng aki-aki itu! (ya iya sih aki-aki itu emang anjing). Dia membawa gadis itu pergi. Calon penari menghilang, bonus pun melayang.
Gara-gara aki-aki itu saya nggak dapat bonus. Padahal klausul dua puluh persen kontraknya sudah disetujui oleh atasan saya. Mana kena denda lagi dari federasi persindenan ghaib gara-gara pendekatan rekrutmen ilegal.
Gara-gara itu juga saya nggak jadi nikah. “Maaf ya, dek. Akang nggak bisa nikahi adek sekarang. Mungkin seratus tahun lagi”. Eh ladalah kok malah pringas-pringis. “Adek turun sini. Itu awas rambutnya keserimpet. Nanti kepalamu putus lagi kaya kemarin.” (*)
BACA JUGA KKN Desa Penari: Cerita Menakutkan Bikin Kecanduan atau tulisan EmArif lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.